Postulat ini merupakan pedoman di negara-negara yang mewarisi tradisi sistem Eropa Kontinental, termasuk Indonesia, bahwa dalam mengadili setiap perkara, hakim sangat bersifat otonom dan tidak terikat pada putusan hakim sebelumnya. Dalam konteks putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Budi Gunawan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK, tidak serta-merta mengikat para tersangka lain yang sedang mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka tersebut. Setiap perkara mempunyai sifat dan karakter tersendiri yang sudah tentu didasarkan pada fakta yang berbeda pula.
Tak dapat dinafikan, putusan praperadilan oleh Sarpin Rizaldi telah menimbulkan kontroversi secara diametral. Mereka yang menyatakan penetapan tersangka tak dapat dimohonkan praperadilan menggunakan argumentasi bahwa Pasal 77 KUHAP terkait kewenangan praperadilan bersifat limitatif dan penetapan tersangka tak termasuk di dalamnya. Sebaliknya, bagi yang menyatakan penetapan tersangka merupakan kewenangan praperadilan dengan mudah membalikkan argumen bahwa dalam pasal-pasal praperadilan tidak ada satu pun larangan yang menyatakan penetapan tersangka tidak dapat dimohonkan praperadilan.
Praperadilan
Tulisan ini mencoba memberi penjelasan mengenai tiga hal. Pertama, terkait instrumen praperadilan itu sendiri. Kedua, apakah sah-tidaknya penetapan tersangka merupakan kompetensi praperadilan? Ketiga, upaya hukum apa yang dapat dilakukan terhadap putusan praperadilan?
Pertama, instrumen praperadilan dimaksudkan mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum terhadap seseorang yang sedang menjalani proses hukum. Kendati demikian, instrumen praperadilan berdasarkan KUHAP memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan itu: (a) praperadilan hanya dapat diproses jika ada gugatan. Hal ini berbeda dengan negara-negara yang menjunjung tinggi
Kemudian, (2) tak semua upaya paksa dalam sistem peradilan diatur KUHAP, seperti sah-tidaknya penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Jika ditimbang dengan menggunakan dua sistem nilai dalam peradilan pidana, masing-masing
Kedua, terkait sah-tidaknya penetapan tersangka, apakah merupakan kompetensi praperadilan, hal ini tidak diatur secara eksplisit. Oleh karena itu, untuk menentukan sesuatu yang tidak diatur apakah boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan haruslah berdasarkan tiga ukuran, masing-masing adalah kepatutan, ketertiban umum, dan pemikiran yuridis yang logis sistematis. Terhadap ukuran kepatutan dan ketertiban umum, jelaslah bahwa permohonan praperadilan atas sah-tidaknya penetapan tersangka tak bertentangan dengan kepatutan dan ketertiban umum. Selalu menjadi perdebatan apakah hal itu bertentangan dengan pemikiran yuridis yang logis sistematis.
Penetapan tersangka hanya berdasarkan bukti permulaan (lihat Pasal 1 butir 14 KUHAP) pada dasarnya merupakan perwujudan
Hal ini berbeda dengan penetapan tersangka oleh KPK. Berdasarkan UU, KPK hanya mengenal
Sebenarnya maksud pembentuk UU tidak mencantumkan
Sementara di sisi lain, personel KPK sangat terbatas jumlahnya untuk menyidik kasus yang sedang ditangani. Seyogianya seseorang dinyatakan sebagai tersangka jika berkas perkara lebih dari 60 persen telah selesai untuk dilimpahkan ke pengadilan, kecuali dalam hal tertangkap tangan. Setelah penetapan tersangka, hendaknya diikuti penahanan berdasarkan syarat obyektif (lihat Pasal 21 Ayat [4] KUHAP) dan sesegera mungkin dihadapkan ke persidangan sehingga ada kepastian hukum mengenai benar-salahnya atas tindak pidana korupsi yang didakwakan.
Kasasi ke MA
Ketiga, terkait upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan praperadilan secara teoretis adalah kasasi kepada MA. Argumentasinya, pemeriksaan dalam praperadilan belum masuk materi pokok perkara. Jika hakim mengadili melampaui kewenangan atau mengadili tidak berdasarkan aturan hukum yang berlaku, maka dapat dikoreksi oleh MA yang bertindak sebagai
Berdasarkan pemikiran yuridis yang logis sistematis, kiranya PK terhadap putusan praperadilan tidak dapat dilakukan berdasarkan argumentasi berikut: (1)
EDDY OS HIARIEJGURU BESAR HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Hal Ihwal Praperadilan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar