Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 25 Mei 2015

ANALISIS EKONOMI: Mengembuskan Optimisme Ekonomi (A PRASETYANTOKO)

Saat perekonomian Amerika Serikat dilanda Depresi Besar pada 1930-an, Presiden FD Roosevelt mengatakan, hal paling menakutkan dalam ekonomi adalah ketakutan itu sendiri. Tak adanya keyakinan membuat konsumsi tak jalan, investasi tak bergerak, dan perekonomian pun lumpuh.

Itulah alasan penyelamatan krisis dilakukan melalui pengeluaran pemerintah besar-besaran dalam berbagai proyek infrastruktur. Hasilnya, ada embusan optimisme yang mendongkrak kinerja perekonomian. Kuncinya, merealisasikan sentimen positif dalam kemajuan riil. Pemerintah harus berperan besar melalui instrumen fiskal.

Resep yang sama ditempuh saat krisis 2008. Berbagai program pelonggaran likuiditas dan stimulus fiskal besar-besaran dilakukan guna memompa perekonomian. Namun, setelah lebih dari 6 tahun berlalu, pelambatan menyebar bukan saja di antara negara maju, melainkan juga ke negara berkembang. Perekonomian Tiongkok meredup, bahkan ada yang meramal hanya akan tumbuh 5 persen per tahun dalam beberapa tahun ke depan.

Perekonomian Indonesia sudah mulai melambat sejak triwulan IV-2011 seiring merosotnya nilai ekspor komoditas andalan kita. Pada triwulan I-2015, perekonomian hanya tumbuh 4,71 persen atau terendah dalam 5 tahun terakhir.

Bank Indonesia merespons situasi dilematis ini melalui bauran kebijakan. Tuntutan agar BI menurunkan suku bunga acuan muncul dari sana-sini. Namun, ketergantungan kita pada likuiditas asing tak memungkinkan BI Rate diturunkan saat ini. Perlu kebijakan kompromistis.

Di satu sisi, kebijakan moneter dipertahankan bias ketat melalui keputusan BI Rate 7,5 persen. Namun, di sisi lain, mendorong kredit konsumsi perbankan lewat kebijakan makroprudensial.

Revisi aturan loan to value (LTV) dan rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) diyakini akan mendorong kredit sehingga pelambatan ekonomi bisa dihambat. Di tengah upaya BI menjalankan kebijakan melawan pelambatan, muncul optimisme lain. Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) merevisi proyeksi ekonomi kita, dari stabil menjadi positif dan dalam 12 bulan lagi bisa dinaikkan menjadi level peringkat investasi yang paling rendah (BBB-).

Salah satu ganjalan S&P tak menaikkan peringkat investasi selama ini adalah fiskal kita dianggap tak sehat akibat begitu besarnya beban subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dengan keberanian Presiden Joko Widodo menghilangkan beban subsidi dari fiskal, lembaga ini mulai bereaksi positif.

Proyeksi positif S&P menjadi embusan optimisme di tengah melambatnya perekonomian. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik di atas 5.300, sementara nilai tukar ke posisi Rp 13.150. Dalam jangka pendek, likuiditas akan lebih kondusif.

Lalu, bagaimana prospek menengahnya? Sentimen positif dalam jangka pendek harus segera ditindaklanjuti melalui perbaikan di sektor riil agar terjadi perubahan fundamental ekonomi. Hanya dengan kebijakan struktural, sentimen positif memiliki makna. Belajar pada pengalaman AS menghadapi krisis besar 1930-an, mereka membangun infrastruktur secara masif. Tujuannya, produktivitas meningkat.

Produktivitas perekonomian kita masih bisa dipacu lewat ekspansi fiskal ataupun kredit. Ekspansi fiskal lewat percepatan pembangunan infrastruktur harus dipastikan sisi pendapatannya, terutama pajak. Adapun pertumbuhan kredit harus dijaga ketersediaan likuiditas serta kualitas asetnya sehingga ekspansi tak justru meningkatkan profil risiko perekonomian kita.

Likuiditas memang isu sentral bagi bank, diikuti kualitas aset, kemudian profitabilitas. Pelonggaran aturan LDR untuk memperbaiki sisi likuiditas, sedangkan LTV memperbaiki sisi kredit. Kuncinya bagi bank, menjaga kualitas aset dengan konsekuensi laba sedikit turun. Pengurangan uang muka pembelian properti dan kendaraan bermotor akan mendorong kenaikan kredit di sektor itu. Hal ini penting karena banyak sektor sedang lesu.

Dilema yang sama dialami pemerintah. Ekspansi fiskal secara masif akan mendorong pelebaran defisit anggaran. Jika target penerimaan pajak meleset jauh, akan menimbulkan komplikasi, baik ekonomi maupun politik. Inilah salah satu potensi risiko paling besar yang dihadapi perekonomian kita tahun ini. Jika batas defisit anggaran 3 persen yang diperbolehkan undang-undang dilanggar, sudah pasti menimbulkan kegaduhan politik.

Idealnya, pemerintah mampu memastikan proyek pembangunan infrastruktur bisa didanai dengan fiskal yang sehat. Di sisi mikro, perbankan mampu menjaga kualitas aset tanpa harus mengorbankan laba. Jika navigasi ini bisa dilakukan, optimisme perekonomian kita tak berhenti pada sentimen, tetapi terealisasi secara fundamental.

Dengan begitu, kita berharap dalam 12 bulan ke depan bisa benar-benar memperoleh peringkat investasi dari S&P. Kendati target pertumbuhan yang direvisi menjadi 5,4 persen tetap sulit dicapai, setidaknya tetap di atas 5 persen. Optimisme yang berdasarkan kondisi riil tetap harus dijaga. Saatnya merealisasikan sentimen positif ke perbaikan fundamental.

A PRASETYANTOKO DOSEN DI UNIKA INDONESIA ATMA JAYA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Mei 2015, di halaman 15 dengan judul "Mengembuskan Optimisme Ekonomi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger