Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 22 Mei 2015

TAJUK RENCANA: Langkah Otonom Presiden (Kompas)

Presiden Joko Widodo mengumumkan sembilan perempuan sebagai anggota Panitia Seleksi Calon Komisioner KPK.

Putusan itu di luar perkiraan banyak kalangan. Panitia Seleksi Calon Komisioner KPK selama ini didominasi laki-laki. Seperti dikutip media, sejumlah partai politik berupaya menitipkan calon melalui panitia seleksi. Putusan Jokowi itu menunjukkan otonomi seorang presiden.

Kesembilan perempuan itu berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang sudah berkecimpung dalam gerakan anti korupsi dan tata kelola pemerintahan, ahli hukum, ahli manajemen, sosiolog, dan psikolog. Sebagai ketua panitia seleksi adalah Destry Damayanti, seorang ekonom, dengan Enny Nurbaningsih, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, sebagai wakil ketua. Sebagai anggota terdapat nama Harkristuti Harkrisnowo, Betti S Alisjahbana, Yenti Ganarsih, Supra Wimbarti, Natalia Subagyo, Diani Sadiawati, dan Meuthia Ganie Rochman.

Presiden Jokowi menegaskan, "Saya ingin menekankan komitmen saya untuk pemberantasan korupsi. Semua berkepentingan melawan korupsi ini. Ini kepentingan seluruh rakyat. Indonesia bisa bangkit menjadi bangsa besar kalau kita bebas dari korupsi."

Langkah otonom Presiden Jokowi banyak diapresiasi. Namun, kita mau ingatkan, pembentukan panitia seleksi barulah langkah awal. Masalah berikutnya adalah siapa yang akan dipilih panitia seleksi untuk menjadi komisioner KPK dan diserahkan kepada DPR melalui Presiden.

Kerumitannya justru pada tahapan seleksi di DPR. Harus diakui, banyak pihak, termasuk sejumlah anggota DPR, tidak punya keinginan politik untuk memperkuat KPK. Dalam analisis wacana di media, tampak dan terbaca bahkan sejumlah anggota DPR berkehendak melemahkan KPK. Hasil seleksi panitia seleksi ini akan menggantikan empat komisioner yang habis masa jabatannya pada Desember 2015. Dua calon komisioner Busyro Muqoddas dan Roby Arya Brata telah lebih dahulu diajukan Presiden ke DPR, tetapi pemilihan di DPR ditunda.

Sejarah menunjukkan seleksi pimpinan KPK selalu menjadi pertarungan politik di antara kekuatan di DPR. Kerap terjadi beda pandangan antara panitia yang mengedepankan integritas, kredibilitas, dan kompetensi dengan kepentingan DPR yang kerap mendasarkan pada akseptabilitas politik. Karena itulah, transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme seleksi pimpinan KPK menjadi penting untuk mengantisipasi langkah politik DPR.

Belajar dari pengalaman masa lalu, rekam jejak calon komisioner KPK harus betul-betul bersih, dan tidak boleh terkena tindak pidana sekecil apa pun, seperti dalam kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang dilaporkan melakukan tindak pidana pada masa lalu. Kalau perlu, Mabes Polri dimintai "klarifikasi" untuk mengecek kemungkinan ada tidaknya catatan kriminal masa lalu pada saat awal, daripada ada laporan tindak pidana masa lalu setelah mereka menjadi pimpinan KPK.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Langkah Otonom Presiden".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger