Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 30 Juli 2015

Dinamika Beragama (ABD A’LA)

Ketaatan beragama masyarakat Indonesia-sampai derajat tertentu-berada pada tingkat yang cukup tinggi. Hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia pada 2011 menunjukkan, 62,4 persen masyarakat Indonesia taat beragama, 23,4 persen tidak taat, dan 0,7 persen tidak beragama.

Secara lebih khusus, survei Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama tahun 2007 di 13 provinsi memperlihatkan tingkat ketaatan beragama masyarakat Muslim yang sangat tinggi. Sekitar 92 persen menunaikan shalat lima waktu, 63,5 persen melaksanakan shalat secara berjemaah, 97,3 persen menjalankan puasa di bulan Ramadhan, dan 77 persen mengeluarkan zakat/infak.

Terlepas dari dinamika keberagamaan yang ada, dan melihat fenomena berjubelnya jemaah di tempat-tempat ibadah di Indonesia hingga saat ini, hasil survei tersebut tampaknya tidak mengalami perubahan signifikan sampai sekarang, bahkan mengalami peningkatan. Dalam ungkapan lain, 99 persen lebih masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Mayoritas mereka adalah umat yang taat menjalankan ibadah.

Namun, sejalan dengan itu, praktik-praktik kotor, semisal korupsi dan kejahatan lain, seperti perampokan dan kekerasan atas nama agama, masih sering terjadi dari saat ke saat dan tak mengalami penurunan cukup berarti. Di bulan Ramadhan tahun ini-yang sejatinya bulan pengendalian diri bagi umat Islam yang di Indonesia merupakan penduduk terbesar-realitas itu terus berlangsung. Bahkan beberapa kejahatan, jumlah dan modusnya (sebagaimana disebut Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Muhammad Iqbal) mengalami peningkatan, minimal di wilayah Jakarta.

Korupsi pun tidak mengalami jeda. Johan Budi, Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK, saat diskusi tentang korupsi di PP Muhammadiyah menyampaikan, bulan suci Ramadhan tahun ini tidak membuat koruptor berhenti dari melakukan praktik jahat tersebut.

Di antara yang menonjol adalah operasi tangkap tangan pada 19 Juni 2015 yang dilakukan KPK terhadap dua anggota DPRD dan dua pejabat daerah Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Tak berapa lama kemudian, tepatnya 9 Juli 2015, tiga aparat hukum ditahan KPK dalam operasi tangkap tangan di kantor PTUN Medan.

Kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok tertentu terhadap kelompok lain, baik yang berbeda agama maupun satu agama, juga setali tiga uang. Kekerasan dalam beragam bentuknya-fisik, budaya, atau struktural-terus dialami oleh beberapa kelompok penganut agama di negeri tercinta. Salah satu contoh adalah penyerangan massa berjubah terhadap umat salah satu agama yang sedang beribadah di Sleman, Yogyakarta, 29 Mei 2014. Tragedi paling anyar adalah kekerasan di Tolikara, Papua, 17 Juli 2015.

Sejalan dengan itu, simplifikasi penyesatan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain yang saat ini marak dan terus berkelanjutan juga merupakan bagian dari kekerasan atas nama agama. Di sini, agama dijadikan senjata untuk melakukan kekerasan dan sekaligus perisai untuk menyembunyikan kepentingan-kepentingan sempit yang senyatanya tidak berkaitan dengan agama.

Paradoks keberagamaan

Fenomena buram yang berkembang di Indonesia tersebut memperlihatkan, ketaatan beragama belum memiliki korelasi dengan membuminya kehidupan yang lebih bermoral. Padahal, salah satu peran utama agama (apa pun) ialah menyemai-suburkan dan melabuhkan etik-moralitas luhur dalam kehidupan. Melalui ajaran dan nilai-nilai transendental yang abadi, agama dihadirkan untuk menjaga hubungan antarsesama dan alam semesta, sebagaimana pula merawat hubungan dengan Sang Pencipta. Dalam ungkapan Charles Davis (Religion and the Making Society, 1994), dalam agama, prinsip keimanan dan moralitas akan selalu mengawal tatanan kehidupan sosial yang menyeluruh.

Sejalan dengan itu, intelektual Muslim sufi, Charles le Gai Eaton atau Hassan Abdul Hakeem ("Manusia" dalamEnsiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, Mizan, 2002), menegaskan, individu Muslim sebagai wakil Tuhan di bumi senyatanya hidup dan bekerja di tengah sesamanya, yang tak ubahnya seperti diri sendiri dan harus diperlakukan seperti itu. Ia niscaya memperlakukan orang lain dengan rasa hormat bukan secara apa adanya, melainkan bagaimana seharusnya.

Dengan demikian, kian taat seseorang dalam beragama, seharusnya kehidupannya kian bermoral. Pada gilirannya, manakala individu di tengah masyarakat semakin banyak yang semacam itu, kehidupan masyarakat akan merepresentasikan keluhuran dalam beragam aspeknya. Namun, realitas yang ada di hadapan bangsa ini jauh panggang dari api. Ketaatan beragama tak mampu mentransformasikan diri sendiri dan masyarakat ke dalam sikap dan perilaku yang lebih mencerminkan keluhuran dan keadaban. Alih-alih, keangkaramurkaan, keculasan, keberingasan-sampai derajat tertentu-mewarnai kehidupan mereka.

Tentu bukan agama yang salah, melainkan pola keberagamaan mereka yang perlu dipersoalkan. Keberagamaan mereka menjadikan agama sekadar fosil yang bersedimentasi dalam ruang kedap dari realitas dan dinamika kehidupan. Akibatnya, ia nyaris mandul untuk menerjemahkan dan melabuhkan nilai-nilai dan ajaran luhur agama tidak hanya ke dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan seumpamanya, tetapi juga nyaris lumpuh untuk diinternalisasikan ke dalam diri sendiri.

Rekonstruksi

Fenomena keberagamaan semacam itu tidak bisa dibiarkan berlanjut terus. Pengabaian akan melanggengkan praktik-praktik kotor dan kejahatan yang lambat laun akan menghancurkan bangsa. Agama hanya akan dijadikan pembenaran atas kejahatan yang dilakukan, misalnya suap dibahasakan sebagai sedekah, terorisme disebut sebagai jihad, perang suci, atau sejenisnya.

Rekonstruksi keberagamaan niscaya dilakukan. Agama perlu dipahami secara utuh dan holistik serta disikapi sebagai ajaran dan nilai-nilai universal yang dari saat ke saat perlu didialogkan dengan ruang, waktu, dan tempat. Alfa-beta ajaran agama adalah seutuhnya etika-moral yang harus dilabuhkan ke dalam kenyataan dan menjadi dasar sikap, pandangan, dan perilaku dalam segala kehidupan yang dijalaninya. Dalam perspektif Islam, ungkapan Rasulullah SAW, baik tidaknya keberagamaan seseorang dilihat dari manfaat tidaknya ia bagi orang lain, dan tentu juga bagi kehidupan secara menyeluruh, sejatinya niscaya menjadi bagian intrinsik dari keberagamaan umat Islam. Demikian pula, pembumian kasih bagi siapa pun dan umat mana pun dalam ajaran Kristiani merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar kembali

Pada gilirannya, keberagamaan ini akan mengantarkan umat beragama untuk menjadikan agama benar-benar fungsional sebagai sumber pengembangan peradaban yang mencerahkan umat, sesama, dan kehidupan. Di sana, kehidupan dalam semua aspeknya-dari pendidikan, ekonomi, sosial budaya, hingga politik-akan mencerminkan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan. Indonesia dengan masyarakatnya yang relatif paling taat beragama pasti bisa mengembangkan keberagamaan yang mencerahkan ini.

ABD A'LA

Guru Besar dan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Dinamika Beragama".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger