Jangan-jangan kita tidak punya dokumentasi bahasa daerah yang lengkap dan hanya mengandalkan penutur bahasa daerah yang masih tersisa dan berusia tua. Jangan-jangan sudah banyak bahasa daerah yang sudah hilang ditelan masa karena sudah tidak ada penuturnya. Pendokumentasian bahasa daerah menjadi sangat penting.
Namun, pendokumentasian tidak sekadar mencatat kata-katanya atau mengabadikannya ke dalam kamus. Dialek bahasa lokal dari masa ke masa juga perlu direkam dan diperdengarkan kepada siapa saja yang ingin mengetahui perkembangan bahasa. Perbedaan dialek dan kosakata bahasa Betawi, misalnya, dari masa ke masa ada perubahan. Bahkan, pada masa yang sama di beberapa daerah di Jakarta dan sekitarnya juga terdapat perbedaan-perbedaan.
Mumpung belum terlambat, pendokumentasian bahasa lisan bisa dilakukan dengan merekam penutur bahasa dengan mengambil contoh penutur dengan usia tertua dan anak-anak muda. Coba kita bandingkan dialeknya ketika mengatakan suatu maksud yang sama atau kalimat yang sama. Seberapa jauh pengaruh bahasa nasional atau asing memengaruhi bahasa daerah yang digunakan anak-anak muda. Dari sisi dialek dan kosakata, pasti berbeda.
Kosakata pada masa sekarang pasti lebih baru (
Kecepatan informasi yang dilansir media massa juga menambah cepatnya bahasa daerah terkontaminasi bahasa nasional, bahasa daerah lain, dan bahkan bahasa internasional. Bahasa Betawi yang menggunakan akhiran "in" (misalnya
Ancaman ini belum termasuk berasal dari penuturnya sendiri, misalnya merantau ke daerah lain dan kemudian meninggalkan bahasa ibunya. Kawin silang antarsuku yang menggunakan bahasa yang berbeda dan dalam kehidupan sehari-hari tidak menggunakan bahasa daerah asal. Akibatnya, anaknya juga tidak bisa berbahasa daerah.
Upaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sudah mulai melakukan penelitian dan mendokumentasikan sejumlah bahasa daerah patut mendapat acungan jempol, dan bahkan perlu mendapat dukungan dari semua pihak supaya kekayaan bahasa kita tercatat dengan baik.
Menurut ahli bahasa dari LIPI, Fanny Henry Tondo, seperti dikutip
Pada periode 2011-2014, LIPI meneliti enam bahasa daerah dari Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur, yaitu bahasa Gamkonoro, Kao, Pagu, Oirata, Kafoa, dan Kui. Dari hasil penelitian LIPI, jumlah penutur bahasa-bahasa tersebut tidak lebih dari 1.000 orang per bahasa. Bahkan, bahasa Kao hanya memiliki penutur 10 orang.
Menurut Abdul Rachman Patji, antropolog yang juga koordinator Tim Peneliti Bahasa Daerah LIPI, beberapa faktor penghambat perkembangan bahasa daerah adalah proses transfer bahasa daerah antargenerasi tidak maksimal. Orangtua tidak menggunakan bahasa daerah kepada anak-anak, tetapi menggunakan bahasa Melayu setempat. Akibatnya, anak-anak tidak mengerti bahasa daerah sebagai bahasa ibu (
Selain mendokumentasikan bahasa daerah secara komprehensif perlu dilakukan, memasukkan pelajaran bahasa setempat sebagai mata pelajaran tambahan di sekolah-sekolah juga penting diwujudkan. Bahasa daerah juga ada baiknya tetap digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan kegiatan masyarakat setempat. Cara demikian akan memperlambat punahnya bahasa daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar