Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 02 Juli 2015

TAJUK RENCANA: Invasi Gaya Hidup ke Myanmar (Kompas)

Masuknya restoran cepat saji ayam goreng internasional, Kentucky Fried Chicken, ke Myanmar menegaskan, pengaruh Barat ada di mana-mana.

Barangkali, meminjam istilah yang digunakan oleh Kishore Mahbubani, munculnya KFC di Myanmar memberikan pesan kepada kita bahwa Barat sebenarnya membungkus bola dunia ini dengan beberapa lapisan pengaruhnya. Beberapa tahun silam, ketika restoran cepat saji McDonald's muncul di Rusia, disebut sebagai McDonald's telah mengalahkan komunisme. Itu kesimpulan cepat yang diambil.

Sama seperti yang terjadi di Moskwa hampir tiga dasawarsa silam ketika McDonald's buka di ibu kota Rusia itu, tanggapan masyarakat—terutama kaum muda—sangat antusias, di Myanmar pun demikian. Menurut berita yang diturunkan harian ini, kemarin, masyarakat antre untuk bisa membeli dan merasakan makanan asal AS itu.

Sebenarnya, dalam konteks persaingan politik global dan juga persaingan ekonomi global, masuknya KFC di Myanmar lebih kurang berbobot jika dibandingkan dengan masuknya KFC ke Tiongkok, beberapa tahun silam. Juga lebih menarik ceritanya ketika KFC masuk ke India yang kemudian memunculkan serangkaian protes. Pertama, karena dianggap sebagai ancaman terhadap bisnis lokal. Kedua, dianggap sebagai invasi kultural. Ketiga, masalah malnutrisi, dan sebagainya.

Akan tetapi, kalau kita melihatnya dalam konteks persaingan korporasi multinasional, menjadi sangat menarik. Ketika pusat aktivitas ekonomi mulai beralih dari Barat ke Timur, dengan kemunculan raksasa ekonomi di Timur, seperti Tiongkok dan India—tentu lainnya adalah Jepang dan Korea Selatan—masuknya perusahaan multinasional asal AS itu ke Myanmar menjadi punya arti tidak hanya dalam ekonomi, tetapi juga politik.

Memang, yang pertama terdampak dari masuknya KFC ke Myanmar (seperti juga McDonald's di Rusia) adalah dalam hal gaya hidup; gaya hidup kelas menengah. Ini sama halnya ketika pada tahun 1980-an Indonesia dibanjiri film-film Hollywood atau juga makanan AS, yang pertama terdampak adalah gaya hidup kelas menengah, yang menjadi kebarat-baratan.

Sayangnya, perubahan gaya hidup kelas menengah itu tidak serta-merta akan memengaruhi pandangan politik sehingga ujungnya akan mendorong demokratisasi. Sebab, pandangan politik akan lebih dipengaruhi atau bergantung pada pendidikan dan lingkungannya. Kuatnya pengaruh Barat yang tertanam dalam gaya hidup orang-orang Maroko dan Aljazair dan juga Tunisia, apakah mendorong demokrasi hidup dengan subur di negara-negara itu?

Jadi, kalau berharap bahwa "invasi gaya hidup" ke Myanmar akan mendorong demokratisasi, rasanya masih jauh. Sebab, masih banyak pekerjaan rumah yang belum dikerjakan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Invasi Gaya Hidup ke Myanmar".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger