Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 27 Maret 2015

Mengembangkan Lagi Hubungan Indonesia-Tiongkok (YEREMIA LALISANG)

Pekan ini Presiden Joko Widodo kembali berkunjung ke Republik Rakyat Tiongkok. Ini merupakan kunjungan keduanya dalam jangka waktu kurang dari enam bulan setelah dilantik sebagai presiden ketujuh Republik Indonesia.

Presiden tampaknya berusaha menyesuaikan kata dan tindakan. Bulan lalu, di depan seluruh kepala perwakilan dan konsulat jenderal RI di luar negeri, Presiden mengutarakan bahwa diplomasi ekonomi adalah fokus pemerintah yang baru dalam melaksanakan kebijakan luar negeri.

Dalam hal ini, Tiongkok tentu adalah destinasi kunjungan kenegaraan yang tepat. Hubungan dengan negara yang kini adalah kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia itu tentu akan bermanfaat bagi usaha pemerintah membuat penyelenggaraan diplomasi berkontribusi signifikan pada transformasi perekonomian nasional.

Setelah kunjungan ini, ke arah mana hubungan Indonesia– Tiongkok harus dikembangkan?

Belajar dari sejarah

Komitmen Indonesia dan Tiongkok untuk terus meningkatkan interaksi antar-keduanya secara formal memang telah tercantum dalam dokumen Kemitraan Strategis dan Kemitraan Strategis Komprehensif yang di tandatangani pada 2005 dan 2013. Lebih lagi, kini, pemimpin kedua negara sama-sama menaruh perhatian besar pada sektor maritim.

Dalam berdiplomasi dengan Asia Tenggara, Presiden Tiongkok Xi Jinping, muncul dengan proposal pembangunan Jalur Sutra Maritim Baru (The New Maritime Silk Road). Di lain pihak, Presiden Jokowi muncul dengan ide mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Namun, sejarah hubungan Indonesia-Tiongkok membuktikan kesamaan pandangan kedua belah pihak dan komitmen formal untuk bekerja sama bukanlah fondasi yang kuat bagi harapan terciptanya hubungan Indonesia–Tiongkok yang lebih erat dan berkelanjutan.

Indonesia pernah secara terang-terangan mendekat ke Tiongkok. Pandangan yang sama tentang sistem internasional merekatkan hubungan Presiden Soekarno dan Ketua Mao Zedong. Dalam merespons perkembangan tersebut, Soekarno kemudian mengumumkan eksistensi Poros Jakarta-Beijing.

Akan tetapi, poros tersebut berusia pendek. Peristiwa 30 September 1965 mengubur ide dan tujuan pembentukannya. Hanya dalam semalam, persahabatan Indonesia-Tiongkok berubah menjadi permusuhan.

Wacana serupa muncul kembali pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Tiongkok menjadi destinasi pertama kunjungan kenegaraan Gus Dur ke luar negeri. Indonesia saat itu diprediksi akan kembali mendekat ke Tiongkok. Namun, wacana tersebut bernasib sama dengan pendahulunya. Pergantian rezim telah membuat ide itu berlalu begitu saja tanpa wujud nyata.

Dua fragmen sejarah tersebut menunjukkan bahwa kedekatan yang pernah terjalin antara Indonesia dan Tiongkok dibangun atas fondasi yang lemah. Keduanya kemudian menyarankan bahwa dukungan domestik yang kuat jelas dibutuhkan untuk menopang interaksi berkelanjutan antara Indonesia dan Tiongkok.

Hal ini ditekankan Rizal Sukma dalam bukunya, Indonesia and China: The Politics of Troubled Relations. Untuk memulai lembaran baru hubungan diplomatiknya dengan Indonesia, Sukma memaparkan bahwa Tiongkok harus menunggu hingga kalkulasi kondisi politik dalam negeri yang dilakukan rezim Orde Baru mengizinkan hal tersebut terjadi.

Dukungan dari para pemangku kepentingan di dalam negeri semakin dibutuhkan mengingat aktor-aktor tersebut memang mendapat ruang yang tidak kecil dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia pasca Reformasi. Suara aktor-aktor di luar birokrasi dipertimbangkan, walaupun tidak sepenuhnya menentukan, baik di dalam proses formulasi maupun eksekusi kebijakan.

Tidak berlebihan apabila publik dalam negeri mengharapkan hubungan Indonesia dengan negara yang mempunyai kisah pembangunan ekonomi yang fenomenal berkontribusi langsung kepada transformasi perekonomian nasional dan usaha peningkatan kesejahteraan rakyat.

Menggalang dukungan di dalam negeri terhadap hubungan Indonesia-Tiongkok berarti memenuhi harapan terebut. Dalam hal ini, pemerintah ditantang untuk muncul dengan penjelasan bagaimana berhubungan dengan Tiongkok akan membawa Indonesia pada berbagi peluang dan kesempatan.

Dalam mengembangkan hubungan Indonesia-Tiongkok ke depan, suatu poros baru harus dibentuk. Poros tersebut tidak menghubungkan Jakarta dengan Beijing, melainkan Jakarta dengan rakyat Indonesia. Terbentuknya poros tersebut akan menjadi saluran bagi publik untuk mengakses berbagai manfaat yang dihasilkan diplomasi Indonesia terhadap Tiongkok.

Ia sekaligus akan menjadi wahana bagi publik untuk mengekspresikan aspirasinya terhadap usaha diplomasi pemerintah, yang akhirnya diharapkan akan bermuara pada artikulasi dukungan publik bagi stabilitas hubungan Indonesia–Tiongkok.

Berkembang dalam prinsip

Selain pengembangan, hubungan Indonesia–Tiongkok harus tetap berpijak pada prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang "bebas dan aktif". Prinsip ini memang tidak melarang terbinanya hubungan Indonesia yang lebih erat dengan negara mana pun, termasuk Tiongkok. Akan tetapi, ia jelas akan menghalangi suatu keberpihakan. Atas dasar pemahaman ini, mengembangkan hubungan Indonesia-Tiongkok demi membentuk kembali poros Jakarta-Beijing model Soekarno tentu bukanlah usaha yang realistis.

Atas nama prinsip "bebas dan aktif", pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia harus pula merefleksikan sikap pemerintah Indonesia yang pro terhadap perdamaian. Dengan demikian, tujuan Indonesia membina hubungan yang lebih dekat dengan Tiongkok, di samping melayani kepentingan ekonomi nasional, harus selalu diarahkan untuk mendorong Tiongkok untuk berkontribusi secara aktif dan positif pada stabilitas kawasan dan perdamaian. Ini semata-mata adalah amanat konstitusi yang harus dijalankan.

YEREMIA LALISANG,

PENGAJAR PADA DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIP UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Mengembangkan Lagi Hubungan Indonesia-Tiongkok".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger