Lima hal tentang tulisan itu. Pertama, saat ini kita punya dua konstitusi: UUD 1945 dan UUD Setelah 1945. Kedua buku konstitusi ini disatukan menjadi UUD RI 1945 dan Perubahannya. Jadi, bila kita bicara ihwal pasal konstitusi yang dibuat setelah 1945, sebenarnya kita tidak bicara soal UUD 1945, melainkan UUD Setelah 1945.
Kedua, ada pasal UUD 1945 yang abadi dan fundamental. Jika kita mengubahnya, maka kita mengubah seluruh sistem pemerintahan negara kita. Contohnya Pasal 1 yaitu bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Ketiga, amandemen UUD 1945 menggambarkan empat kondisi politik di negara kita. Ada pasal UUD 1945 yang tak dipakai lagi, lalu isi pasalnya diubah sebagian, seperti Pasal 2 Ayat 1; atau dibuatkan pasal yang baru, seperti Pasal 6A Ayat 1. Keberadaan pasal setelah 1945 merupakan bukti adanya konstitusi baru selain UUD 1945.
Keempat, tentang banyaknya pelanggaran konstitusi seperti ditulis Sri-Edi. Sebenarnya kita telah banyak memiliki polisi konstitusi, tetapi mereka terpisah karena organisasi, visi, dan misi masing-masing. Ombudsman, Komnas HAM, KPAI, dan KPPU dalam praktiknya berfungsi seperti lembaga advokasi dan belum berfungsi seperti polisi layaknya yang memiliki wewenang menindak sendiri. Celah seperti ini bisa dimanfaatkan pihak tertentu untuk melanggar konstitusi karena untuk melakukan suatu penuntutan terhadap pelanggar konstitusi, prosesnya panjang, melelahkan, dan bisa berujung pada kekecewaan.
Kelima, ada satu lembaga yang tak ada di dalam peradilan di negeri kita: juri. Juri akan mencatat seluruh tuntutan, menilai keterangan saksi ahli, memberi nasihat kepada majelis hakim, dan mencegah majelis hakim memutus perkara jika ada fakta persidangan yang diabaikan majelis hakim, termasuk majelis hakim Mahkamah Konstitusi.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar