Yakni ke masa ketika dunia masih dalam kurungan Perang Dingin (1949-1989); ketika kecurigaan dan ketidakpercayaan menjadi semacam roh dalam hubungan antarbangsa, terutama antara Blok Barat dan Timur. Selama 50 tahun, dunia terbelah dalam struktur bipolar, dengan AS dan Uni Soviet (US) berada pada dua kutub yang berbeda secara diametral.
Sepanjang Perang Dingin, tiga negara kunci Eropa—Jerman, Perancis, dan Inggris—berusaha memanfaatkan kekuatan dan kehadiran politik serta ekonomi AS guna mengimbangi kekuatan politik dan militer US. Setelah US pada 1991, yang menandai berakhirnya Perang Dingin, naluri Eropa untuk menentukan sendiri keamanan tetap tinggi. Bagaimanapun, Jerman, Perancis, dan Inggris tak ingin seluruh nasib politiknya ditentukan sepihak oleh AS.
Akan tetapi, bubarnya US, menyisakan sebuah kutub, yakni AS menjadi kekuatan dominan. Selain itu, dengan berakhirnya Perang Dingin, sistem dunia yang terbagi dan tetap (fixed) memberikan tempatnya kepada globalisasi. Globalisasi ini kemudian menjadi suatu sistem internasional yang baru.
Sampai di sini, kita melihat bahwa AS tetap menjadi salah satu pemain utama. AS tetap ingin menentukan arah dunia, termasuk menggunakan cara-cara yang absurd— yang di zaman Perang Dingin wajar dilakukan, yakni penyadapan terhadap kawan dan lawan—demi tercapainya tujuan.
Bocoran yang diungkapkan Wikileaks—selama periode 2006 hingga 2012, Dewan Keamanan Nasional AS, menyadap langsung telepon seluler tiga presiden Perancis, yakni Jacques Chirac, Nicolas Sarkozy, dan Francois Hollande—menunjukkan kepada kita bahwa AS tetap mempertahankan mentalitas Perang Dingin itu, apa pun alasannya. Hal itu juga menunjukkan bahwa AS tidak pandang bulu untuk melakukan niatnya meski yang disadap adalah sekutunya, bahkan sekutunya yang setia.
Selama mentalitas seperti itu berlanjut bangsa-bangsa yang memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan AS akan selalu dipandang sebagai musuh dan menjadi ancaman potensial bagi kepentingan AS. Tentu, hal tersebut akan sangat melukai bukan hanya nilai-nilai persahabatan bahkan persekutuan, melainkan juga nilai-nilai kepercayaan. Persahabatan, bahkan termasuk persahabatan antara bangsa dan negara, hanya akan terbangun jika ada rasa saling percaya dan saling memercayai.
Karena itu adalah wajar kalau Perancis memprotes keras tindakan AS. Hal yang sama juga akan harus kita lakukan kalau kita diperlakukan seperti itu.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Juni 2015, di halaman 6 dengan judul "Mentalitas Perang Dingin".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar