Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 12 Februari 2015

TAJUK RENCANA: Harga yang Harus Dibayar Anwar (Kompas)

Tokoh oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim (67), kembali menghadapi prahara ketika upaya bandingnya ditolak Mahkamah Agung Malaysia.

Maret tahun 2014, Anwar divonis penjara 5 tahun atas tuduhan menyodomi mantan asisten prianya oleh pengadilan tingkat kedua. Anwar bersikeras, tuduhan dan hukuman atas dirinya itu bermotif politik. Ia menegaskan, apa yang dialaminya itu berawal dari konspirasi politik untuk menghentikan karier politiknya.

Memang, dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) Malaysia itu, Anwar harus menjalani hukuman penjara selama 5 tahun, yang sekaligus mengakhiri karier politiknya.

Ini bukan kasus sodomi pertama yang dituduhkan kepada Anwar. Kasus sodomi pertama dituduhkan tidak lama setelah ia digulingkan dari kursi Wakil Perdana Menteri (PM) Malaysia pada 1998 karena pertikaiannya dengan PM Malaysia Mahathir Mohamad. Langkahnya sebagai tokoh oposisi terhenti ketika pengadilan memvonisnya dengan hukuman penjara 6 tahun karena kasus sodomi ditambah kasus korupsi. Tahun 2004, ia dibebaskan dan kembali memimpin koalisi oposisi.

Tahun 2008, Anwar kembali dituduh menyodomi mantan asistennya. Proses pengadilan terhadap Anwar itu cukup panjang dan melelahkan. Meskipun demikian, kelompok oposisi yang dipimpinnya sukses dalam meraih suara signifikan pada dua pemilihan umum Malaysia, tahun 2008 dan 2013. Akibatnya, dominasi partai-partai penguasa, yang bergabung dalam Barisan Nasional, mengalami kemunduran.

Tahun 2012, hakim di pengadilan tingkat pertama membebaskan Anwar dari segala tuduhan sodomi itu karena dianggap tidak cukup bukti. Namun, pemerintah melakukan banding ke MA Malaysia, dan hasilnya bertolak belakang. Hukuman penjara 5 tahun terhadap Anwar dikukuhkan karena dianggap bersalah.

Keputusan MA itu memicu protes, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Orang-orang mulai bertanya-tanya, jangan-jangan argumen Anwar bahwa tuduhan dan hukuman terhadap dirinya itu memang bermotif politik.

Di negara berkembang, trias politika, atau pemisahan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tidak pernah benar-benar diterapkan. Kekuasaan eksekutif itu demikian besar sehingga pemerintah praktis dapat melaksanakan apa saja. Apa yang terjadi di Malaysia dan banyak negara berkembang lain menunjukkan hal itu.

Anwar Ibrahim sepenuhnya sadar, jika dirinya ingin berkiprah di panggung politik Malaysia, itulah harga yang harus dibayarnya. Anwar yakin, apa yang dilakukannya itu adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk melakukan perubahan.


Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011953174 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger