Dalam wawancara seperti dimuat Kompaskemarin, Labora mengatakan, dirinya hanyalah tumbal dari permainan sejumlah oknum petinggi di Markas Besar Polri dan Polda Papua. Apa yang dimaksudkan dengan "tumbal" memang kita tidak mendapatkan penjelasan lebih rinci. Namun, kalau Labora mengaku sebagai tumbal, tentu ada pihak lain yang menjadikan dia sebagai tumbal.

Andaikan pengakuan itu benar, tentu kasus Labora ini sebuah permainan besar, yang bukan tidak mungkin melibatkan para pemain besar pula. Memang, kebenaran dari pengakuan Labora itu harus dicek silang, pada pihak lain.

Kalau kita runut ulang proses hukum Labora, sangatlah menarik. Pada 14 September 2014, Mahkamah Agung menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun kurungan.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Sorong, majelis hakim meloloskan Labora dari dakwaan kasus pencucian uang. Ia hanya dinyatakan melanggar Undang-Undang Migas karena menimbun bahan bakar minyak dan Undang-Undang Kehutanan karena melakukan pembalakan liar. Di pengadilan tingkat pertama ini, Labora divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 6 bulan kurungan.

Vonis MA itu tidak bisa dieksekusi karena Labora memiliki surat keterangan bebas hukum yang dikeluarkan Lembaga Pemasyarakatan Sorong, Agustus 2014. Akan tetapi, belakangan setelah tersiar Labora sudah berada di luar LP dan ribut-ribut menyangkut eksekusi putusan MA, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua Barat Agus Soekono menduga surat bebas hukum itu tidak valid karena terdapat sejumlah kejanggalan, yakni tidak ada nomor surat dan tembusan serta hanya ditandatangani seorang pelaksana harian kepala LP.

Mengikuti seluruh rangkaian peristiwa itu, juga pengakuan Labora—termasuk tidak menandatangani berita acara pemeriksaan serta status dan kepangkatannya dalam kepolisian yang tidak benar—kita memperoleh gambaran yang terang benderang, yang jelas tentang kondisi hukum dan penegakan hukum di negeri ini, karut-marut, bahkan dijalankan sesuai kepentingan pihak yang kuat.

Benar apa yang pernah dikatakan filsuf Yunani kuno, Thrasymachus, "hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat". Dengan demikian, hukum itu berfungsi sebagai kendaraan untuk kepentingan-kepentingan mereka yang kuat. Hal seperti itu tidak hanya berlaku dalam kasus Labora, tetapi juga dalam kasus lain yang sekarang ini menjadi bahan pembicaraan masyarakat banyak.

Sebaliknya, dalam banyak kasus, hukum tak berdaya bagi mereka yang tidak mempunyai kekuatan atau yang dalam posisi lemah. Padahal, tujuan pokok hukum pada dasarnya mencari keadilan, kesejahteraan umum, perlindungan individu, dan solidaritas. Dalam kasus Labora, tentu tujuan tersebut tidak tercapai. Karena itu, dibutuhkan penguasa yang kuat untuk memaksakan hukum tanpa pandang bulu.