Yang sesungguhnya ingin saya tulis, peristiwa itu adalah barbar,tempertantrum, atau psikosis, tetapi saya urungkan. Di media lain saya pernah mengidentifikasi perilaku wakil rakyat sebagai "Bebal, Buron, Pemalas, Penidur" (Jawa Pos, 2 Agustus 2010).
Katanya lagi, konsep sadisme Marquis de Sade hanya persoalan "penyimpangan hasrat seksual". Itulah bukti adanya kesulitan membaca teks-teks filsafat.
Namun, itu bisa dimaklumi karena dalam proses belajar memang akan ditemui simbol yang menuntut uraian heuristik. Contoh, teks Nietzsche tentang Zarathustra hanya berisi aforisme, konsep eksistensialisme Sartre yang memengaruhi konsep hak asasi manusia hanya dari drama Huis Clos, atau absurditas Albert Camus hanya dari solilokui.
Kalau Gultom diberi kesempatan membaca terjemahan yang lebih baru,Philosophy in the Boudoir oleh Joachim Neugroschel (Penguin Books, 2006), bukan terjemahan lama 1970, wawasan akan lebih kaya dengan pengantar dari Francine du Plessix Gray. Untuk argumentasi sadisme, saya menggunakan kutipan kalimat De Sade; "If we can't always create this pleasure, we can nevertheless replace this sensation with the caustic little malice that we never do good". Hal itu karena "' ice' and 'virtue' supply us only with local meaning (2000: 31)."
SAIFUR ROHMAN, PENGAJAR PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar