Menurut berita yang tersiar, calon Duta Besar RI untuk Brasil Toto Riyanto sesuai jadwal akan menyerahkan surat kepercayaan Pemerintah Indonesia kepada Presiden Brasil Dilma Rousseff hari Jumat kemarin. Namun, Rousseff, lewat Menlu Brasil, menolak menerima surat kepercayaan itu. Sementara Toto sudah berada di istana.
Sudah layak dan sepantasnya kalau Pemerintah Indonesia tersinggung dengan tindakan Brasil itu. Keputusan Rousseff melanggar tata krama berdiplomasi. Brasil telah melanggar protokol diplomatik. Konvensi Geneva 1961, Pasal 29, antara lain menyatakan, ".... Negara penerima harus memperlakukannya dengan hormat dan harus mengambil semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap serangan terhadap badannya, kebebasannya, atau martabatnya."
Bertitik tolak dari pasal tersebut, jelas bahwa tindakan Pemerintah Brasil, dalam hal ini Rousseff, tidak memperlakukan Dubes Toto dengan hormat, bahkan sangat tidak terpuji. Wajar dan tepat kalau Menlu RI Retno Marsudi atas perintah Presiden Joko Widodo segera menanggapinya dengan mengirimkan nota protes keras, memanggil pulang Dubes Toto dan memanggil Dubes Brasil untuk Indonesia.
Keputusan tersebut didukung berbagai kalangan, termasuk DPR dan kalangan perguruan tinggi. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa Indonesia semestinya bertindak lebih dari "sekadar" menyampaikan nota protes, sekalipun ditambahi kata "keras". Ada gagasan pula untuk mengevaluasi kerja sama Indonesia dan Brasil. Saat ini, Indonesia memesan pesawat Super Tucano dan sistem peluncur roket multilaras (MLRS), serta mengimpor daging dari Brasil. Kerja sama itulah yang harus dievaluasi.
Kalau keputusan Brasil itu sebagai bentuk protes terhadap vonis mati pada warganya yang terlibat kasus narkoba—Marco Archer Cardoso Moriera (sudah dieksekusi) dan Rodrigo Gularte (menunggu eksekusi)—ini sama sekali tidak tepat. Sebab, itu berarti Brasil (dan juga Australia yang mengungkit-ungkit sumbangan mereka kepada masyarakat Aceh saat terkena tsunami) mengintervensi hukum Indonesia. Kalau keputusan itu sebagai upaya Rousseff mendapat dukungan dalam negeri yang saat ini sedang merosot, itu berarti dia hanya mementingkan diri sendiri.
Pendek kata, keputusan Rousseff telah mencederai hubungan Indonesia-Brasil, dan kita tidak boleh diam. Diplomasi yang berkualitas diperlukan tidak hanya untuk menjalin persahabatan dengan negara lain, tetapi juga bermakna ketegasan dan kejelasan dalam merespons dan menyikapi setiap tantangan eksternal. Jika tidak, taruhannya adalah citra dan martabat bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar