Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 19 Mei 2015

ANALISIS POLITIK: Perombakan Kabinet (AZYUMARDI AZRA)

Perlukah Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dirombak? Isu ini telah menjadi wacana publik dalam beberapa pekan terakhir. Tuntutan reshuffle kian gencar datang dari kalangan pengamat politik, ekonomi, dan pengusaha, juga dari partai pendukung pemerintah, seperti PDI-P.

Alasan perlunya reshuffle kabinet terutama terkait kinerja kebanyakan menteri yang menurut berbagai survei jauh dari memuaskan. Setelah enam bulan menjabat menteri, daya serap anggaran banyak kementerian masih sekitar 18,5 persen. Karena itu, kebanyakan menteri belum benar-benar "bekerja" meski nama kabinetnya adalah "kabinet kerja".

Sebagian menteri bisa berapologi, struktur, personalia, dan nomenklatur sejumlah kementerian belum selesai. Karena itu, peraturan presiden (perpres) kementeriannya belum bisa diterbitkan. Akibatnya, anggaran kementerian bersangkutan belum bisa dicairkan dan direalisasikan. Bagaimana bisa bekerja kalau sudah pertengahan tahun anggaran belum bisa dicairkan?

Apakah Kabinet Kerja perlu di-reshuffleatau tidak? Presiden Jokowi belum memberikan jawaban tegas tentang hal ini: masih mikir-mikir, nanti dilihat dulu. Sebaliknya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menginginkan reshuffle dilakukan sesegera mungkin.

Perbedaan pandangan ini boleh jadi kembali menimbulkan saga (cerita berlarut-larut) baru dalam pemerintahan dan politik Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi-Kalla. Hampir bisa dipastikan, kian lama saga ini berlangsung, kian terasa dampaknya pada ekonomi negeri ini, yang dapat mengimbas pada peningkatan keresahan sosial.

Keadaan ini bukan tidak mungkin mempercepat tergelincirnya Indonesia ke dalam resesi ekonomi, yang juga telah menjadi perbincangan kalangan pemerintahan dan publik dalam beberapa waktu terakhir. Jika Indonesia benar-benar mengalami resesi, bisa dibayangkan dapat disusul peningkatan keresahan sosial-ekonomi dan politik.

Perlukah reshuffle kabinet? Jika reshuffledilakukan, apakah bisa mengubah keadaan? Secara akademik, seperti argumen Christopher Kam (2007), kajian tentang reshuffle kabinet di sejumlah negara dunia—khususnya tentang kabinet-kabinet Indonesia sepanjang sejarah—relatif terbatas. Meski demikian, sejumlah penelitian mengungkapkan alasan kenapa reshuffle kabinet perlu atau tak perlu dilakukan; dan apa dampaknya terhadap politik dan ekonomi negara.

Menurut Huber dan Martinez-Gallardo (2004, 2003), reshuffle perlu dilakukan jika menteri-menteri dalam kabinet tidak memiliki kaliber atau kapabilitas memadai. Kenapa ada menteri yang tidak kapabel dalam Kabinet Kerja sekarang?

Hal ini terjadi karena praktis tidak adascreening para calon menteri sebelum mereka ditarik ke kabinet. Bukan rahasia, kebanyakan menteri diangkat bukan karena keahlian dan kinerja kinclongmereka sebelumnya yang bisa dilacak dari rekam jejak masing-masing. Kebanyakan mereka diangkat lebih karena pembagian portofolio alias "jatah" bagi tiap-tiap parpol pendukung atau diharapkan menjadi pendukung koalisi pemerintah berkuasa.

Hasil dari proses pengangkatan para menteri seperti itu kini jelas sudah. Terdapat menteri-menteri yang "medioker" atau ditempatkan pada posisi yang bukan keahliannya. Hasilnya, menteri-menteri seperti ini tidak menampakkan harapan terwujudnya kinerja yang dapat memperbaiki keadaan dan sedikit banyak memuaskan publik.

Namun, reshuffle belum tentu dapat memperbaiki kinerja kementerian atau pemerintah secara keseluruhan. Sekali lagi, meminjam argumen Huber dan Martinez-Gallardo, reshuffle bermanfaat dan bisa memperbaiki keadaan hanya jika kapabilitas menteri baru dapat dipastikan lebih baik daripada menteri yang digantikan.

Apakah Presiden Jokowi mampu mendapatkan menteri pengganti lebih baik? Memperhatikan langkah Presiden Jokowi dalam pembentukan kabinet sebelumnya, tampaknya dia bakal "terpaksa" mengikuti kemauan partai yang menterinya terkena reshuffle. Partai bisa dipastikan bakal mengajukan calon menterinya, yang dari sudut kapabilitas tidak melalui pengujian saksama dari Presiden Jokowi. Presiden terlihat cenderung berada hanya ujung penerima (receiving end), sulit menolak kemauan partai.

Jika reshuffle kabinet berlangsung seperti ini, besar kemungkinan reshuffle gagal menjadi respons strategis Presiden Jokowi mengatasi berbagai masalah politik dan ekonomi yang kian tidak kondusif. Pada titik ini, Presiden Jokowi dilematis. Jika reshuffle tidak dilakukan, kinerja kabinet dan pemerintah boleh jadi kian tidak memuaskan. Sebaliknya, jika reshuffle dilakukan, menteri-menteri pengganti belum pasti dapat berkinerja baik.

Oleh karena itu, jika reshuffle kabinet dapat berhasil, perlu keikhlasan parpol memberikan keleluasaan kepada Presiden Jokowi untuk mendapatkan (calon) menteri lebih kapabel. Calon pengganti menteri itu boleh saja tetap dari lingkungan parpol atau nonparpol. Namun, Presiden Jokowi yang memiliki hak prerogatif mengangkat menteri sepatutnya dapat menolak calon yang disodorkan jika yang bersangkutan tidak meyakinkan untuk berkinerja secara baik. Presiden Jokowi dapat pula meminta alternatif calon lain dari partai terkait.

Sekali lagi, hanya dengan proses dan cara terakhir ini reshuffle bisa bermanfaat. Jika tidak, reshuffle bakal sia-sia belaka.

AZYUMARDI AZRA GURU BESAR UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Mei 2015, di halaman 15 dengan judul "Perombakan Kabinet".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger