Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 18 April 2015

Kekerasan dan Fundamentalisme Sejati (EKO WIJAYANTO)

Negara Islam di Iran dan Suriah merupakan kebangkitan dari gerakan anti kolonialisme sekaligus sebuah babak perjuangan melawan kapitalisme global yang menggerogoti kekuatan negara-negara marjinal dan dunia ketiga.

Yang menjadi masalah pada rezim NIIS ini adalah klaim bahwa mereka mengutamakan kehidupan  beragama dan kesesuaian segala aspek kehidupan dengan aturan agama, dan bukan regulasi kesejahteraan rakyat pada umumnya. Jargon yang dikemukakan NIIS adalah "Rawat lah agama dan kesejahteraan akan datang dengan menghampiri sendirinya!"

NIIS sebagai sebuah gerakan massa yang berbasis fundamentalisme agama menyimpan sejumlah pertanyaan yang ambigu. Misalnya, mengenai istilah fundamentalisme itu sendiri. Apakah NIIS ini benar-benar otentik sebagai fundamentalisme dalam pengertian aslinya?

Menurut filsuf Slavoj Zizek, seorang fundamentalisme yang sejati tidak akan merasa terancam dengan kehidupan pihak lain-yang berbeda keyakinan. Fundamentalisme yang sejati diandaikan telah mendapatkan jalan kebenaran. Karena itu, sewajarnya mereka tak perlu merasa terganggu, apalagi terancam dengan orang lain yang berbeda keyakinan.

Zizek dalam opininya yang dimuat bulan lalu di The New York Times berjudul "ISIS is a Disgrace to True Fundamentalism"menyatakan bahwa NIIS adalah pseudofundamentalisme. Pseudofundamentalisme ini adalah perbedaan gagasan akan kekuasaan yang dimiliki oleh NIIS dengan kaum Barat modern yang mengacu pada gagasanbiopower Michael Foucault: mengatur kehidupan publik untuk menjamin kesejahteraan bersama.

Akan tetapi, hal ini tidak serta-merta membuat NIIS menjadi konservatif ataupun pramodern dan bentuk resistensi ekstrem terhadap modernitas, tetapi bentuk kegagapan merespons modernitas-yang serupa dengan modernisasi konservatif seperti restorasi Meiji di Jepang pada abad ke-19.

Penting dicatat bahwa NIIS memiliki propaganda online (media sosial seperti Twitter) dan transaksi finansial yang sangat terorganisasi kendati praktik yang sangat modern ini digunakan untuk mengusung dan menguatkan visi ideologi-politik yang sangat konservatif: fundamentalisme.  Akan tetapi, Zizek menyoroti bahwa bahkan gambaran akan organisasi fundamentalisme dengan disiplin dan diatur dengan ketat juga memiliki ambiguitas: apakah operasi keagamaan tidak dilengkapi dengan gaya militer NIIS? Walaupun ideologi NIIS yang resmi melontarkan protes kepada permisivitas Barat, praktik sehari-hari dari kelompok NIIS meliputi pesta berlebihan, pencurian, pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan orang murtad.

Kesiapan heroik

Ambiguitas ini menyeret kita mempertanyakan kesiapan heroik NIIS mewujudkan jargon utamanya merawat agama dan berjuang untuk agama. Mengingatkan kita akan nubuat filsuf  Friedrich Nietzsche memersepsikan bagaimana peradaban Barat bergerak ke jalan buntu manusia terakhir: makhluk apatis tanpa gairah dan komitmen.

Tampaknya perbedaan di antara reaksi permisif Dunia Pertama dengan para fundamentalisme terhadap pandangan ini jatuh pada oposisi antara menjalani kehidupan penuh kekayaan materi dan budaya serta mendedikasikan kehidupan kepada kekuatan abstrak di luar batas materi. Para penghuni dunia Barat adalah manusia terakhir Nietzschean: terlena dalam kesenangan sehari-hari yang dangkal, sedangkan pseudofundamentalisme seperti NIIS siap mengorbankan semua yang ia miliki, berada pada perjuangan hingga kehancuran diri.

Berbagai tindakan kekerasan NIIS yang menimbulkan kericuhan dan pelanggaran HAM, khususnya terhadap wartawan asing dan terhadap negara Barat, menjadi tanda bahwa NIIS ingin menunjukkan superiornya, dan keberadaan NIIS adalah produk oposisi dari kekuasaan Barat yang dikatakan lebih besar terhadap gerakan itu.

Meskipun dikatakan oleh Zizek bahwa NIIS adalah sebuah gerakan menentang negara Barat dengan dasar inferioritas pada dirinya.  Inferioritas NIIS, menurut Zizek, salah satunya dibuktikan secara simbolik dari jam tangan pemimpinnya , Abu Bakar al-Baghdadi, yang pernah terekspos wartawan adalah jam tangan mewah buatan Swiss. 

Zizek mempertanyakan apakah fundamentalisme NIIS adalah  sungguh fundamentalis sejati (yang otentik) dalam definisinya dan apakah mereka sungguh-sungguh meyakini dengan keyakinan mereka. Mereka tidak memiliki kemampuan yang sangat mudah terlihat dari fundamentalisme yang sejati, yakni ketiadaan kebencian atau iri-ketidakacuhan mendalam terhadap gaya hidup orang-orang yang berbeda keyakinan.

Jika para fundamentalisme masa kini benar-benar percaya bahwa mereka telah menemukan jalan kepada kebenaran, mengapa mereka harus merasa terancam atau iri dengan yang berbeda keyakinan? Ironis sekali.

 Seorang fundamentalisme yang sejati adalah seperti kaum fundamentalis Buddha Tibet, yang hidup dengan prinsip yang diyakini dan tidak akan melakukan kekerasan kepada pihak atau keyakinan lain-karena tak perlu merasa cemas bahwa keyakinan lain akan menjadi ancaman. Bahkan, menurut seorang fundamentalisme ateis seperti Richard Dawkins pun, sekeras-kerasnya tindakan yang dilakukan hanyalah berhenti pada argumen. Tak mungkin, bagi fundamentalisme yang sejati melakukan.  Kekerasan adalah aib bagi fundamentalisme sejati.

EKO WIJAYANTO

Dosen Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Kekerasan dan Fundamentalisme Sejati".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger