Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 21 Mei 2015

ARSIP "KOMPAS": Ribuan Mahasiswa Duduki DPR, Belasan Menteri Ekuin Mundur, Rezim Soeharto Tumbang, BJ Habibie Presiden

Ribuan mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan  Presiden Soeharto mundur. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR.
KOMPAS/EDDY HASBYRibuan mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan Presiden Soeharto mundur. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR.

Puluhan ribu mahasiswa menduduki Gedung DPR. Soeharto kapok jadi Presiden. Sebelas menteri bidang ekuin mundur, rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya tumbang dan BJ Habibie menjadi Presiden ke-3 Republik Indonesia. Berita-berita yang dimuat di harian Kompas pada 20, 21, dan 22 Mei 1998 itu menjadi bagian dari sejarah republik ini.

Foto di halaman pertama harian Kompas20 Mei 1998 memperlihatkan suasana Gedung DPR diduduki puluhan ribu mahasiswa dari wilayah Jabodetabek. Mereka tidak hanya memadati halaman DPR, tetapi juga menaiki kubah gedung, memenuhi taman-taman, lorong-lorong, ataupun ruangan lobi. Inilah demonstrasi terbesar yang pernah dilakukan mahasiswa selama rezim Orde Baru berkuasa.

Dalam berita berjudul "Puluhan Ribu Mahasiswa Duduki DPR" disebutkan, ribuan mahasiswa memasuki DPR sejak pagi hari secara bergelombang. Mereka datang dengan bus-bus sewaan ataupun bus resmi universitas masing-masing. Karena penjagaan longgar, sebagian dari mereka langsung mendaki puncak kubah Gedung DPR dan memasang spanduk panjang yang meminta agar Presiden Soeharto segera mundur dari jabatannya.

Di samping mahasiswa, sejumlah pakar hukum tata negara dan anggota Komnas HAM Prof Dr Sri Soemantri, tokoh "Malari" dr Hariman Siregar, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, tokoh HAM HJ Princen, Ketua Komite Nasional Indonesia Untuk Reformasi Ny Supeni, Ali Sadikin, Karlina Leksono, mantan Ketua DPR/MPR Kharis Suhud yang dipapah mantan Sesdalopbang Solihin GP juga hadir. Mereka sempat melakukan dialog dan diskusi dengan mahasiswa yang berunjuk rasa.

Pada hari yang sama, berita utama harian Kompas Rabu, 20 Mei 1998, berjudul "Pak Harto: Saya Kapok Jadi Presiden", seolah menjawab tuntutan mahasiswa. Presiden Soeharto menegaskan bahwa dirinya tidak masalah jika harus mundur. "Mundur dan tidaknya, itu tidak masalah. Yang perlu diperhatikan adalah apakah dengan kemunduran saya, keadaan ini akan segera bisa diatasi," kata Soeharto dalam jumpa pers di Istana Merdeka, Selasa (19/5/1998), seusai bertemu dengan para ulama, tokoh masyarakat, berbagai organisasi kemasyarakatan dan ABRI.

Soeharto juga mengumumkan akan melaksanakan pemilihan umum secepat-cepatnya berdasarkan Undang-undang Pemilu yang baru. Dan dia tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Presiden. Soeharto segera membentuk Komite Reformasi yang bertugas untuk menyelesaikan UU Pemilu; UU Kepartaian; UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; UU Antimonopoli; dan UU Antikorupsi, sesuai dengan keinginan masyarakat. Anggota komite ini terdiri dari unsur masyarakat, perguruan tinggi, dan para pakar.

"Setelah mendengar saran-saran dan pendapat dari para ulama, tokoh masyarakat, berbagai organisasi kemasyarakatan, dan pendapat ABRI, maka untuk menyelamatkan negara dan bangsa, pembangunan nasional, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kesatuan dan persatuan bangsa, saya mengambil keputusan, sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh MPR, saya sebagai Presiden Mandataris MPR, saya akan melaksanakan dan memimpin reformasi nasional secepat mungkin," ungkap Presiden.

content

Pemberi saran dan pendapat dalam pertemuan itu, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid-yang hadir dengan kursi roda-budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nurcholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ali Yafie, Prof Malik Fajar (Muhammadiyah), Guru Besar Tata Negara dari Universitas Indonesia Prof Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Ahmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari NU.

Suasana Jakarta yang lengang pasca-kerusuhan pada 20 Mei 1998.
KOMPAS/JOHNNY TG
Seorang mahasiswa jatuh tergeletak terkena pukulan pasukan antihuru-hara yang berusaha membubarkan aksi unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur di depan kampus Trisakti, Grogol, Jakarta, 12 Mei 1998. Pada aksi tersebut empat mahasiswa Trisakti tewas terkena tembakan. Namun, hingga saat ini, kasus tertembaknya mahasiswa Trisakti itu masih belum terungkap meski Komisi Nasional HAM telah merekomendasikan untuk dilakukan pengusutan.
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Belasan menteri ekuin mundur

Dalam berita harian Kompas Kamis, 21 Mei 1998, disebutkan 11 menteri di lingkungan ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII hari Rabu (20/5/1998) malam menyampaikan surat pengunduran diri kepada Presiden Soeharto. Hanya dua menteri ekuin yang tak mengundurkan diri, yakni Menperindag Mohamad Hasan dan Menteri Keuangan Fuad Bawazier. Surat pengunduran diri disampaikan secara bersama-sama setelah para menteri itu berkumpul di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jalan Taman Suropati.


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger