Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 28 Juli 2015

Makna MIKTA bagi Indonesia (STEVEN YOHANES POLHAUPESY)

Pada 25 September 2013, di sela Sidang Majelis Umum PBB Ke-67, para menteri luar negeri dari Meksiko, Indonesia, Korea, Turki, dan Australia bertemu membahas pembentukan sebuah grup konsultatif informal yang kemudian disebut sebagai MIKTA. Sejak saat itu, MIKTA dianggap sebagai kumpulan negara middle power yang memiliki agenda bagi kepentingan global.
JITET

Pertanyaan sederhana yang muncul adalah, kenapa MIKTA penting untuk Indonesia? Bukankah Indonesia telah memiliki panggung politik luar negeri (polugri) yang lebih terinstitusionalisasi dan representatif seperti melalui ASEAN, G-20, ataupun G-77? Tidak seperti Korea Selatan, Turki, dan Australia yang masih kesulitan mencari panggung polugri di tingkat regional kawasan masing-masing.

Belum lagi kemunculan MIKTA masih memerlukan legitimasi politik tidak hanya pada tataran elite polugri pengemban kebijakan luar negeri, tetapi juga pada tataran masyarakat luas di Indonesia yang merasakan dampak kebijakan luar negeri yang diambil.

Meskipun demikian, bagi Indonesia, menjadi negara middlepower merupakan salah satu agenda reformasi polugri yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Pada konteks inilah MIKTA memiliki dimensi strategis untuk Indonesia dalam memosisikan diri sebagai negara middle power atau negara middlepower dengan kepentingan regional dan global (Indonesia is middle-power country with regional and global interests).

Setidaknya ada tiga kepentingan nasional Indonesia yang dapat dicapai melalui keterlibatan Indonesia dalam MIKTA. Pertama, MIKTA dapat menjadi peluang bagi Indonesia menunjukkan konsistensi identitas polugri bebas-aktif dan pembentuk norma (norms-setter) demokrasi. Kedua, Indonesia bisa memainkan diplomasi untuk memperluas pengaruh polugri dalam agenda-agenda global yang akan dilaksanakan di 2015, khususnya negosiasi perubahan iklim COP 21 UNFCCC di Paris. Ketiga, MIKTA dapat memfasilitasi agenda hubungan bilateral atau trilateral antarnegara anggota MIKTA.

Identitas dan pembentuk norma

Peranan Indonesia yang dikenal dalam komunitas internasional sebagai negara "penganut" demokrasi ketiga terbesar di dunia dengan penduduk Muslim moderat terbesar di dunia menjadi identitas polugri Indonesia. Untuk itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan kapabilitas polugri Indonesia dengan melibatkan dimensi demokrasi yang lebih kuat.  

Indonesia berpeluang menjadi model percontohan demokrasi yang relevan di tingkat global melalui MIKTA. Hal ini karena keempat negara lain dalam MIKTA juga merupakan negara demokrasi. Indonesia dan Korea Selatan memiliki pengalaman transisi demokrasi yang baik dari masa otoriter. Oleh sebab itu, keterlibatan Indonesia dalam MIKTA berdampak produktif bagi institusionalisasi demokrasi dalam polugri.

Untuk mencapai kepentingan seperti itu, Indonesia pertama-tama perlu mendorong negara-negara MIKTA untuk menjadikan demokrasi sebagai identitas grup konsultatif tersebut. Perlu ada langkah konkret untuk mencapai upaya tersebut, misalnya bermitra dengan kelima negara anggota MIKTA untuk terlibat dalam sharing knowledge dalam pelaksanaan Bali Democracy Forum yang notabene belum jelas akan dilaksanakan kembali atau tidak dalam era Jokowi.

Pengaruhi agenda global

Pertemuan awal MIKTA di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB Ke-67 bukan tanpa maksud. Sebaliknya, lokasi pertemuan yang dilakukan tersebut dimaksudkan bahwa kelima negara anggota MIKTA ingin mengirimkan sinyal bahwa MIKTA dapat memainkan peranan diplomasi aktif yang memengaruhi proses pengambilan keputusan di tingkat global dalam PBB.

Hal ini juga berkaitan erat dengan negosiasi akhir perjanjian perubahan iklim dalam COP 21 UNFCCC di Paris akhir tahun ini, yang sekaligus menjadi titik strategis bagi Indonesia untuk memperjuangkan agenda perubahan iklim di tingkat global. Momentum sinyal positif perundingan perubahan iklim dengan penandatanganan nota kesepahaman (MOU) antara AS dan Tiongkok tahun lalu menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk merampungkan perundingan negosiasi perubahan iklim dengan mulus.

Secara khusus, Indonesia dapat memainkan peran sentral sama halnya seperti ketika Indonesia berhasil menjadi jembatan penghubung antara negara-negara G-77 (negara berkembang) dan G-7 (negara maju) dalam COP 13 UNFCCC di Bali.

Kehadiran setiap negara dalam MIKTA tidak hanya mewakili entitas satu negara, tetapi lebih luas menjadi representasi kawasan setiap negara anggota MIKTA yang strategis. Arti strategis ini juga berkaitan erat bahwa negara-negara MIKTA memiliki perhatian yang sama dalam hal perubahan iklim. Oleh karena itu, hal ini dapat menjadi modal awal Indonesia memainkan diplomasi untuk mempersatukan suara-suara antara negara berkembang dan negara maju untuk menyukseskan perundingan perubahan iklim COP 21 UNFCCC.

Fasilitasi hubungan antaranggota

Sebagai grup dialog informal, MIKTA dapat dikatakan mempunyai nilai strategis yang patut dipertimbangan dalam formulasi polugri. MIKTA mewakili 8 persen total PDB dunia dengan potensi ekonomi 5,9 triliun dollar AS dan 7 persen total populasi dunia atau lebih dari 500 juta penduduk dunia. Potensi ekonomi MIKTA menjadi sangat terbuka, khususnya bagi Indonesia yang ingin mengintensifkan diplomasi ekonomi untuk mencari investasi, perdagangan, dan pembukaan akses-akses pasar nontradisional.

Selain itu, dimensi kerja sama politik-keamanan juga dapat dilakukan dalam MIKTA. Sebagai contoh, Indonesia dapat memulai diplomasi untuk pembentukan regionalisme kawasan Asia Timur dengan Korea Selatan sebagai pintu masuk, khususnya dalam membangun rasa saling percaya (confidence building measures/CBM) antarnegara kawasan tersebut. Atau lebih signifikan, Indonesia dapat meminta dukungan politik untuk menyeimbangkan perimbangan kekuatan dengan melibatkan Korea Selatan dan Australia dalam pembentukan arsitektur keamanan kawasan di Asia Pasifik.

Sebagai sebuah grup konsultatif informal, MIKTA penting bagi Indonesia. Setidaknya Indonesia dapat menggunakan MIKTA sebagai alternatif cara untuk kepentingan nasional di tingkat regional dan global. Secara khusus, sebagai negara middle power, Indonesia membutuhkan platform institusi yang juga dapat memosisikan postur polugri Indonesia yang tetap mempertimbangkan prinsip bebas-aktif dengan identitas demokrasi yang substansial.

STEVEN YOHANES POLHAUPESY

Researcher ASEAN Studies Program The Habibie Center

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Makna MIKTA bagi Indonesia".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger