Hugo Chavez
Suatu malam pada Februari 1992 Hugo Chavez yang berpangkat letnan kolonel melakukan kudeta, mengirim sejumlah tank dan tentara menyerbu Istana Miraflores di Caracas.
Diktator militer Venezuela, Presiden Carlos Andres Perez, lari, kudeta gagal, dan Chavez masuk penjara. Enam tahun kemudian, ia muncul kembali sebagai kandidat presiden dan menang dalam pemilu. Pada Februari 1999, ia dilantik sebagai Presiden Venezuela termuda yang diperhitungkan dunia.
Chavez tampil sebagai sosok pemimpin modern yang populis dan kontroversial. Ia dianggap sebagai mesias sekaligus tiran, dibenci, tetapi juga dirindukan. Sejarah mencatatnya sebagai pemimpin Amerika Latin yang menyalakan kembali api revolusi sosialis kerakyatan Bolivarian.
Ia melawan neokolonialisme dengan nasionalisasi perusahaan migas untuk kemakmuran rakyat, menyerukan solidaritas internasional melawan hegemoni kapitalisme Barat dan dominasi Amerika Serikat. Kepergian Chavez pada 5 Maret 2013 diantar isak tangis jutaan rakyat dan bela sungkawa masyarakat dunia yang mengaguminya.
Transformasional versus transaksional
Kepemimpinan terbukti menentukan corak warna sejarah. Sulit dibayangkan dunia tanpa pemimpin. Negara tanpa kehadiran pemimpin pasti berjalan autopilot. Tanpa Chavez, bisa jadi Amerika Latin tetap terpinggirkan, kekayaan alamnya tetap dikuasai korporasi asing. Tanpa Chavez, Venezuela lebih dikenal dengan ratu kecantikannya, sebuah negara dengan Miss Universe terbanyak di dunia. Sepeninggal Chavez, kemelut yang melanda negeri itu nyaris tak pernah surut.
Joko Widodo jelas bukan Chavez. Latar belakang Jokowi bukan
Gagasan revolusi mental untuk melakukan perubahan disambut dengan besarnya ekspektasi rakyat. Tak hanya slogan jujur, merakyat, dan sederhana, tetapi inisiasi dan karya nyata seperti mobil Esemka, kerja keras blusukan ke berbagai tempat, menjadi daya tarik yang memukau. Tak mengherankan, Jokowi melesat dari Solo menaklukkan Ibu Kota hingga menjadi orang nomor satu di republik ini.
Kinerja pemimpin menjadi titik sentral maju-mundurnya kapal yang dikemudikan. Ia dituntut untuk menginspirasi, menggerakkan, dan memobilisasi sehingga dapat berjalan bersama mencapai tujuan. Kepemimpinan, menurut filsuf William James, tak lepas dari aras pemikiran dan tindakan. Visi harus sejalan dengan aksi. Gagasan mesti berbanding lurus dengan kebijakan.
Di sinilah aura kepemimpinan Jokowi diuji. Keefektifan kinerjanya dalam memimpin dipertanyakan. Penyelesaian konflik KPK vs Polri yang berlarut-larut, melenggangnya perpanjangan kontrak Freeport yang merugikan, munculnya proyek mobil nasional Proton, menjadi sekelumit potret pengambilan keputusan yang tidak tegas alias membingungkan.
Janji kabinet ramping, program kartu sakti, membeli kembali Indosat, tersandera transaksi politik balas budi, yang bertentangan dengan Nawacita yang terus didengungkan.
Tipikal kepemimpinan transaksional mengutamakan maksimalisasi keuntungan dalam setiap keputusan. Pemimpin transaksional menggunakan konstituen karena ada sesuatu (Machiavellian) dan untuk mendapatkan sesuatu, terutama keuntungan nominal.
Sebaliknya, pemimpin transformatif bergandeng erat, memotivasi, membantu, menggerakkan
Bukan pemimpin boneka
Venezuela beruntung punya Chavez yang tegas. Indonesia pun harus bangga punya pemimpin pemberani, seperti Soekarno. Mereka adalah figur pemimpin transformatif yang bertakhta di hati rakyat, pemimpin yang energik, berani ambil risiko, optimistis, empatik, dan persuasif. Pemimpin transformatif membangkitkan harapan, juga berupaya mengatasi masalah, rasa takut, frustrasi, dan kegundahan yang melanda rakyat.
Bung Karno berpenampilan perlente, tetapi hati, pikiran, dan tindakannya ditujukan untuk rakyat. Sebagai pemimpin besar revolusi, Bung Karno tidak hanya memerdekakan, tetapi juga memberdayakan, bukan memperdayai rakyat. Ia patut menjadi contoh pemimpin yang konsisten dalam visi dan aksi, antara mimpi besar dan kerja nyata.
Semboyan "
Kepemimpinan modern dihadapkan pada konteks dan tantangan yang dinamis. Namun, kinerja pemimpin tetap menjadi denyut nadi maju-mundur, hidup-mati institusi yang dipimpinnya. Seperti kata Napoleon,
Di era demokrasi rakyat dituntut aktif berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan. Kepercayaan publik juga menjadi keniscayaan.
Tak ada pemimpin yang sempurna dan sejarah telah menjadi laboratorium yang tidak sempurna. Angin dan badai selalu mengarungi nasib pemimpin, seperti dialami Chavez dan Soekarno. Mereka terbukti menjadi sosok pemimpin yang dirindukan bukan semata-mata karena jabatan, melainkan lebih pada apa yang telah mereka lakukan.
Jokowi pun akan dikenang rakyat tidak saja karena ia seorang wali kota, gubernur, atau presiden, tetapi dari apa yang telah ia perbuat!
IMAM CAHYONO
WARGA MUHAMMADIYAH; PENELITI MAARIF INSTITUTE FOR CULTURE AND HUMANITY
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Pemimpin yang Dirindukan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar