Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 22 Mei 2015

Membangun Fondasi Papua (BAGONG SUYANTO)

Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo dan sepuluh menteri ke Papua menawarkan angin segar baru bagi masyarakat Papua yang sudah sekian dekade selalu ketinggalan dalam arus kemajuan dan pembangunan.
DIDIE SW

Selain meresmikan sejumlah proyek pembangunan berskala raksasa, seperti pembangunan jembatan Holtekamp di Jayapura, pembangunan industri petrokimia di Manokwari, proyek jaringan fiber optik Telkom di Sorong dan kawasan strategis pariwisata nasional, Presiden Jokowi juga menyatakan komitmennya untuk mempercepat pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua.

Pembangunan infrastruktur di Papua dengan dana Rp 6 triliun untuk tahun 2015, dan komitmen Jokowi untuk membuka lahan 1,2 hektar menjadi lahan pertanian, khususnya persawahan, dan menjadikan Merauke sebagai lumbung padi nasional, merupakan alternatif terobosan sekaligus jalan keluar yang ditawarkan untuk mengurangi kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat Papua.

Pendek kata, pembangunan infrastruktur dan industrialisasi adalah pendekatan yang akan dikembangkan pemerintah untuk mendongkrak kemajuan masyarakat Papua. Pertanyaannya sekarang: apakah pendekatan seperti ini memang menjanjikan, dan prasyarat apa yang harus dipenuhi sebagai jaminan pembangunan dan industrialisasi di Papua tidak malah melahirkan masalah sosial-ekonomi baru yang kontraproduktif?

Dampak industrialisasi dan pembangunan

Di atas kertas, pembangunan dan industrialisasi acap kali memang diyakini sebagai jalan keluar untuk mengurangi kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat lokal. Namun, di komunitas yang secara geografis dan sosial ketinggalan, apalagi termasuk daerah pedalaman seperti Papua, kegiatan pembangunan dan industrialisasi yang merambah ke beberapa wilayah sering kali justru melahirkan berbagai masalah sosial, dan bahkan potensi konflik yang tinggi.

Di Papua, sejak industrialisasi masuk dan belakangan ini bahkan makin intensif, kita bisa lihat penduduk lokal yang awalnya hidup dalam struktur ekonomi yang sederhana dan tidak mengalami diferensiasi kini sudah mengenal teknologi modern, pranata dunia industri yang serba kontraktual, tawaran gaya hidup baru, media, dan interaksi sosial yang makin beragam akibat kehadiran para pendatang. Seperti hasil kajian yang dilakukan Affandi (1991-1992), Apomfires dan Sapulete (1993), serta Mubyarto (2000), bahwa modernisasi yang merambah Papua pada umumnya terjadi akibat adanya kontak kebudayaan dengan suku-suku bangsa lain dari luar Papua, dan terbukti kehadiran migran dari luar daerah ternyata berperan penting dalam perubahan struktur kegiatan ekonomi masyarakat lokal, khususnya pada sektor pasar tenaga kerja.

Banyak kajian telah membuktikan bahwa akibat proses pembangunan dan industrialisasi, yang namanya penduduk pedalaman umumnya cenderung menjadi korban persekutuan antara modal dan kekuasaan politik. Studi yang dilakukan penulis di Papua (2010) menemukan adanya indikasi bahwa investasi di sektor ekstraktif yang bertujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (hutan, tambang dan laut) demi akumulasi modal, bukan saja telah melahirkan proses perubahan sosial-budaya dan kesenjangan sosial, melainkan juga menyebabkan munculnya keresahan, dan bahkan resistensi sosial di kalangan penduduk lokal yang teralienasi dari proses pembangunan yang sedang berlangsung di wilayahnya.

Di satu sisi, mungkin benar bahwa penetrasi modal yang eksploitatif ke dalam perekonomian suku-suku asli di wilayah pedalaman yang didukung oleh negara akan bermanfaat dalam memajukan kaum minoritas suku asli melalui program-program perubahan sosial yang terarah (Ghee dan Gomes, 1999: 1-3). Namun, ketika industrialisasi dan seluruh pranata yang menyertainya merambah ke kehidupan masyarakat lokal yang dalam banyak hal dinilai tidak serasi dengan kepentingan dunia industri, maka cepat atau lambat yang terjadi adalah makin melebarnya kesenjangan dan jarak sosial antara penduduk asli dan para pendatang yang secara sosial-ekonomi lebih siap merespons perubahan.

Di berbagai wilayah pedalaman, bukan rahasia lagi bahwa degradasi sumber daya alam setempat umumnya selalu diiringi dengan peningkatan konsumerisme yang digerakkan oleh pesona mode di sektor konsumtif, lalu ujung-ujungnya bermuara pada terjadinya krisis identitas dan disintegrasi sosial (Laksono dalam Topatimasang, 2004: 8).

Di Papua, berbagai masalah sosial yang muncul di masyarakat lokal sesungguhnya tidak terjadi dalam kurun waktu lima-sepuluh tahun terakhir saja, tetapi bisa dilacak puluhan tahun silam tatkala kekuatan komersial mulai masuk ke wilayah ini. Permasalahan yang dihadapi penduduk lokal di kawasan Teluk Bintuni, misalnya, mulai mencuat sejak adanya intervensi berbagai perusahaan penebangan kayu komersial yang sangat mengganggu keamanan sumber pangan penduduk setempat dan bertambah parah ketika eksploitasi sumber daya perikanan perairan setempat dilakukan makin intensif.

Sumber daya perikanan, seperti populasi ikan, udang, ikan hiu, buaya, dan kura-kura di kawasan Teluk Bintuni, dilaporkan menurun drastis karena kegiatan nelayan perburuan dan penggunaan teknologi perikanan yang tidak terkontrol. Di Teluk Bintuni diidentifikasi ada sekitar 200 kapal trawler besar yang menyapu seluruh potensi sumber daya perikanan hingga ke pinggiran hutan mangrove sehingga kesempatan penduduk setempat untuk mencari hasil laut menjadi makin sempit dan sulit.

Dalam proses perubahan sosial yang terjadi begitu cepat, tidak mudah bagi suku-suku atau penduduk lokal untuk menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan dan tuntutan situasi baru yang berlangsung di sekitar mereka. Dengan latar belakang pendidikan yang sangat kurang, dan kualitas SDM yang tidak sesuai dengan kriteria dan kepentingan dunia industri yang menuntut profesionalisme, tidak banyak hal yang bisa dilakukan penduduk setempat untuk beradaptasi dengan proses perubahan yang terjadi di hadapan mereka.

Bahkan, banyak bukti memperlihatkan di Papua tidak sedikit penduduk setempat bukan saja tidak dapat terserap dan ikut menikmati kegiatan industrialisasi yang tengah berlangsung di sekitarnya, melainkan mereka acap kali juga menjadi korban situasi. Penduduk setempat yang masih berkutat dengan peralatan tangkap yang serba tradisional dan pengetahuan serta keterampilan yang minimal untuk dapat dijadikan bekal melakukan diversifikasi usaha atau pergeseran okupasi, acap kali kehidupan mereka makin sulit ketika industrialisasi yang berlangsung di sekitar mereka ternyata justru mengambil sebagian terbesar sumber daya alam yang tersedia.

Fondasi sosial

Untuk memastikan agar pembangunan infrastruktur dan industrialisasi yang ditawarkan Jokowi benar-benar berdampak positif bagi masyarakat Papua, harus diakui bukanlah hal yang mudah. Keresahan dan konflik yang terus mencuat dari waktu ke waktu di Papua merupakan indikasi yang memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang keliru telah terjadi di sana. Munculnya berbagai kasus konflik tanah, gerakan radikal sekelompok masyarakat yang menentang dominasi pusat, serta resistensi masyarakat lokal Papua pada dasarnya adalah implikasi dari kegiatan industrialisasi yang bersifat eksploitatif.

Industrialisasi selain malah memicu terjadinya polarisasi, di sisi yang lain dampak sosial yang ditimbulkan juga menyebabkan daya tahan sosial masyarakat lokal menjadi tergerogoti sehingga pada kasus-kasus tertentu telah menjadi titik rawan bagi munculnya disintegrasi masyarakat, termasuk munculnya ketidakpercayaan (distrust) terhadap hal-hal yang berkaitan dengan industrialisasi dan pembangunan.

Pengalaman selama ini di Papua telah banyak mengajarkan bahwa potensi pergesekan dan konflik yang terjadi di sana sesungguhnya bukan sekadar bersumber pada terjadinya kecemburuan sosial dan perbedaan kultur masyarakat lokal dan para pendatang yang serba modern, tetapi juga berakar pada kekeliruan pemerintah dalam memilih pendekatan pembangunan.

Menghela perubahan dan mendorong kemajuan Papua semata hanya mengandalkan industrialisasi, tetapi menafikan arti penting membangun fondasi sosial, yakni kualitas sumber daya manusianya, maka jangan kaget jika lima atau sepuluh tahun lagi Papua justru akan direcoki dengan berbagai masalah kemiskinan dan kesenjangan yang makin lebar.

BAGONG SUYANTO, DOSEN KEMISKINAN DAN KESENJANGAN DI PASCASARJANA FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA; PERNAH MELAKUKAN PENELITIAN DAMPAK INDUSTRIALISASI DI PAPUA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Membangun Fondasi Papua".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger