Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 04 September 2015

Manajemen Pertahanan Budaya ITO PRAJNA-NUGROHO

Cara pengelolaan konflik yang lebih bersifat post-factum daripada antisipatif tidak menyelesaikan akar konflik. Inilah kesimpulan yang dapat kita katakan jika kita menelusuri sejarah konflik di Indonesia, khususnya sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia sejak 1945.

Post-factum berarti sesudah terjadinya sesuatu, atau sesudah fakta dan peristiwa terjadi. Telah menjadi kebiasaan di Indonesia bahwa semua pihak, termasuk negara, baru sibuk mengatasi konflik setelah konflik itu terjadi. Padahal, setiap konflik selalu menyimpan benih-benih potensinya jauh sebelum konflik itu sendiri terjadi. Cara bagaimana konflik diselesaikan dan diantisipasi menjadi penentu kerekatan bangunan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kerentanan budaya

Akar konflik biasanya diasalkan ke persoalan separatisme dan radikalisme, atau ke tuntutan kesejahteraan dan pemerataan. Semua itu terkait dengan persoalan ekonomi politik.

Meski tentu benar bahwa motif ekonomi meresap di balik hampir tiap konflik, sering dilupakan, akar konflik tak dapat dipisahkan dari konsep pertahanan teritorial dan ketahanan budaya masyarakat. Cara bagaimana manusia memahami dan memaknai diri serta lingkungannya merupakan wujud proses kebudayaan. Proses itu sendiri lebih bersifat eksistensial daripada material dan ekonomistik.

Jika proses pemahaman dan pemaknaan ini menemui jalan buntu di satu titik, maka di situ juga lahir potensi konflik, baik di tingkat individu maupun kolektif sosial. Proses pemahaman yang terpelanting ke tingkat survivalpemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari merupakan salah satu sebab terputusnya proses-proses kebudayaan. Di titik ini ketahanan budaya bergeser menjadi kerentanan budaya.

Kerentanan budaya berdampak langsung pada kohesi sosial masyarakat, yang pada akhirnya menantang langsung keutuhan teritorial Indonesia sebagai negara kesatuan berbentuk republik. Risiko teritorial dan risiko kultural yang dapat muncul dari konflik mengingatkan kita semua bahwa pendekatan antisipatif jauh lebih diperlukan daripada pendekatan post-factum.

Jika kita mencermati tingkat kerawanan konflik di daerah-daerah di Indonesia, pada tingkat struktural dua kementerian negara seharusnya memainkan peran kunci dalam mengatasi serta mengantisipasi persoalan konflik, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Pertahanan. Di tingkat kebijakan negara diperlukan bukan saja konsep-konsep makro perihal pertahanan wilayah dan ketahanan budaya, melainkan pengelolaan di tingkat mikro.

Ini juga berarti kerja sama antar-kementerian, dan terobosan-terobosan program lintas kementerian yang langsung menyentuh masyarakat dan mampu menjadi sarana mediasi serta wadah ekspresi pergulatan-pergulatan eksistensial dan kultural masyarakat, khususnya para pemuda usia produktif. Dalam konteks ini, pertahanan bermakna lebih dari sekadar pameran alat utama sistem persenjataan (alutsista), konferensi-konferensi dan kesiapsiagaan pasukan.

Demikian juga kebudayaan bermakna lebih dari sekadar program pergelaran budaya, pekan budaya, dan pertunjukan-pertunjukan yang bersifat selebrasi. Meski tentu saja acara Pekan Budaya Nasional yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 5-10 Agustus di Semarang, layak diacungi jempol.

Pada 2013 hingga 2014, Ditjen Kebudayaan melalui Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya pernah secara intensif menyelenggarakan program internalisasi nilai damai di wilayah-wilayah rentan konflik. Sebagai suatu program budaya, internalisasi nilai yang terselenggara secara struktural adalah terobosan berarti. Penulis ikut terlibat dalam penulisan buku panduan program tersebut yang berjudul Indonesia Berkarakter. Sungguh disayangkan, dampak program tersebut selesai setelah program juga dinyatakan selesai.

Pada 26 Maret 2012, Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu mengutarakan gagasan terobosan mengenai "karakter negara" di hadapan Senat Akademik Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Konsep karakter yang ketika itu diutarakan Menteri Pertahanan saat ini adalah konsep moral budaya yang mengacu pada cara bagaimana negara berperilaku di dalam menjamin keamanan dan kepercayaan masyarakat yang dilindunginya. Meski demikian, sebagai Menteri Pertahanan, kita belum melihat bagaimana konsep kebudayaan yang pernah dengan bagus diutarakan Ryamizard Ryacudu itu diterapkan.

Buang ego sektoral

Dalam segala sektor, masyarakat perlu program-program terobosan lintas kementerian yang hanya dapat terjadi jika masing-masing kementerian melepaskan ego sektoralnya. Dalam persoalan konflik yang akan terus dihadapi Indonesia, antisipasi diperlukan jauh lebih mendesak daripada bertindak setelah konflik terjadi. Ini juga berarti negara menyadari kebudayaan menjadi kunci pertahanan teritorial, dan pertahanan teritorial niscaya melibatkan unsur-unsur budaya.

Terobosan lintas kementerian dan koordinasi antar-kementerian menjadi kunci efektivitas program pemerintah dalam mengantisipasi konflik. Dalam konteks keutuhan NKRI kita perlu selalu mengingat bahwa retaknya suatu bangsa tidak berasal dari bangsa lain, melainkan bersumber dari dalam bangsa itu sendiri. Maka, tentunya kita semua sadar bahwa terlalu besar risiko yang harus ditanggung akibat tetes air mata dan darah yang tertumpah dari konflik yang pernah terjadi dan akan terjadi di bumi Nusantara.

ITO PRAJNA-NUGROHO, PENGAJAR PADA PROGRAM STUDI FILSAFAT RESOLUSI KONFLIK DI UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Manajemen Pertahanan Budaya".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger