Membaca karya Hans Morgenthau (1904-1980), Politics Among Nations, misalnya, salah satu teori yang mengemuka adalah "keseimbangan kekuatan". Jika membaca karya Colin S Gray, War, Peace, and International Relations (2012), salah satu isu mutakhirnya adalah terorisme. Sebelumnya, Peter Hough dalam Understanding Global Security (2004) sudah menyebut adanya sejumlah ancaman baru terhadap keamanan.

Salah satu isu yang disinggung dalam karya Hough adalah kejahatan narkotika atau narkoba. Disebutkan bahwa di hari-hari pengujung Perang Dingin tahun 1989, AS menyerbu Panama. Alasan utamanya adalah Presiden Manuel Noriega menolak memenuhi tuntutan AS untuk membendung pengiriman kokain dari Panama ke AS.

Kita angkat sedikit latar belakang di atas bahwa ada aspek baru dalam hubungan internasional oleh negara di dunia saat ini. AS, yang sebelumnya melihat Presiden Noriega sebagai sosok yang berjasa, tak ragu untuk menggulingkannya karena ancaman narkoba yang dibawanya.

Indonesia hari-hari ini juga dihadapkan pada menu baru dalam politik luar negerinya, yaitu antara mempertahankan hubungan baik dengan bangsa di dunia, sebagai kontribusinya menegakkan perdamaian dunia sesuai amanat konstitusi, dan realitas pahit bahwa kadang dunia tak seramah seperti yang diharapkan.

Dengan Australia yang secara geografi merupakan tetangga dekat, ada saja yang mendadak muncul menyulitkan hubungan. Dalam upaya menegakkan negara bebas dari narkoba, pengadilan Indonesia menjatuhkan hukuman mati terhadap dua warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

Sebenarnya wajar dan kita paham sepenuhnya bahwa tugas pemerintah satu negara membela warga negara yang menghadapi masalah di negara lain. Namun, sulit kita bayangkan, Perdana Menteri Australia sampai harus mengungkit bantuan yang pernah diberikan negaranya saat Aceh dilanda gempa dan tsunami tahun 2004.

Kita takjub mendengar pemimpin negara semaju Australia membandingkan bantuan untuk menolong korban bencana alam dengan upaya menolong pedagang narkoba yang menghancurkan warga negara tetangganya.

Presiden Brasil Dilma Rousseff juga tidak kalah absurdnya karena secara mendadak membatalkan penyerahan kredensial Duta Besar Toto Riyanto. Syukurlah Pemerintah RI merespons dengan lugas reaksi diplomatik substandar yang diperlihatkan Australia dan Brasil.

Kita ingat adagium bahwa politik luar negeri adalah ekstensi kepentingan nasional, dan kepentingan nasional kita saat ini, yang kita anggap urgen, adalah membebaskan negeri dari gurita narkoba.