Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 24 Juli 2015

Properti untuk Orang Asing (MARIA SW SUMARDJONO)

Isu tentang properti untuk orang asing menghangat kembali, 19 tahun sejak Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian untuk Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia terbit pada 17 Juni 1996.

Kenyataannya, walaupun PP No 41 Tahun 1996 sudah dilengkapi dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996 dan Nomor 8 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing, peraturan itu belum dapat dilaksanakan secara efektif. Revisi PP No 41 Tahun 1996 memang perlu, tetapi semangatnya seyogianya menitikberatkan pada aspek keadilan.

Substansi yang diatur PP No 41 Tahun 1996 belum cukup komprehensif (Maria Sumardjono, "Pemilikan Rumah oleh WNA", Kompas, 24/6/1996).

Jika dikelompokkan, berbagai isu yang memerlukan klarifikasi dan/atau perlu ditambahkan dalam revisi PP No 41 Tahun 1996 setidaknya meliputi lima hal, yakni (a) subyek pengaturan (orang perorangan WNA saja atau meliputi badan hukum asing, beserta persyaratannya); (b) obyek pengaturan, terkait hak atas tanah, bangunan yang dapat dimiliki, dan persyaratan atau batasannya; (c) perbuatan hukum atau peristiwa hukum terkait pemilikan properti; (d) kemungkinan hapusnya hak atas tanah beserta bangunan yang dimiliki orang asing sebelum berakhirnya jangka waktu hak atas tanah; serta (e) pengawasan dan sanksi (Maria Sumardjono, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak atas Tanah Beserta Bangunan bagi WNA dan Badan Hukum Asing, Penerbit Buku Kompas, 2007).

Rambu-rambu

Istilah properti merujuk pada hak atas tanah beserta bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Oleh karena itu, properti untuk orang asing harus berdiri di atas tanah hak pakai (HP) sesuai UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Di antara berbagai kemungkinan terjadinya HP, yang paling "aman" adalah apabila HP terjadi di atas tanah negara. Perihal jangka waktu HP, yakni 25 tahun, dan dapat diperpanjang selama 20 tahun, tidak dapat ditawar-tawar lagi mengingat Putusan MK No 21, 22/PUU-V/2007 terhadap UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Mempermasalahkan jangka waktu HP sebagai hambatan investasi properti untuk orang asing barangkali kurang tepat. Masalah berkaitan dengan kepastian hukum, pelayanan dalam perizinan, tak adanya pungutan di luar biaya resmi, dan keunggulan properti yang ditawarkan dapat jadi daya tarik investasi.

Terkait subyek hak, dalam peraturan yang akan datang perlu dikaji apakah di samping orang perorangan WNA perlu ditambahkan badan hukum asing yang memerlukan rumah tempat tinggal bagi stafnya ketika bertugas di Indonesia. Persyaratan subyek hak itu meliputi syarat keimigrasian dan lain-lain yang dipandang perlu.

Pembatasan rumah tempat tinggal yang dapat dimiliki orang asing dapat ditentukan berdasarkan satuan harga yang ditetapkan oleh pemerintah yang harus ditinjau secara berkala. Apakah orang asing dapat memiliki rumah tapak di samping satuan rumah susun/apartemen? Apakah unit yang dapat dimiliki juga perlu dibatasi?

Lebih lanjut, sebagaimana diterapkan di Malaysia dan Thailand, apakah diperlukan pembatasan jumlah unit (kuota) yang dapat dimiliki orang asing dari jumlah keseluruhan unit bangunan dalam satu kompleks perumahan atau dari keseluruhan unit satuan rumah susun dalam satu kompleks? Bahkan, untuk mengantisipasi lonjakan harga tanah yang diperuntukkan bagi properti untuk orang asing, Property Watch (Kompas, 1/7/2015) mengusulkan perlunya batasan berupa zonasi bagi properti asing untuk meminimalkan dampaknya terhadap penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Berbagai persyaratan/pembatasan itu harus dipahami sebagai hal yang wajar karena dalam setiap hak, selalu ada pembatasan. Lagi pula, pembatasan pemilikan properti itu dilakukan dalam kerangka kepentingan yang lebih besar. Pemilik properti dapat menghibahkan properti kepada pihak yang memenuhi syarat. Properti juga dapat diwariskan, dengan catatan penerima waris haruslah memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan. Pelanggaran terhadap persyaratan itu dapat mengakibatkan hak menjadi hapus.

Mencegah spekulasi

Untuk mencegah spekulasi dalam pemilikan properti, perlu dibuat aturan yang membatasi pengalihan properti sebelum jangka waktu tertentu, misalnya lima tahun sejak perolehan properti itu. Jika properti dialihkan sebelum lima tahun, dikenai Pajak Penghasilan dengan persentase sesuai dengan jangka waktu pengalihan properti. Semakin cepat properti dialihkan, semakin tinggi persentase Pajak Penghasilan yang dikenakan.

Perlu dipikirkan juga tentang kemungkinan penyewaan properti oleh pemilik. Jika hal ini dimungkinkan, seyogianya dilakukan melalui perusahaan Indonesia dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Seperti pewarisan dan hibah, terhadap sewa-menyewa juga dikenai pajak. Apakah properti orang asing dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan? Jika hal ini akan diatur, pengalaman Singapura dan Malaysia dapat dijadikan rujukan. Ketika pemilik properti ternyata melanggar ketentuan tentang persyaratan bagi pemilikan properti, hal itu berakibat terhadap hapusnya HP sebelum berakhirnya jangka waktu HP dengan segala konsekuensinya.

Aspek pengawasan belum diatur dalam PP No 41 Tahun 1996. Sampai saat ini masih berlangsung pelanggaran terhadap persyaratan bahwa orang asing hanya dapat memiliki properti di atas tanah HP. Pelanggaran ini dilakukan melalui berbagai tindakan yang sejatinya merupakan penyelundupan hukum melalui konstruksi hukum perjanjiannominee atau perjanjian dengan meminjam nama WNI.

Peraturan yang akan datang harus menegaskan kembali amanat Pasal 26 Ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa perjanjian semacam itu batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya. Seharusnya dipahami bahwa perjanjiannominee itu melanggar syarat obyektif suatu perjanjian karena melanggar Pasal 9, Pasal 21, dan Pasal 26 Ayat (2) UUPA. Terhadap pejabat umum yang memfasilitasi perjanjian semacam itu perlu dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lebih jauh, pemilikan properti oleh orang asing dengan cara penyelundupan hukum dan segala perbuatan hukum terkait hal tersebut berdampak terhadap potensi penerimaan negara dari pajak karena semua perbuatan hukum itu dilakukan secara terselubung. Demikian banyak rambu yang harus ditaati dalam urusan properti untuk orang asing. Dalam rangka pencegahan pelanggaran ketentuan tentang properti ini, barangkali diperlukan keberadaan badan pengawas yang anggotanya terdiri atas instansi terkait di bawah koordinasi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Keadilan korektif

Pelibatan dan peran serta instansi dan pihak-pihak terkait lainnya dalam penyusunan revisi PP No 41 Tahun 1996 sangat diperlukan. Jika saat ini dianggap sebagai momentum yang tepat untuk merevisi PP No 41 Tahun 1996, pada saat yang sama komitmen pemerintah untuk membangun sejuta rumah bagi MBR perlu terus dikawal. Penyediaan rumah itu merupakan tanggung jawab negara untuk memenuhi hak rakyat agar dapat menghuni rumah yang layak dan terjangkau dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan (UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman). Masalah anggaran, ketersediaan lahan, kemudahan perizinan, ketentuan tentang perpajakan, dan lain-lain hambatan untuk pembangunan rumah bagi MBR perlu diatasi melalui kebijakan dan langkah nyata yang terkoordinasi.

Upaya untuk memenuhi kebutuhan tersedianya pengaturan yang akan membuka peluang investasi orang asing atas properti wajib diimbangi dengan menjalankan komitmen pembangunan rumah bagi rakyat agar keadilan dan akses atas rumah bagi setiap orang dapat diwujudkan.

MARIA SW SUMARDJONO, GURU BESAR HUKUM AGRARIA FAKULTAS HUKUM UGM; ANGGOTA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Properti untuk Orang Asing".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger