Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 04 Mei 2015

RPJMN dan Prolegnas Hankam (AL ARAF)

Pemerintah telah membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Program Legislasi Nasional 2015-2019.

Salah satu bagian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) itu menjelaskan tentang rencana pemerintah dalam pembangunan bidang pertahanan dan keamanan selama lima tahun ke depan, yang salah satunya di wujudkan dengan membentuk undang-undang di sektor pertahanan dan keamanan.

Rencana pemerintah yang memprioritaskan beberapa rancangan undang-undang (RUU) bidang pertahanan keamanan dalam RPJMN dan Prolegnas ini memiliki permasalahan tersendiri. Sebagian RUU bidang pertahanan keamanan yang diprioritaskan dalam RPJMN dan Prolegnas merupakan RUU yang kontroversial yang dalam pemerintahan lalu mendapatkan penolakan keras oleh publik seperti RUU Rahasia Negara dan RUU Keamanan Nasional (Kamnas).

Selain itu, RPJMN dan Prolegnas justru tidak memasukkan RUU bidang pertahanan keamanan yang akan berkontribusi bagi kemajuan demokrasi dan agenda reformasi sektor keamanan (RSK), yakni tidak dimasukkannya agenda RUU perubahan atas UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer. Penyusunan RUU bidang pertahanan keamanan dalam RPJMN dan Prolegnas perlu memperhatikan agenda reformasi sektor keamanan.

Reformasi

Pada era Reformasi, pembangunan sistem pertahanan keamanan tidak terjadi dalam ruang yang hampa. Perubahan tata sistem pertahanan keamanan pada era Reformasi bertujuan sebagai koreksi atas pembangunan sistem pertahanan dan keamanan masa Orde Baru yang anti demokrasi dan anti kebebasan.

Pada masa kini, perubahan tata sistem pertahanan keamanan perlu diselaraskan dengan prinsip-prinsip kehidupan negara demokrasi dan negara hukum. Upaya untuk menata kembali sektor keamanan itu dikenal dengan agenda reformasi sektor keamanan. Secara esensi, RSK merupakan sebuah praktik program perubahan institusional dan operasional yang meliputi sektor keamanan dengan tujuan menciptakan tata kelola yang baik (good governance) di sektor keamanan untuk menyiapkan sebuah lingkungan yang membuat warga negara selalu merasa aman dan nyaman (Ann M Fitz-Gerald, Security Sector Governance, 2007).

Di Indonesia, kehendak rakyat agar negara melakukan reformasi sektor keamanan salah satunya terlihat dari pembentukan Ketetapan (Tap) MPR No VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Struktur-Kelembagaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri dan Tap MPR No VII Tahun 2000 tentang Pemisahan Peran TNI dan Polri. Sebagian dari mandat rakyat yang dituangkan dalam ketetapan MPR tersebut sudah terlaksana, yakni adanya pemisahan peran dan struktur TNI dengan Polri yang selanjutnya pengaturan tentang tugas TNI dan Polri diatur dalam UU Pertahanan, UU TNI, dan UU Polri.

Namun, mandat rakyat yang dituangkan dalam ketetapan MPR tersebut masih menyisakan agenda penting dalam reformasi sektor keamanan, yakni agenda reformasi peradilan militer. Tujuan utama dari reformasi peradilan militer melalui perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1997 adalah agar TNI tunduk pada kekuasaan peradilan umum ketika melakukan tindak pidana umum.

Secara eksplisit, Pasal 3 Ayat 4 Tap MPR No VII/2000 menjelaskan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Penegasan mandat rakyat itu kembali ditegaskan dalam Pasal 65 Ayat 2 UU TNI Nomor 34 tahun 2004.

Sayangnya, hingga kini, mandat rakyat itu belum terwujud di mana prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum masih diadili di peradilan militer dengan bersandar pada UU No 31/1997. Keinginan untuk mengubah UU No 31/1997 tidak pernah terealisasi hingga sekarang dan pemerintahan Jokowi justru mengabaikan agenda itu dalam RPJMN dan Prolegnas.

Agenda mereformasi peradilan militer adalah sebuah keharusan konstitusional yang wajib dijalankan pemerintah untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 28 huruf d Ayat (1). Dalam negara hukum, semua warga negara, tidak terkecuali anggota TNI, memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum sehingga semuanya harus tunduk pada kekuasaan peradilan umum ketika melakukan tindak pidana umum.

Bukan prioritas

Di tengah harapan kosong atas perubahan UU No 31/1997, pemerintah justru memasukkan kembali rancangan RUU yang kontroversial di dalam RPJMN dan Prolegnas 2015-2019, yakni RUU Rahasia Negara dan RUU Kamnas. Padahal, kedua RUU itu pernah ditolak masyarakat pada periode pemerintahan yang lalu karena dinilai akan mengancam kehidupan demokrasi dan pemajuan HAM.

Secara urgensi, kehadiran RUU Rahasia Negara patut dipertanyakan karena pengaturan tentang rahasia negara secara eksplisit telah diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008 khususnya Pasal 17 mengenai informasi yang dikecualikan. Secara substantif, ruang lingkup yang diatur dalam RUU Rahasia Negara sangat luas dan bersifat karet sehingga berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan demokrasi, khususnya kebebasan pers, menghambat pemberantasan korupsi, dan menghambat penegakan hak asasi manusia (HAM). RUU Rahasia Negara dapat mengembalikan rezim yang terbuka seperti saat ini menjadi rezim yang tertutup seperti masa lalu.

Sementara RUU Kamnas secara urgensi juga dipertanyakan kehadirannya karena tata kelola sektor pertahanan dan keamanan sebagian besar telah diatur dalam konstitusi, ketetapan MPR, dan berbagai undang-undang bidang pertahanan dan keamanan, semisal UU Pertahanan, UU TNI, UU Polri, UU Intelijen. Kalau tujuan RUU Kamnas adalah untuk meningkatkan kerja sama aktor pertahanan keamanan, khususnya kerja sama antara TNI dan Polri dalam menghadapi wilayah abu-abu (grey area) ataupun dalam menghadapi situasi darurat, seharusnya pemerintah membentuk aturan tentang tugas perbantuan TNI (RUU Perbantuan TNI) dan merevisi UU Darurat Nomor 23 Tahun 1959 dan bukannya mengajukan RUU Kamnas dalam RPJMN maupun Prolegnas.

RUU Kamnas dengan mengacu draf yang terdahulu dan hingga kini belum berubah, secara substansi akan mengancam kehidupan demokrasi dan pemajuan HAM. Pasal-pasal yang mengatur tentang persepsi ancaman keamanan nasional masih bersifat karet dan masih mengidentifikasi warga negara yang kritis terhadap kekuasaan sebagai ancaman keamanan nasional, seperti pemogokan massal, menghancurkan etika moral bangsa, dan diskonsepsi legislasi dianggap sebagai ancaman keamanan nasional.

Hal ini tentu akan menempatkan tata sistem keamanan seperti pada masa Orde Baru di mana warga negara selalu dianggap sebagai ancaman bagi rezim pemerintahan yang berkuasa sehingga kebebasan dapat dikekang dan dibungkam.

Selain itu, RUU Kamnas juga akan jadi salah satu dasar dalam membangun sistem keamanan nasional yang terintegrasi sebagaimana dimaksud RPJMN. Secara konsepsi, RPJMN tak menjelaskan secara rinci dan jelas sistem keamanan nasional integratif itu. Pembangunan sistem keamanan nasional yang integratif bisa menimbulkan penafsiran yang luas yang dapat mengakibatkan kontroversi dan menimbulkan banyak pertanyaan ketika dikaitkan dengan RUU Kamnas.

TNI dan Polri

Apakah sistem keamanan nasional integratif yang akan direalisasikan dalam RUU Kamnas adalah hendak menggabungkan TNI dan Polri kembali dalam satu atap seperti masa rezim otoritarian Orde Baru? Apakah itu juga artinya TNI akan memiliki tugas yang sama seperti Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, semisal digunakan untuk menghadapi aksi mahasiswa ataupun aksi buruh dan demo petani serta lainnya? Pertanyaan itu wajar dikemukakan mengingat ketika awal-awal RUU Kamnas muncul di publik, salah satu isu yang dipermasalahkan adalah terkait dengan agenda penggabungan TNI dan Polri dalam satu atap seperti masa lalu.

Meskipun output dari pembangunan sistem keamanan nasional yang terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam RPJMN ini adalah kebijakan keamanan nasional, dewan keamanan nasional, indeks ketahanan nasional, kajian kebijakan keamanan nasional yang strategis dan pendidikan bela negara; tetapi tetap saja penggunaan istilah sistem keamanan nasional terintegrasi bisa menimbulkan bias pemaknaan dan kontroversi ketika dikaitkan dengan RUU Kamnas.

Karena membangun dan mengatur sistem keamanan di dalam legislasi keamanan bukan hanya sekadar outputyang dimaksud RPJMN itu saja, tetapi juga mencakup hal-hal lain yang terkait dengan sub-sub sistem pertahanan keamanan tersebut.

Demi memajukan kehidupan demokrasi, negara hukum dan proses reformasi sektor keamanan sudah sepantasnya Presiden Jokowi kembali mengevaluasi ulang RPJMN dan Prolegnas 2015-2019 bidang pertahanan keamanan, khususnya terkait RUU yang akan diajukan pemerintah. Presiden perlu memasukkan RUU perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dalam RPJMN dan Prolegnas 2015-2019 serta meninjau kembali tujuan pembentukan dan substansi RUU Rahasia Negara dan RUU Kamnas.

AL ARAFDIREKTUR PROGRAM IMPARSIAL; PEGIAT KOALISI REFORMASI SEKTOR KEAMANAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "RPJMN dan Prolegnas Hankam".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger