Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 04 April 2015

SUDUT PANDANG: Mencermati Radikalisme dalam Kebebasan Akademik (MOHAMMAD NASIR)

Kebebasan akademik sering kali diwujudkan dalam bentuk kajian-kajian dan perdebatan yang sering kali sangat liar. Itu boleh-boleh saja, namanya saja perdebatan akademik. Tujuannya jelas, untuk mengurai berbagai sudut pandang atau pendapat berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman empiris.
Forum Guru  dan Orangtua Siswa (Fortusis) Jawa Barat mengadukan temuan buku pelajaran agama berisi ajaran radikalisme terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat, Bandung, Selasa (31/3). Fortusis menyayangkan adanya muatan paham radikalisme dalam buku paket Kurikulum 2013 Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk siswa kelas XI tingkat SMA dan sederajat.  Selain itu, Fortusis juga meminta Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan untuk segera menginstruksikan menarik buku tersebut.
ANTARA FOTO/AGUS BEBENGForum Guru dan Orangtua Siswa (Fortusis) Jawa Barat mengadukan temuan buku pelajaran agama berisi ajaran radikalisme terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat, Bandung, Selasa (31/3). Fortusis menyayangkan adanya muatan paham radikalisme dalam buku paket Kurikulum 2013 Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk siswa kelas XI tingkat SMA dan sederajat. Selain itu, Fortusis juga meminta Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan untuk segera menginstruksikan menarik buku tersebut.

Namun, tentu saja dalam kebebasan akademik yang sudah diakui "kesakralannya" oleh bangsa-bangsa di seluruh belahan bumi ini tidak boleh disalahgunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan tujuan pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, antara lain untuk kepentingan kemajuan, perlindungan, dan kesejahteraan manusia, serta lingkungannya.

Kebebasan akademik ini tidak hanya melulu milik kalangan perguruan tinggi saja, tetapi juga lembaga-lembaga pengkajian. Bahkan, dengan beragam kadar materi yang disampaikan, kebebasan akademik ini juga membentang jauh ke seluruh jenjang pendidikan baik negeri ataupun swasta, mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), sampai perguruan tinggi.

Ada rambu-rambu penting dalam penyebaran materi akademik. Tidak boleh di antara peserta akademik atau pihak-pihak yang terlibat di dalamnya menggunakan kebebasan akademik, secara sengaja menyebar benih radikalisme, kebencian antarmanusia, serta pembinasaan suatu golongan dan produk budayanya.

Kenapa tidak boleh? Itu jelas dilarang karena bertentangan dengan tujuan pengembangan akademik dan kegunaan ilmu pengetahuan itu sendiri, selain bertentangan dengan Pancasila dan undang-undang yang kita miliki, termasuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Di dalam HUHP jelas kita tidak boleh menghasut, tidak boleh menista orang lain, tidak boleh mengajak berbuat jahat, apalagi membunuh.

Memang dibutuhkan kejelian untuk mengetahui apakah penyampaian atau pemaparan tentang materi radikalisme di lingkungan akademik itu sekadar bahan kajian atau sudah mengarah pada ajakan radikalisme. Mesti ada aparat yang sangat paham terhadap persoalan ini supaya tidak salah mengambil penilaian.

Akan tetapi, apabila penilaian sudah meyakinkan bahwa materi akademik tersebut terkandung maksud mengajak radikalisme, sebaiknya jangan segan-segan aparat mengambil tindakan tegas. Siapa saja yang berada di balik upaya penyusupan materi radikalisme semestinya diusut secara tuntas, bukan sekadar menarik bukunya atau menyita bahan cetakan, atau menyegel situs daringnya saja.

Melalui media belajar

Penyebaran paham radikalisme di lingkungan akademik/sekolah bisa melalui media belajar, seperti buku-buku, internet dengan mengakses situs-situs tertentu, ataupun diskusi-diskusi. Untuk mengantisipasi semuanya ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, seperti dikutip Kompas (1/4), mengatakan, pihaknya akan menarik peredaran buku-buku yang tidak layak untuk dijadikan bahan ajar.

Sejumlah pengelola laman yang diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika karena dianggap sebagai penyebar paham radikal mengadu ke anggota Dewan Komisi I DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (1/4). Pengelola situs ini menilai penutupan laman tersebut atas rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dianggap gegabah dan sewenang-wenang.
KOMPAS/HERU SRI KUMOROSejumlah pengelola laman yang diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika karena dianggap sebagai penyebar paham radikal mengadu ke anggota Dewan Komisi I DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (1/4). Pengelola situs ini menilai penutupan laman tersebut atas rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dianggap gegabah dan sewenang-wenang.

Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Asep Hilman juga mengatakan telah melakukan pendekatan kepada guru-guru di Jawa Barat mencegah ajaran radikal. Guru harus bisa menangkal masuknya ajaran-ajaran radikal melalui sekolah, antara lain lewat buku.

Pendekatan kepada para guru itu dilakukan setelah ada indikasi penyebaran ajaran radikalisme lewat buku pelajaran. Di Bandung, Jawa Barat, dan Jombang, Jawa Timur, telah beredar buku Kumpulan Lembar Kerja Peserta Didik Pendidikan Agama Islam Kelas XI SMA yang memuat kutipan bahwa diperbolehkan membunuh orang musyrik.

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam mengomentari buku yang kemudian ditarik dari peredaran itu, isi buku tersebut menimbulkan radikalisme yang tidak sesuai dengan antropologi dan sosiologi Indonesia. Buku itu memang harus ditarik.

Bukan hanya buku yang dilarang beredar, melainkan juga 19 situs internet yang diduga menyebarkan radikalisme diusulkan untuk diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Rencana pemblokiran situs itu diprotes oleh sejumlah perwakilan pengelola situs yang diduga menyebarkan radikalisme.

Pemimpin Redaksi Hidayatullah.com Mahladi mengatakan, tuduhan BNPT tidak beralasan karena pihaknya malah bersikap kritis terhadap Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS). Hidayatullah.com adalah salah satu situs yang direkomendasikan untuk diblokir bersama 18 situs lainnya karena dituduh menyebarkan radikalisme.

Juru bicara BNPT, Irfan Idris, menjelaskan, usulan pemblokiran situs-situs tersebut dilakukan setelah pihaknya melakukan analisis situs yang isinya mendukung radikalisme, seperti menggunakan kekerasan atas nama agama demi perubahan, mengafirkan orang lain, dan mengajak pembacanya bergabung ke NIIS/ISIS, serta memaknai konsep jihad secara menyimpang.

BNPT sebaiknya juga menganalisis konten situs-situs lainnya tanpa pandang bulu, tidak membedakan situs dari kelompok tertentu atau agama tertentu. Kita tahu bahwa radikalisme tidak hanya bersembunyi di kelompok dan agama tertentu. Radikalisme yang bercampur kemiskinan serta keinginan balas dendam juga bisa menyelinap di mana-mana.

Maka, kita semua perlu waspada dan terbuka supaya hal-hal negatif yang tersembunyi dapat kita singkirkan sebelum menyebar ke mana-mana.

Mohammad.nasir@kompas.com

Sumber: ‎http://print.kompas.com/baca/2015/04/02/Mencermati-Radikalisme-dalam-Kebebasan-Akademik 


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger