Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 06 Maret 2015

TAJUK RENCANA: Prioritaskan Diversifikasi Energi (Kompas)

Peringatan kembali bahwa Indonesia tengah di ambang krisis energi menyentak kesadaran tentang keberadaan Indonesia sebagai bangsa.

Tak kurang dari Menteri Pertambangan dan Energi 1978-1988 Subroto (91) mengeluarkan peringatan tersebut. Dia bersama Menteri Negara Lingkungan Hidup 1993-1998 Sarwono Kusumaatmadja dan pimpinan PT Energy Management Indonesia (Persero) berkunjung ke Redaksi Kompas, Rabu (4/3), untuk menyampaikan kerisauan tentang ketahanan energi nasional.

Pesan penting adalah belum adanya kesadaran bersama bahwa Indonesia sudah di ambang krisis energi dan belum memiliki protokol krisis energi. Akibatnya, tidak ada ukuran krisis dan hal ini dapat menjebak Indonesia.

Hal yang disampaikan Subroto dan kawan-kawan bukan hal baru. Peringatan semakin terbatasnya cadangan minyak bumi Indonesia dan mendesaknya penganekaragaman sumber energi sudah berulang kali disampaikan.

Data menunjukkan, cadangan minyak bumi Indonesia habis dalam 11 tahun lagi, kecuali berhasil menemukan sumur minyak baru. Beberapa tahun terakhir upaya menaikkan produksi minyak dari 800.000 barrel per hari tidak memberikan hasil memuaskan. Rendahnya harga minyak saat ini, berkisar 50-60 dollar AS, semakin membuat eksplorasi baru tidak menarik karena biayanya mahal.

Rencana pemerintah mendiversifikasi sumber energi untuk lepas dari ketergantungan pada minyak bumi berjalan lambat. Contoh paling gamblang, pemanfaatan gas alam sebagai pengganti bahan bakar minyak. Apalagi pemanfaatan panas bumi, biomassa, energi surya, air, bahkan angin.

Masalah besar kita bersama adalah konsistensi dan kesabaran dalam melaksanakan kebijakan jangka panjang. Upaya diversifikasi energi timbul-tenggelam sejalan dengan harga energi di pasar dunia. Biaya penelitian dan pengembangan teknologi juga sedikit mendapat perhatian.

Masih kuat dalam ingatan saat harga minyak dunia di atas 110 dollar AS per barrel hingga akhir tahun 2014 dan anggaran belanja negara terkunci untuk membiayai subsidi bahan bakar minyak. Harga minyak bumi dunia saat ini artifisial murah akibat Arab Saudi membanjiri pasar untuk menghadang produksi minyak serpih (shale oil). Situasi ini diperkirakan hanya berlangsung satu tahun.

Lebih dari sekadar komoditas ekonomi, energi—seperti pangan dan air—telah menjadi barang politis. Negara berusaha sedapat mungkin mencukupi kebutuhan dalam negeri ketiga komoditas tersebut. Ketidakstabilan politik dan keamanan di kawasan penghasil minyak, seperti Timur Tengah, akan memengaruhi ketersediaan minyak bumi dan memengaruhi stabilitas dalam negeri.

Masih ada waktu menganekaragamkan energi dan membangun ketahanan negara. Jangan sampai kembali terlena oleh harga minyak bumi yang sedang rendah.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Prioritaskan Diversifikasi Energi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger