Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 18 November 2014

Soal Kartu Indonesia Sehat (Hotbonar Sinaga)

BENARKAH ada kekisruhan dengan Kartu Indonesia Sehat? Beberapa pihak mengatakan dasar hukum KIS tidak jelas, tidak kuat, bahkan tidak ada. Ada lagi yang mengatakan tumpang tindih dengan program Jaminan Kesehatan Nasional yang sedang berjalan dan kuat dasar hukumnya, yaitu Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Kemudian dipersoalkan pula dari mana itu anggarannya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukanlah suatu masalah yang tidak dapat dicari jawaban atau solusinya walau tak dapat dikatakan mudah. Kalau ditanya, benarkah ada kekisruhan dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS)? Jawaban dari penulis singkat saja: tidak juga!

Sebagai profesional perasuransian yang sudah memiliki jam terbang lebih dari cukup dan pengalaman praktik di bidang asuransi kesehatan serta dosen asuransi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia lebih dari 40 tahun, penulis coba membahasnya secara obyektif tanpa ada kepentingan apa pun.

Kita tahu bahwa KIS pertama kali dimunculkan oleh Joko Widodo saat kampanye pemilihan presiden yang baru lalu, selain kartu "sakti" lainnya.

Sebagai presiden terpilih, tentunya beliau harus dan wajib memenuhi janjinya dalam bentuk komitmen yang akan direalisasi dalam waktu segera. Peluncuran kartu yang dilaksanakan pada awal November ini menunjukkan pengejawantahan komitmen itu. Semua pihak yang bertanggung jawab kepada Presiden sesuai ketentuan perundangan tidak bisa tidak harus mengamankan komitmen tersebut dan merealisasikannya karena perlu dicatat bahwa latar belakang penerbitan kartu tersebut bukan semata-mata alat kampanye, melainkan didasari niat awal yang baik, bahkan dapat dikatakan mulia.

Setiap niat baik atau "nawaitu" dari siapa pun yang bermanfaat untuk kemaslahatan/hajat hidup orang banyak patut kita dukung dan realisasikan.

Dasar hukum
Memang, dasar hukum KIS dan juga kartu lainnya belum jelas. Apa, sih, sulitnya membuat dasar hukum supaya lebih mantap dan kuat? Menteri terkait sudah berinisiatif mempersiapkannya untuk dibicarakan dalam sidang kabinet guna disetujui Presiden dan segera direalisasikan. Libatkan pihak lain, termasuk BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan lain-lain. Ini urusan besar yang harus dirundingkan bersama untuk mencari solusi dan jangan ditunda-tunda, bukan hanya urusan Kementerian Kesehatan atau Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia saja.

Undang-undang atau turunan di bawahnya, bahkan termasuk UUD, kan, kita juga yang buat? Sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, semua pihak itu wajib segera menindaklanjuti, termasuk BPJS, DJSN, dan lain-lain. Selain menteri, patut dicatat bahwa direksi BPJS dan anggota DJSN diangkat oleh dan bertanggung jawab langsung kepada presiden!

Tumpang tindih
Untuk sosialisasi dan komunikasi tentang KIS harus segera dirumuskan program jangka pendeknya plus materinya sehingga mengurangi kesalahpahaman tentang KIS vs Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Mari kita lihat permasalahannya secara jernih. KIS, seperti telah dijelaskan pemerintah, tidak tumpang tindih dengan JKN yang harus dilegalisasikan dalam bentuk regulasi pemerintah (PP). KIS menambah cakupan kepesertaan JKN dari yang semula hanya 86,4 juta penerima bantuan iuran (PBI) plus penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang jumlahnya 1,7 juta (data Badan Pusat Statistik), yaitu mereka yang cacat, jompo, pensiunan, dan lain-lain yang tidak masuk dalam PBI.

Jadi, cakupan kepesertaannya lebih luas dari JKN. Ada pihak yang "asal bunyi" mengatakan bahwa cakupan KIS lebih baik karena meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Faktanya, dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU No 40/2004 Pasal 22) dinyatakan, program jaminan kesehatan (dalam hal ini JKN) tak hanya meng-"cover" pelayanan penyembuhan, tetapi juga tiga pelayanan lainnya (promotion, preventive, dan rehabilitation).

Anggaran
Karena ada penambahan jumlah kepesertaan sekitar 1,7 juta PMKS, jelas diperlukan tambahan pendanaan. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, ditetapkan besarnya iuran bagi PBI adalah Rp 19.225 per orang per bulan yang dibayarkan kepada BPJS Kesehatan.

Dengan demikian, besarnya tambahan tersebut adalah 1,7 juta dikalikan dengan Rp 19.225 atau Rp 32,68 miliar sebulan atau sekitar Rp 391,2 miliar setahun.

Jumlah ini masih harus ditambah dengan pendanaan lain yang terkait, seperti pembuatan kartu dan lain-lain yang tidak begitu signifikan jumlahnya. Bagaimana sumber pendanaannya? Pemerintah harus berhati-hati menetapkannya walau jumlahnya relatif tidak besar dibandingkan dengan APBN tahun 2015.

Salah satu alternatifnya adalah dari APBN Perubahan walaupun mungkin, sekali lagi, proses persetujuannya akan berliku-liku di DPR. Jangan mencari alternatif yang tidak jelas dasar hukumnya atau bersifat temporer, seperti dari tanggung jawab sosial korporasi oleh BUMN atau perusahaan (corporate social responsibility/CSR).

Tambahan yang jumlahnya kurang dari Rp 400 miliar setahun dapat saja ditanggulangi sementara oleh BPJS Kesehatan. Badan itu tidak perlu khawatir akan bangkrut karena Pasal 48 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional menyatakan, pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya kesehatan keuangan BPJS. Jadi, apa yang dikhawatirkan? Jawabannya: "Tidak ada."

Semuanya tergantung dari upaya pemerintah yang wajib merealisasikan komitmen demi kesejahteraan rakyatnya. Semoga niat baik ini akan mendapat rida dan jalan yang terbaik dari Tuhan Yang Mahakuasa. Amin.

Hotbonar Sinaga
Ketua Asosiasi Asuransi dan Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI) 2009-2012

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010156415
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger