Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 04 Agustus 2015

Etika Sukarela Muhammadiyah untuk Bangsa (ABDUL MUNIR MULKHAN)

Dalam usianya yang memasuki abad kedua, Muhammadiyah terbilang sukses dalam mengembangkan ratusan rumah sakit dan perguruan tinggi, serta ribuan sekolah. Sumber pembiayaan boleh disebut murni swasta dan mandiri.

Aset yang dikelola amal usaha Muhammadiyah (AUM) berupa rumah sakit, perguruan tinggi, dan sekolah di seluruh Nusantara bisa mencapai puluhan triliun rupiah. Pengelolaan AUM secara profesional-namun tanpa sistem penggajian, kecuali pengganti jasa layanan sosial, yang bisa disebut amat rendah jika dibandingkan dengan lembaga modern serupa-ternyata tidak mendorong perilaku korupsi di lingkungan AUM.

Etika sukarela dan kegotongroyongan itulah yang merupakan nilai dasar kemanusiaan yang menjadi kekuatan inti gerakan Muhammadiyah sehingga bisa bertahan hingga satu abad dan terus mengembangkan sayap AUM ke seluruh pelosok Nusantara. Tidak hanya terbatas di komunitas Muslim, bahkan di NTT dan Papua, pengelola dan pengguna jasa AUM adalah warga yang mayoritas beragama selain Islam. Pertanyaan yang kini mengusik setelah memasuki abad keduanya ialah bagaimana atau bisakah gerakan ini Muhammadiyah mengembangkan AUM bagi kepentingan bangsa dan kemanusiaan yang lebih universal.

Kebersamaan

Muhammadiyah, sejak mula didirikan tahun 1912, konsisten berjuang membangun masyarakat Nusantara berbasis pada nilai kebersamaan (taawwun) atau gotong royong dan kesukarelaan. Berdasar kepentingan bersama (jemaah), aktivis dan pengikut gerakan ini mengembangkan AUM. Bentuk-bentuk AUM itu antara lain berupa lembaga pendidikan, rumah sakit dan balai kesehatan, panti asuhan yatim piatu, tempat ibadah (masjid dan mushala), penelitian tentang kehidupan sosial dan privat keseharian menurut syariat, dan dakwah pengembangan masyarakat berbasis jemaah (community development).

Sumber pembiayaan AUM tersebut ditanggung bersama oleh aktivis dan pengikut, baik terdaftar sebagai anggota maupun simpatisan, yang terkonsolidasi melalui jemaah. Tahun 1970-an, Muhammadiyah merumuskan pola kegiatan AUM itu ke dalam gagasan yang waktu itu disebut Gerakan Jemaah dan Dakwah Jemaah. Melalui gagasan tersebut, setiap kelompok aktivis bersama pengikut (baik anggota terdaftar maupun bukan) dikonsolidasikan ke dalam suatu jemaah berdasar tempat tinggal, baik di pedesaan maupun perkotaan. Sasaran utama kegiatan jemaah ialah memecahkan problem sosial ekonomi yang dihadapi anggota jemaah atau masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar tempat tinggal jemaah.

Kelompok jemaah tersebut tidak berada dalam jaringan struktur organisasi, tetapi lebih sebagai kelompok sukarela. Ikatan dengan organisasi, seperti ranting atau cabang Muhammadiyah, diletakkan pada aktivis gerakan yang disebut "inti jemaah". Melalui "inti jemaah" itulah berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat disampaikan kepada pimpinan resmi, tingkat ranting atau cabang, secara konsultatif untuk dicarikan pemecahannya.

Dari sini sering kali muncul gagasan untuk membangun balai kesehatan, rumah sakit, lembaga pendidikan, panti asuhan, atau tempat ibadah, sebagai salah satu solusi problem sosial-ekonomi yang dihadapi warga jemaah atau luar jemaah.

Sumber dana AUM tersebut di atas berasal dari zakat, infak, sedekah, atau wakaf yang diberikan oleh publik secara sukarela. Demikian pula pengelolaan AUM secara profesional oleh aktivis atau pengikut gerakan ini dilakukan secara sukarela. Mereka bukan menerima gaji, melainkan pengganti jasa kemampuan dan waktu yang diwakafkan bagi AUM tersebut. Karena itu, imbalan jasa direktur rumah sakit Muhammadiyah, kepala sekolah, rektor perguruan tinggi Muhammadiyah atau kepala panti sebatas pengganti layanan jasa yang diberikan, bukan berdasar standar gaji seperti dikenal di lembaga pemerintah atau swasta lain. Pengurus AUM atau pimpinan Muhammadiyah yang membawahkan AUM di Muhammadiyah dikenal dengan majelis atau bagian, juga pimpinan gerakan ini sebagai regulator, yang mengangkat rektor, direktur rumah sakit atau kepala sekolah, tidak memperoleh gaji atau pun honorarium.

Melalui tata kelola seperti itu, Muhammadiyah sampai saat ini telah berhasil membangun lebih dari 600 balai kesehatan dan rumah sakit, 180 perguruan tinggi (berikut yang dikelola Aisyiyah), lebih dari 10.000 sekolah tingkat dasar dan menengah (lihat laporan Kompas, 7 Juli 2015, hlm 5). AUM tersebut tersebar dari Papua hingga Aceh. Jumlah mahasiswa masing-masing perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) 1.000 hingga 33.000 mahasiswa.

Universitas Muhammadiyah Makassar, yang menjadi ajang Muktamar 2015, tergolong PTM papan atas dalam hal jumlah mahasiswa yang mencapai lebih dari 30.000 orang. Menyusul Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Universitas Muhammadiyah Malang dengan jumlah mahasiswa di atas 20.000 mahasiswa. Sementara mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Palembang, Jakarta (dua PTM), dan Yogyakarta (dua PTM) berjumlah di atas 15.000 mahasiswa.

Profesional tanpa pamrih

Pengelolaan secara profesional dengan sistem penggajian berbasis kesukarelaan, bukan mencari kekayaan, merupakan basis nilai yang selama ini berhasil memelihara ikatan jemaah taawwuni(kesadaran kolektif kepentingan bersama). Dari sinilah pengelola AUM diseleksi berdasar komitmen pada nilai kesukarelaan tersebut bersama komitmen pada kepentingan bersama. Penggantian layanan jasa, bukan gaji, yang mungkin terbilang rendah jika dibandingkan lembaga serupa, ternyata tidak mendorong pengelola AUM untuk melakukan korupsi.

Sampai hari ini tidak diketemukan kasus korupsi dalam pengelolaan AUM meskipun rektor, direktur, kepala sekolah tersebut bisa dibilang sebagai "raja tanpa mahkota" karena sebagai penguasa tunggal yang bebas mengelola dana yang terkumpul secara sukarela dan gotong royong yang jumlahnya bisa mencapai ratusan miliar rupiah.

Bagi orang luar mungkin terasa aneh, hubungan kerja antara pimpinan Muhammadiyah dan pengelola AUM. Sementara pengelola AUM, sebagai rektor, kepala sekolah, atau direktur rumah sakit menerima imbalan sebagai balasan atas jasa layanan sosialnya, yang mengangkat rektor, kepala sekolah, dan direktur rumah sakit tersebut justru tidak menerima imbalan atau balas jasa dan honorarium.

Sudah sewajarnya jika yang mengangkat rektor, kepala sekolah, dan direktur rumah sakit itu juga menerima imbalan atas jasa layanan sosial yang diberikan. Usulan untuk memberi imbalan bagi pimpinan gerakan itu pernah muncul tahun 1990-an, tetapi justru ditolak secara aklamasi oleh pimpinan yang akan menerima imbalan tersebut. Salah satu pertimbangan yang muncul ialah jika pimpinan gerakan juga menerima imbalan, dana yang terkumpul secara sukarela dan gotong royong itu akan habis tanpa sempat dipergunakan untuk kepentingan pengembangan AUM.

Soalnya kemudian ialah bagaimana memelihara nilai kesukarelaan di tengah gempuran gaya hidup hedonis dan permisif dengan tetap berkomitmen mengembangkan AUM yang berkualitas? Adalah tantangan apakah nilai-nilai etika kesukarelaan dan taawwun bisa terus direproduksi gerakan ini bagi kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan yang lebih besar dan terbuka.

Muncul pertanyaan berikut, mungkinkah gerakan ini mengembangkan pola kerja profesional berbasis etika sukarela (tanpa pamrih) dan kolektivitas taawwunbagi pengelolaan kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan yang lebih plural? Inilah tantangan kebangsaan bagi Muhammadiyah dalam usia abad keduanya.

ABDUL MUNIR MULKHAN

Komisioner Komnas HAM 2007-2012, Wakil Sekjen Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000-2005, Guru Besar Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Etika Sukarela Muhammadiyah untuk Bangsa".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger