Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 16 September 2015

Polemik Proyek 35.000 MW (NENGAH SUDJA)

Opini Liek Wilardjo di Kompas (11/9/) diawali pernyataan: "Ekonom yang baru saja menjadi Menko Kemaritiman Rizal Ramli menilai target pembangunan pembangkit tenaga listrik 35.000 MW terlalu ambisius untuk diselesaikan 2019. Apalagi kalau ditambah 'tunggakan' 7 GWe yang tidak dapat dirampungkan pemerintahan Presiden SBY".

Ditambahkan pula dalam artikel itu bahwa pandangan seperti itu sudah pernah saya kemukakan sebelum megaproyek ini dicanangkan Presiden Joko Widodo. Kalaupun dari segi dana, pembebasan lahan, amdal, dan perizinan tidak ada masalah, waktunya jelas tidak cukup.

Kuantifikasi jadwal waktu pembangunan merupakan masalah rutin yang dilakukan para pengembang proyek, baik PLN maupun swasta (IPP). Tujuannya, agar perencanaan tahapan proyek dapat dirancang sehingga proyek dapat diselesaikan sesuai target. Sayangnya, dalam hal proyek 35.000 MW, para pengembang proyek terkesan segan dan takut berterus terang bahwa membangun dalam jumlah sebanyak itu dalam waktu lima tahun sukar terpenuhi. Selain menghadapi masalah teknis pembangunan, bangsa ini juga terperangkap dalam masalah budaya, yaitu tidak berani berbeda pendapat dengan pimpinan. Apa yang dikatakan pimpinan dianggap benar dan tidak bisa dibantah.

Dalam hal pembangunan kelistrikan, para insinyur yang seharusnya piawai berhitung ditaklukkan para politisi. Contohnya bisa dilihat dari proyek 10.000 MW tahap I, 10.000 MW tahap II, dan kini proyek 35.000 MW. Persoalan mental budaya inilah yang perlu diperbaiki kalau bangsa ini ingin maju. Selain masalah jadwal penyelesaian proyek, penting juga dibahas berapa besar sebenarnya kebutuhan listrik ke depan. Apakah benar kita butuh 35.000 MW untuk periode 2015-2019 dan 70.400 MW untuk 2015-2024 seperti dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPT)? Apakah besaran ini dapat didiskusikan kembali di depan publik sebagai jawaban atas kritik Rizal Ramli?

Angka riil kebutuhan

Sesuai paparan target pembangunanpembangkit listrik 35.000 MW yang disampaikan Kementerian ESDM dalam sebuah forum diskusi di BPPT (2/9), daya terpasang pada 2015 sebesar 53.535 MW dan pertumbuhan listrik rata-rata 8,7 persen per tahun periode 2015-2019. Sementara statistik PLN 2014 menyatakan, beban puncak mencapai 33.321 MW. Ini berarti rasio daya terpasang terhadap beban puncak 1,61. Jika dipakai rasio cadangan cukup andal sebesar 1,30, berarti awal 2015 terjadi kelebihan pasokan (oversupply) 31 persen.

Dari uraian Kementerian ESDM tersebut dapat dihitung kebutuhan daya terpasang dengan menghitung perkiraan beban puncak pada 2019 dengan mengacu pada pertumbuhan 8,7 persen per tahun, akan menjadi sebesar: (1+0,087)x 33.321 MW = 50.567 MW. Jika dipakai besar cadangan andal 30 persen, kapasitas daya yang diperlukan: 1,30 x 50.567 MW = 65.737 MW. Jika daya terpasangtersedia 2019 tetap 53.535 MW, tambahan kapasitas daya yang diperlukan 2015-2019: 65.737 MW - 53.535 MW = 12.202 MW.

Dari perhitungan itu, kebutuhandaya terpasang 2015-2019 cukup 12.202 MW untuk mendukung tingkat pertumbuhan rata-rata 8,7 persen per tahun. Jadi, bukan 35.000 MW ataupun 35.000 MW + 7.400 MW. Tambahan kapasitas 12.202 MW diperkirakan dapat ditalangi dari rencana pembangunan proyek dalam tahap konstruksi sebesar 7.400 MW. Dengan demikian, akan ada kekurangan daya 12.202 MW - 7.400 MW = 4.802 MW. Menurut Menko Kemaritiman Rizal Ramli, yang dapat dibangun pada 2015-2019 sebesar 16.000 MW. Jika ini dapat diwujudkan, akan ada kelebihan pasokan 16.000 MW - 12.202 MW = 3.798 MW. Kalau begitu cukup bagus, ada kelebihan cadangan, tetapi tidak terlampau besar.

Jika analisis dilanjutkan untukkurun waktu RUPTL 2015-2024, akan diperolehbeban puncak pada 2024: (1+0,087)10 x 33.321 MW = 76.739 MW. Jika dipakai besar cadangan 30 persen, kapasitas daya yang diperlukan 1,30 x 76.739 MW = 99.760 MW. Jika daya terpasang yang tersedia pada 2019 tetap 53.535 MW (2015), tambahan kapasitas daya yang diperlukan selama 2015-2024 sebesar 99.760 MW - 53.535 MW = 46.225 MW. Jadi, bukan 70.400 MW dan jadwal pembangunannya bisa lebih cepat.

Ada baiknya analisis di atas dipertimbangkan, apa ada kesalahan perhitungan, terutama apakah memang daya terpasang53.535 MW pada awal 2015 akan berkurang pada akhir 2019 dan 2024 karena pembangkit yang ada akan menua dan tidak andal lagi. Jika kapasitas pembangkit berkurang, berapa besar jumlahnya? PLN dan IPP sebagai pemilik serta pemerintahsebagai badan pengawas tentu mengetahui data ini secara lebih pasti.

Perlu diperhatikan dua risiko/bahaya perencanaan sistem. Pertama,oversupply, merencanakan pembangkit terlalu besar, berkelebihan 30 persen di atas beban puncak, akan mengakibatkan investasi berlebihan, utang besar, pendapatan kurang, arus kas keuangan terganggu, menyebabkan kerugian finansial. Kedua, undersupply, merencanakan terlalu kecil, kurang dari 30 persen beban puncak, mengakibatkan kekurangan pasokan, bahkan pemadaman listrik yang mengganggu pertumbuhan ekonomi, sosial, ketidaknyamanan pelanggan. Bahayaoversupply ataupun undersupply tidak saja dari segi pembangkitan, tetapi juga penyaluran, transmisi, dan distribusi. Kebutuhan saluran transmisi 46.597 kilometer periode 2015-2019, atau 9.320 km per tahun, atau 25,53 km per hari. Berapa banyak kontraktor diperlukan untuk merampungkan proyek transmisi pada waktunya?

Terjadi kelebihan pasokan?

Pada awal 2015, dengan beban puncak 33.321 MW dan kapasitas daya terpasang 53.535 MW, ada indikasi kelebihan pasokan. Namun, kenyataannya, akhir-akhir ini terjadi pemadaman listrik di banyak wilayah di Tanah Air. Apakah ada kesalahan alokasi daya terpasang? Sistem pembangkitan Jawa-Bali aman, tetapi di luar Jawa pemadaman masih terus terjadi. Kiranya terkait masalahoversupply dan undersupply alokasi pembangkitan ini perlu ada penjelasan dan pertanggungjawaban kepada publik.

Selain itu, perlu catatan mengenai pertumbuhan 8,7 persen per tahun selama periode 2015-2019. Jika dipakai elastisitas pertumbuhan listrik terhadap ekonomi 1,3, berarti pertumbuhan ekonomi (PDB) sebesar 8,7/1,3 = 6,9 persen per tahun. Menurut Bank Pembangunan Asia, tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,5 persen dan 2016 sebesar 6,0 persen. Ini berarti jika dipakai pertumbuhan ekonomi 6 persen/tahun dan elastisitas 1,3, pertumbuhan listrik 1,3 x 6 persen = 7,8 persen/tahun, lebih kecil dari pertumbuhan 8,7 persen yang dipakai pemerintah. Jika dipakai pertumbuhan listrik lebih rendah, kebutuhan penambahan kapasitas daya terpasang tentu akan lebih rendah.

Pernyataan bahwa listrik Indonesia tertinggal jauh dari negara lain perlu diwaspadai mengingat PDB Indonesia juga tertinggal. Menurut World Bank Indicator2011, besaran pemakaian listrik Indonesia 680 kWh dan PDB 3.470 dollar AS/kapita. Bandingkan dengan Singapura (8.404 kWh dan 52.871 dollar AS/kapita, Malaysia (4.246 kWh dan 10.068 dollar AS/kapita), dan Thailand (2.316 kWh dan 5.192 dollar AS/kapita). Indonesia masih lebih baik dari Filipina (647 kWh dan 2.358 dollar AS/kapita), tetapi kalah dari Vietnam (1.073 kWh meski PDB lebih rendah, 1.543 dollar AS/kapita). Kalau PDB Indonesia naik, pemakaian listrik akan naik pula. Jangan dipaksakan.

Liek Wilardjo benar, pemanfaatan energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan akan mempercepat upaya penyediaan pasokan listrik di Tanah Air. Energi angin, energi surya, perlu waktu 1-1,5 tahun untuk pembangunan, lebih cepat dibandingkan PLTU batubara yang perlu empat tahun. Untuk PLTN lebih lama, rata-rata 5-10 tahun. Biaya pembangkitan listrik angin 6 sen dollar AS/kWh, feed in tariffsurya di Jerman 2015 adalah 10 sen dollar AS/kWh. Biaya listrik energi terbarukan ini masih lebih murah daripada biaya produksi listrik PLTN berdasarkan studi kelayakan PLTN Bangka, yaitu 12 sen dollar AS/kWh, dua kali lebih mahal dari PLTU batubara (6 sen dollar AS/kWh).

NENGAH SUDJA, KEPALA LMK LITBANG PLN 1993

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Polemik Proyek 35.000 MW".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger