Sebuah komitmen politik amat diperlukan guna menjebol kebuntuan yang selama ini hampir tak pernah hinggap dalam lanskap kebijakan negara.
Berangkat dari realitas itu, pemerintah akhirnya membuat kebijakan terkait reformasi tanah. Dengan otoritas yang dimiliki, negara berencana membuka lahan pertanian seluas 9 juta hektar dan membagikan kepada 4,5 juta petani marjinal. Tujuannya, menumbuhkan pusat ekonomi baru berbasis pertanian dan perkebunan (
Tentu kebijakan tersebut diharapkan bukan hanya slogan. Bangsa ini sesungguhnya teramat kaya dengan kebijakan, tetapi miskin implementasi. Peran profetis negara di sektor pertanian ini punya nilai strategis di tengah upaya meningkatkan produktivitas sektor pertanian guna mewujudkan swasembada pangan.
Reformasi lahan
Persoalan reformasi tanah saat ini menjadi keniscayaan ketika berbicara tentang pembangunan sektor pertanian. Ada dua hal mendasar yang menggantung di sektor pertanian. Pertama, kepemilikan lahan yang luar biasa kecil. Data kementerian pertanian menunjukkan rata-rata kepemilikan 0,3 hektar saja. Padahal, lahan ideal yang harus dimiliki petani adalah 2 hektar. Kedua, kondisi-kondisi yang menyebabkan sektor pertanian menjadi pihak yang selalu kalah dan tersingkirkan, baik yang terkait soal alam, teknologi maupun kelembagaan pertanian.
Dengan struktur kepemilikan lahan yang kecil, segala atribut semacam efisiensi dan produktivitas sungguh jauh panggang dari api. Banyak penyebab semakin mengecilnya rata-rata kepemilikan lahan pertanian. Mulai dari konversi lahan pertanian untuk pabrik, perumahan, perkantoran, dan lain-lain.
Persoalan sempitnya kepemilikan lahan adalah ironi memilukan. Beberapa studi mengenai rumah tangga petani menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki lahan sangat sempit, bahkan banyak di antaranya yang tidak punya lahan dan cuma menjadi buruh tani. Di Jawa, petani gurem bahkan mencapai 75 persen rumah tangga petani. Ini yang diharapkan bisa diatasi dengan kebijakan reformasi tanah.
Nilai strategis
Reformasi tanah memiliki nilai strategis dalam tiga hal. Pertama, reformasi lahan bisa meningkatkan produksi pertanian, yang dalam jangka panjang bisa berkontribusi terhadap swasembada pangan. Kedua, dengan reformasi lahan petani akan lebih efisien berproduksi sehingga akhirnya bisa mendongkrak produktivitas. Ketiga, reformasi lahan juga instrumen distribusi kesejahteraan ekonomi karena memaklumatkan pembagian aset produksi (tanah) kepada petani (Schultz, dalam
Reformasi tanah bagi petani merupakan bagian esensial di sektor hulu, tetapi hanya akan bermakna apabila kebijakan di sektor hilir juga direformasi. Reformasi di sektor hilir itu tak lain adalah reformasi pertanian.
Selama ini petani selalu dikalahkan oleh proses struktural yang sangat sistematis sehingga tidak mungkin ada perubahan tanpa intervensi. Petani tidak berdaya berhadapan dengan pelaku ekonomi di sektor hilir yang berkuasa menekan harga ataupun waktu pembelian/penjualan komoditas pertanian. Di sinilah negara seharusnya hadir mereformasi lembaga pertanian.
Realitas kelembagaan yang selama ini terjadi adalah jaringan distribusi pemasaran produk pertanian dikuasai pelaku sektor hilir sehingga setiap peningkatan harga tidak dinikmati petani.
Secara kelembagaan, ada dua agenda kelembagaan yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, menerbitkan statuta hubungan antarpelaku ekonomi yang lebih menjanjikan kesetaraan (misalnya petani dengan tengkulak atau petani dengan koperasi).
Kedua, memperluas basis kegiatan produksi dan distribusi melalui penguatan organisasi ekonomi petani untuk mengurangi kuasa pelaku sektor hilir.
Jalan keluar
Atas persoalan ini, banyak solusi dengan mentransformasi sektor pertanian secara utuh. Misalnya pemerintah menyediakan dan memperbaiki infrastruktur dasar bagi pembangunan sektor pertanian. Cara lain adalah memperkuat pasar sebagai media yang mempertemukan transaksi sektor hulu dan hilir pertanian. Selanjutnya pemerintah bisa menggandeng pelaku ekonomi swasta untuk kegiatan setelah panen di sektor pertanian, khususnya pengolahan dan pemasaran produk pertanian.
Pemerintah perlu memahami dan mendalami struktur persoalan sektor pertanian sampai tingkat mikro sehingga desain kebijakannya akurat. Pada titik ini, kebijakan reformasi tanah merupakan syarat, tetapi belum memadai jika tidak didukung kebijakan pada level mikro.
Pada level mikro konsentrasinya adalah mendesain kesetaraan struktur kekuasaan antarpelaku ekonomi sektor pertanian. Tanpa perubahan konfigurasi kekuasaan, kebijakan reformasi tanah justru menyuburkan praktik eksploitasi di sektor pertanian. Dampaknya adalah ketimpangan pendapatan melebar.
Akhirnya, komitmen politik dalam kebijakan sektor pertanian harus betul-betul diteguhkan negara agar ke depan wajah sektor pertanian di Indonesia menjadi lebih bermartabat, khususnya kebijakan reformasi tanah dan perbaikan kesepakatan kelembagaan antarpelaku ekonomi.
ACHMAD MAULANI, ASSOCIATE RESEARCHER PUSAT STUDI ASIA PASIFIK UGM, YOGYAKARTA; KANDIDAT DOKTOR UNIVERSITAS INDONESIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Komitmen Politik Sektor Pertanian".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar