Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 25 Maret 2015

TAJUK RENCANA: OPEC dan Kemelut Harga Minyak (Kompas)

Kejatuhan harga minyak mentah dunia yang menjadi berkah bagi negara-negara importir mulai memicu ketegangan di kalangan produsen.

Harga yang bertahan rendah dan perkiraan sulitnya harga kembali ke level "normal" sekitar 100 dollar AS per barrel, ditambah lagi tekanan harga yang masih berlanjut, membuat sebagian produsen minyak mulai gerah.

Saling tuding terjadi di antara OPEC dan non-OPEC mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas jatuhnya harga minyak mentah sembilan bulan terakhir.

Selama kurun 2010-2014, harga minyak relatif stabil di kisaran 110 dollar AS per barrel, tetapi sejak Juni 2014 harga terpangkas 60 persen lebih dengan minyak patokan Brent sempat di bawah 50 dollar AS dan minyak mentah produksi AS sekitar 45 dollar AS per barrel saat ini.

Anjloknya harga dipicu lemahnya permintaan di banyak negara akibat melesunya ekonomi, selain juga akibat lonjakan produksi minyak AS (tertinggi 30 tahun terakhir) dan adanya pengembangan minyak dan/atau gas serpih.

Di tengah situasi seperti itu, OPEC yang menyumbang 40 persen produksi dunia justru sepakat mempertahankan pagu produksi di sekitar 30 juta barrel per hari karena pertimbangan kepentingan mempertahankan pangsa pasar. Arab Saudi, pemilik cadangan dan eksportir minyak terbesar dunia, bahkan bertekad terus menambah produksi di tengah pasokan berlimpah dan terpuruknya harga.

Kalangan pengamat melihat ini sebagai bagian dari strategi negara ini untuk mendisiplinkan sesama koleganya di OPEC, sekaligus menciptakan disinsentif bagi ambisi AS dalam mengembangkan potensi minyak/gas serpih di dalam negerinya. Produksi minyak/gas serpih besar-besaran di AS dianggap bisa jadi pesaing minyak mereka. Arab Saudi meyakini, harga minyak rendah akan memaksa produsen minyak berbiaya produksi tinggi gulung tikar.

Penolakan untuk menurunkan produksi juga ditunjukkan produsen non-OPEC seperti Rusia karena tak ingin kehilangan pasar. Namun, tak seperti Arab Saudi dan anggota OPEC lain, yang dengan cadangan devisa yang besar akan mampu bertahan dengan harga minyak rendah dalam kurun waktu panjang, produsen non-OPEC sangat terpukul dengan situasi harga minyak saat ini.

Rusia, Venezuela, dan Nigeria limbung dan di ambang krisis. Anjloknya penerimaan devisa minyak mengakibatkan mata uang dan ekonomi Rusia yang 70 persen ekspornya disumbangkan migas dan menghadapi embargo Barat terpukul. Pukulan juga dirasakan Venezuela yang di ambang resesi dengan inflasi sekitar 60 persen.

Dengan ekses pasokan dan penurunan permintaan yang terjadi, pemangkasan produksi menjadi satu-satunya cara untuk kembali mendongkrak harga minyak mentah. Siapa yang harus melakukan? Situasi tarik ulur OPEC dan non-OPEC ini diperkirakan masih berlanjut. Lebih-lebih OPEC cenderung resisten karena selama ini pemangkasan produksi tak selalu sukses mendongkrak harga.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "OPEC dan Kemelut Harga Minyak".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger