Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 04 Mei 2015

TAJUK RENCANA: Drama 40 Jam Novel (Kompas)

Kisah penyidik KPK, Novel Baswedan, untuk sementara berakhir. Polri menangguhkan penahanan penyidik terbaik KPK tersebut.

Novel ditangkap petugas Bareskrim Polri, Kamis (30/4) tengah malam, dan ditangguhkan penahanannya Sabtu (2/5), pukul 16.00. Novel, penyidik yang membongkar sejumlah kasus korupsi besar itu, dituduh menganiaya warga hingga warga tewas tahun 2004! Karena ada laporan dari advokat pada 21 September 2012 (delapan tahun kemudian), Bareskrim memproses laporan advokat itu.

Selama 40 jam jagat dunia maya gaduh. Media sosial riuh dengan penangkapan Novel sampai Presiden Joko Widodo dalam wawancara di Solo meminta Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti untuk tidak menahan Novel. Pesan yang ditangkap dari berbagai reaksi di media sosial adalah terulangnya kembali konflik KPK dan Polri.

Melalui media sosial ataupun media arus utama, kita mendengar suara agar Presiden Jokowi mereformasi kepolisian yang setelah reformasi 1998 ditempatkan di bawah Presiden. Suara reformasi Polri samar-samar terdengar melalui UU Dewan Keamanan Nasional yang masuk Program Legislasi Nasional 2016.

Namun, sebelum sampai kepada reformasi kepolisian yang pasti memicu perdebatan baru, kita perlu belajar dari drama 40 jam Novel Baswedan. Kita bersyukur pelaksana tugas pimpinan KPK, Sabtu 2 Mei, bertemu dengan Kapolri untuk membangun kesepakatan bersama. Pimpinan KPK bahkan menjaminkan diri untuk penangguhan penahanan Novel. Pelaksana Tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menegaskan, pimpinan dan pegawai KPK tidak kebal hukum. Namun, yang hendak dibangun adalah bagaimana komunikasi yang jujur dan saling menghormati terjadi antara Polri dan KPK.

Tugas dan wewenang kepolisian untuk menerima laporan dari masyarakat terhadap perilaku tidak terpuji yang dilakukan anggota kepolisian, termasuk Novel, harus dihormati, bahkan harus didukung. Namun, pertanyaannya, mengapa perkara itu baru ditangani tahun 2012 dan kemudian tahun 2015 atau sebelas tahun kemudian. Padahal, seperti dikutip Kompas, 9 Oktober 2012, Halimudin, salah satu orangtua korban penembakan, mengatakan, "Saya sudah lupa kejadian delapan tahun lalu. Kami ingin keluarga tenang. Biar anak saya yang kuli bangunan tenang, kerjanya tenang."

Frase "ikuti saja proses hukum" yang sering dikatakan hendaknya didasarkan juga pada rasionalitas publik.

Drama 40 jam Novel seakan menempatkan Presiden, Polri, dan KPK dalam pusat perhatian. Posisi itu tidak menguntungkan Presiden karena sedikit banyak akan berpengaruh pada otoritas dan kewibawaan lembaga kepresidenan. Pertanyaannya, di mana peran para pembantu presiden di bidang politik, hukum, dan keamanan dalam mengatasi ketegangan itu? Seharusnya, mereka menyelesaikan masalah itu sejak dini sehingga tidak harus selalu melibatkan Presiden.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Drama 40 Jam Novel"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger