Dari sisi eksternal, telah terjadi penguatan sentimen terhadap perekonomian Amerika Serikat (AS). Tingkat pengangguran di AS kini 5,4 persen. Angka ini memang belum mencapai titik normal perekonomian AS sebesar 4 persen, tetapi sudah jauh lebih rendah dibandingkan dengan 10 persen pada 2009.
Perekonomian AS sebenarnya juga menghadapi dilema. Di satu pihak, mereka ingin menaikkan suku bunga karena kondisi perekonomian mulai normal. Namun, jika hal itu dilakukan, dollar AS akan menguat. Jika terlalu kuat, dampaknya justru negatif terhadap daya saing produk AS. Itulah sebabnya, nilai tukar dollar AS (sebaliknya juga kurs rupiah) akhir-akhir ini cenderung fluktuatif.
Dari sisi internal, rupiah juga terkena imbas sentimen negatif. Jika mengikutireal effective exchange rate (REER), atau nilai tukar yang secara obyektif didasarkan pada fundamental ekonomi, mestinya rupiah bisa Rp 12.500 per dollar AS. Namun, karena tidak ada sentimen positif yang cukup besar, rupiah tidak bisa bertengger pada nilai tukar sesuai potensinya.
Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi harus merebut simpati pasar. Pasar harus diyakinkan bahwa pemerintah layak mendapatkan kepercayaan. Upaya mendorong proyek-proyek infrastruktur merupakan hal yang diharapkan bisa menumbuhkan sentimen positif tersebut. Namun, karena proyek infrastruktur bersifat jangka menengah-panjang, hasilnya tidak bisa segera dinikmati secara instan.
Pemerintah mencanangkan kredit maritim untuk menerjemahkan visi Presiden Jokowi tentang negara maritim, poros maritim, dan "tol laut". Kesadaran negara maritim didasarkan pada kenyataan, Indonesia mengalami beban biaya logistik yang tinggi, melebihi negara-negara tetangga. Hal ini menyebabkan inflasi Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan para kompetitor, yang inflasinya rata-rata di bawah 5 persen.
Untuk mengatasinya, selain diperlukan lebih banyak jalan tol di Jawa dan pulau-pulau lain, termasuk Papua, juga perlu dibangun pelabuhan laut yang lebih besar. Jika kapal-kapal besar beroperasi, skala ekonomi akan tercapai.
Keberadaan pelabuhan yang lebih banyak dan besar juga akan mengurangi beban pelabuhan-pelabuhan yang sudah ada. Di Pelabuhan Tanjung Priok yang kini sudah kelebihan muatan, kontainer harus menunggu tujuh hari sebelum mendapat giliran berlayar (dwelling time). Di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, angkanya sedikit lebih baik, yakni empat hari. Namun, ini jelas tidak kompetitif dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Thailand, yang waktu antrenya 1-3 hari.
Pekan lalu, saya berkunjung ke PT Pelabuhan III (Persero) di Surabaya. Perusahaan ini tengah bersemangat karena kinerjanya baik, antara lain laba tahun lalu Rp 1,6 triliun. Perusahaan ini berencana membangun pelabuhan baru di Gresik, Jawa Timur. Gresik dipilih karena memiliki potensi besar sebagai daerah industri. Dana yang diperlukan untuk membangun pelabuhan baru itu mencapai Rp 20 triliun.
Dari mana asal uang sebesar itu? Dengan mengandalkan kemampuan memperoleh laba, PT Pelabuhan III bisa menerbitkan obligasi internasional dengan imbal hasil 4,8 persen. Adapun jika didanai kredit perbankan lokal, bunganya mencapai 11-12 persen.
Inilah salah satu persoalan besar pendanaan infrastruktur Indonesia: jika didanai sumber domestik bunganya 12 persen, sedangkan jika didanai internasional hanya memerlukan ongkos di bawah 5 persen. Haruskah kita hanya meminjam dari sumber pendanaan internasional? Tentu saja tidak.
Utang dari sumber dana internasional akan menambah beban di kemudian hari. Utang luar negeri kita kini nyaris 300 miliar dollar AS. Cadangan devisa kita 109 miliar dollar AS. Secara matematis, rasionya masih bisa disebut aman. Namun, kita tidak boleh terus-menerus memberi toleransi tambahan utang luar negeri.
Sementara itu, saya juga mendapat informasi menarik dari pengusaha garam di Surabaya. Upaya pemerintah untuk swasembada garam memang layak diapresiasi. Namun, harus diingat, hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Industri garam mensyaratkan hamparan pantai yang datar dan luas, agar skala ekonomi tercapai. Perlu upaya besar untuk mencari pantai yang datar dan luas untuk dijadikan lahan garam besar-besaran. Hal itu pasti bisa dilaksanakan, tetapi memakan waktu, sebelum kita bisa menghentikan impor garam dari India dan Australia.
Kesimpulannya, industri sektor maritim yang digagas Presiden Jokowi memang potensial, tetapi perlu waktu dan perjuangan keras sebelum dapat mewujudkannya. Tidak ada hal yang instan dalam membangun perekonomian berkelanjutan. Itulah masalah terbesar Jokowi dan kita.
A TONY PRASETIANTONO KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2015, di halaman 15 dengan judul "Merebut Kembali Kepercayaan Pasar".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar