Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 15 Juli 2015

Polisi atau Jaksa Pimpin KPK//Zona Tak Nyaman di Candi Borobudur//Diskriminasi dalam Penerbangan (Surat Pembaca Kompas)


Polisi atau Jaksa Pimpin KPK

Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Badrodin Haiti dan Jaksa Agung HM Prasetyo diberitakan telah mengusulkan polisi aktif dan jaksa aktif sebagai calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Kebijakan ini perlu diapresiasi sekaligus diantisipasi.

Diapresiasi karena polisi dan jaksa telah mau "turun gunung" lebih serius turut memberantas korupsi yang sudah berurat-berakar. Diantisipasi, mengingat institusi Kepolisian dan Kejaksaan justru menduduki peringkat teratas sebagai lembaga terkorup di Indonesia.

Perlu dipertanyakan efisiensi dan keefektifan KPK jika dipimpin oleh unsur Kepolisian dan Kejaksaan yang pengangkatannya atas dasar usul institusi masing-masing.

Kenyataannya, tabel lembaga paling korup di Indonesia yang dimuat Kompas,28 Mei 2015, halaman 5 menunjukkan bahwa tiga lembaga paling korup di Indonesia adalah Kepolisian, Parlemen (DPR dan DPRD), dan Peradilan (Kehakiman dan Kejaksaan).

Nah, jelaslah bahwa prioritas utama tugas KPK di waktu mendatang masih berkutat membidik tiga institusi tersebut. "Masak jeruk makan jeruk!"

ZULKIFLY, PONDOK PEKAYON INDAH, BEKASI SELATAN, BEKASI, JAWA BARAT


Zona Tak Nyaman di Candi Borobudur

Kami dan keluarga besar istri saya sangat tertarik melakukan perjalanan ke Candi Borobudur. Saya yang kelahiran Yogyakarta dan istri serta keluarga yang berasal dari Sumatera sudah membayangkan akan melihat Borobudur yang indah dan megah, warisan budaya dunia yang ditetapkan UNESCO.

Pada Sabtu (27/6) kami tiba di Candi Borobudur. Kami disambut para penjual suvenir yang mengerubungi kami seturun dari mobil travel. Di situ letak rasa tak nyaman pertama. Gigihnya para penjual menawarkan dagangan kepada kami sudah mendekati zona rasa tidak nyaman kami.

Setelah kami antre mendapatkan tiket dan masuk ke dalam halaman Candi Borobudur, kami memandang dengan kagum dan bangga bahwa Indonesia memiliki kebudayaan begitu megah dan hebat sejak masa lalu. Setelah menaiki, mengelilingi, dan memandangi relief serta patung yang ada—yang notabene banyak patung yang tidak lagi memiliki kepala—kami memutuskan turun dan pulang.

Kami keluar mengikuti papan tulisan yang mengarahkan ke mana harus menuju, tetapi yang terjadi berikutnya sangat tidak menyenangkan. Kami diarahkan melalui lorong panjang berliku-liku dan bertele-tele, penuh dengan pedagang yang menjual benda yang itu-itu saja.

Sungguh panjang jalan itu sekaligus tak manusiawi. Bayangkan saja kami berjalan mencari di mana tanda panah keluar berikutnya dan ketika kami menemukannya ternyata lorong yang masih panjang.

Kami pun "dipaksa" melihat tempat penyimpanan batu-batuan yang entah rusak, yang entah merupakan bagian candi yang tak terpakai. Bahkan, saya melihat anggota keluarga saya dan banyak orang yang sudah tua berjalan dengan tertatih-tatih dan dituntun orang yang juga lelah menyusuri lorong itu berharap agar segera menemukan jalan keluar yang sesungguhnya. Bukan "papan palsu pemberi harapan" bahwa pintu keluar sudah dekat.

Seingat saya, saat kali terakhir saya ke Candi Borobudur, tidak ada jalan keluar sepanjang ini. Semoga para pengunjung berikutnya bisa diperlakuan lebih manusiawi.

AGUSWEKA P SIREGAR, KOMPLEKS MPR D-9, MERUYA SELATAN, KEMBANGAN, JAKARTA BARAT


Diskriminasi dalam Penerbangan

Ada sesuatu yang baru ketika memperhatikan keanggotaan saya di Garuda Miles pada situs Garuda: diberikan bonus Mileage Ramadhan-Accor setiap kali terbang dengan Garuda di bulan Ramadhan. Menyadari hal ini, saya mencoba mengklaim bonus itu, yang saya duga lupa dimasukkan petugas Garuda ketika saya terbang ke Banda Aceh. Ternyata dugaan saya meleset: bonus memang tak diberikan untuk penerbangan tujuan Banda Aceh.

Seorang petugas Garuda menulis balasan surel saya sebagai berikut, "Dengan ini kami informasikan bahwa promo ramadhan accor diberikan untuk penerbangan dengan tujuan CGK, BDO, JOG, SOC, SRG, SUB, MLG, DPS, BPN, BDJ, PNK, UPG, MDC, PLW, MES, PDG, PKU, PGK, TKG, PLM, BTH."

Informasi ini memang tidak memasukkan BTJ (Banda Atjeh) dan kota-kota lain sebagai tujuan promosinya. Saya tidak mengerti bagaimana mungkin pihak manajemen Garuda bisa membeda-bedakan wilayah di Tanah Air ini dan bisa melahirkan kebijakan yang tidak adil yang sangat sensitif secara sengaja. Padahal, slogan Garuda adalah The Airline of Indonesia.

Meski ini hanya memberi untung yang kecil bagi pelanggan Garuda, kebijakan tak adil ini membuat saya sangat sedih dan dan merasa sangat terpukul.

Saya merasa diasingkan di negara saya sendiri.

SYAMSUL RIZAL, BANDA ACEH

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat kepada Redaksi ".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger