Kita telah menetapkan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Pada tanggal itu, 106 tahun lalu, dibentuk organisasi Boedi Oetomo, di gedung Stovia, satu lembaga pendidikan kedokteran pribumi (Indisch arts) di Batavia, dipelopori beberapa pemuda terdidik keilmuan dan tercerah (enlightened). Kegiatan terorganisasi para pendiri diarahkan ke satu masa depan yang bermuara pada pembentukan satu negara-bangsa yang merdeka melalui pendidikan.
Kini masa depan Indonesia, negara-bangsa kita, kian memburam, semakin jelas diwarnai gejala-gejala destruktif-entropis. Ada gaya pembangunan yang semakin liberalistis-ekstraktif. Ada pengabaian amanat pancasilais yang semakin marak dalam aksi pemerintahan. Ada unsur kontestasi politik dan rivalitas partai politik yang tidak sehat. Ada ancaman gerakan radikal-teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang tak terbendung lagi oleh ideologi deradikalisasi (
Hari Kebangkitan Nasional kali ini mengingatkan kita untuk bangkit membenahi negara-bangsa Indonesia. Ada satu kelalaian fundamental yang kita lakukan selama ini hingga kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi begitu memprihatinkan. Penulis bukan mencari-cari suatu faktor tunggal sebagai penjelas gampang dari kegagalan. Tetapi, hendak menonjolkan satu tugas fundamental pemerintahan karena ia adalah suatu dasar berpijak dari bangunan negara-bangsa. Sedangkan kata "berpijak" tak termasuk leksikon dari negara-bangsa kita yang dilanda kegelisahan terus menerus.
Membangun jiwa
Yang dilalaikan pemerintahan nasional yang silih berganti adalah bahwa "membentuk negara-bangsa adalah membangun jiwa". Setelah para pendiri bangsa berhasil membentuk negara-bangsa merdeka, pemerintah dari generasi penerus, yaitu kita, lalai membangun jiwanya. Padahal, himne nasional "Indonesia Raya" sudah mengingatkan bahwa demi "Indonesia Raya" kita perlu membangun "jiwanya" (lebih dahulu), baru kemudian "badannya".
Selama ini kita memusatkan perhatian kepada pembangunan badan negara-bangsa melalui pembangunan ekonomi seolah-olah kiat politika adalah aksi-aksi ekonomi melulu. Sudah keliru melenceng pula dari diktum UUD 45 asli, khususnya Pasal 33. Dua abad yang lalu seorang filosof politik, De Tocqueville, telah merisaukan kesibukan bangsa yang baru merdeka (Amerika) melulu di dunia fisik dan bidang ekonomi karena berarti
Sejak masyarakat memercayai kepada parpol, lembaga kerohanian, ormas keagamaan, dan teolog menjadi pembina kebajikan, tata politik paling banter menjadi ambivalen mengenai kebutuhan akan penanganan urusan moralitas dan kebatinan rakyat. Bahkan ada intelektual dan pseudo-intelektual (mahasiswa) serta akademisi yang berujar bahwa kejiwaan, sikap, opini, dan moralitas bukan merupakan urusan pemerintah karena sangat rentan penyalahgunaan. Tuduhan seperti ini pernah dialami rezim Orde Baru ketika berusaha memasyarakatkan Pancasila dengan bimbingan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).
Mereka kiranya lupa sejarah kekuasaan Nazi-Hitler yang mencekam Jerman sejak 1930-an. Justru karena kaum intelektual bersikap tak acuh dan pemerintah (negara) diminta diam saja, Hitler bebas menanam doktrin "
Tata politik modern yang cenderung hiperaktif pasti berdampak signifikan atas karakter warga negara. Maka, sungguh tak pantas mendengar pemerintah membantah tindakan yang tidak mungkin ia elakkan, yaitu melegislasi moralitas.
Semua pendidikan-formal, nonformal dan informal-diakui sebagai pendidikan moral karena kondisi pembelajarannya membimbing. Bila demikian kebanyakan legislasi adalah moral, berhubung ia mengondisikan perbuatan dan pikiran bangsa kepada aneka bidang kehidupan yang penting dan luas.
Dengan legislasi moral dimaksudkan penegakan hukum dan penerapan kebijakan yang menetapkan, menindak, mengatur atau menganjurkan perilaku warga yang, dalam perjalanan waktu, bakal punya
Pemerintah akan melakukan sesuatu jauh lebih baik bila ia tidak ragu-ragu, mengakui saja apa yang ia lakukan. Tujuan pemerintah adalah mewujudkan apa-apa yang diamanatkan UUD 1945, termasuk Pancasila, menjaga kelangsungan hidup negara-bangsa dan membahagiakan rakyat. Pelaksanaan semua dan misi suci ini pasti akan lebih lancar bila pemerintah menyadari bahwa kecakapan membentuk negara adalah tak lain daripada kepiawaian membangun jiwa. Maka, adalah aneh, walaupun terjelaskan, kalau kaum intelektual dan akademisi menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat atau tidak seharusnya berbuat sesuatu yang,
Kini kita sudah kecolongan. Penggunaan narkoba sudah nyaris melumpuhkan generasi muda yang merupakan masa depan negara-bangsa. Dan, yang jauh lebih mengancam eksistensi Indonesia kini adalah paham NIIS yang juga sudah merasuk jiwa pemuda dan pemudi. Kalau paham NIIS "mendidik" seorang pemuda, ia menguasai satu orang. Namun, kalau ia berhasil "mendidik" seorang gadis, ia berpotensi menguasai satu keluarga, karena sang gadis akan menjadi seorang ibu. Jangan anggap remeh ancaman gerakan NIIS berhubung sejak awal kemerdekaan ajaran Islam terus dipakai untuk merongrong eksistensi NKRI dan Pancasila.
Membenahi anomali
Maka, pada Hari Kebangkitan Nasional sekarang kita perlu segera menggeliat bangkit bebenah sebelum anomali menjadi tak terkendali. Pemerintah dituntut memelopori gerakan antiteror melalui legislasi moral, meniscayakan hukum selaku pengesah (
Negara-bangsa Indonesia, begitu merdeka dan berdaulat, bukan lagi sekadar suatu wilayah di muka bumi, suatu lokalitas fisik. Maka, yang ia perlukan, demi eksistensinya, bukan lagi "penduduk", tetapi "warga negara" (
Dengan kata lain, Indonesia, selaku negara-bangsa yang merdeka, berdaulat, dan demokratis, terpanggil menjadi tutor dan pelayan bagi warganya karena kewarganegaraan (
Transmisi nasionalisme
Karena menyangkut pembinaan moralitas, pembenahan perlu pemahaman intelektual. Para intelektual pasca kemerdekaan, terutama yang berposisi di komunitas ilmiah, percaya bahwa panggilan nuraninya (
Tugas
Bukankah pernah ada menteri yang sesumbar bahwa pembangunan tidak butuh nasionalisme. Dengan demikian, kita tidak punya lagi pegangan layak (
Pembenahan meniscayakan kita membenahi persepsi tentang "
Dahulu dianggap cukup bila seorang warga negara "tergolong"
Sambil tergantung pada semua substansi yang dicakup
Jadi, tantangan pembenahan meliputi pula perluasan memori kebudayaan masyarakat dengan jalan memperpanjang jangkauan nilai-nilai tradisional. Namun, perhatian kepada tradisi (masa lalu) bukan secara nostalgis, tetapi intelektual. Sudah waktunya kita menapak tilas langkah-langkah kultural kita dan memikir ulang yang kita pikirkan, dengan tujuan mendewasakan cita-rasa kesinambungan dengan filosofi politik yang kaya, seperti Pancasila. Dalam pemikiran pancasilais, misalnya, yang penting bukan hanya "apa" yang ditransmisikan, tetapi juga "cara" mentransmisikannya.
Politika sejatinya adalah jauh lebih sulit daripada yang dipikirkan para politikus binaan parpol. Dalam menapak tilas tadi mungkin sekali kita akan tiba di tempat pendahulu kita mulai mengayun langkah. Dalam politika murni "tempat" tersebut adalah suatu habitat mental, suatu lanskap intelektual dan moral. Tradisi politik para pendiri negara-bangsa kita ternyata tidak bermula di Athena atau Leiden yang kemudian diperkaya oleh buku-buku teks politik dan ketatanegaraan Barat. Ia bermula dari himne nasional "Indonesia Raya" yang dikumandangkan untuk pertama kalinya sewaktu "Soempah Pemoeda" 28 Oktober 1928.
"A soul is but the last bubble of a long fermentation in the world,
DAOED JOESOEF
Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Membentuk Negara Bangsa".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar