Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 28 September 2015

TAJUK RENCANA: Urun Usul RUU Kebudayaan (Kompas)

Undang-Undang Kebudayaan yang melindungi dan mengembangkan karya dan cipta bangsa demi mencapai peradaban adalah keniscayaan.

Unsur yang membentuk peradaban itu adalah kebijakan, pengetahuan, dan keindahan. Pernyataan doktriner kita kemukakan ketika kita terjebak dalam wacana perlu tidaknya semua hasil budaya dilestarikan. Dua pasal tambahan draf Rancangan UU Kebudayaan menyangkut rokok kretek memunculkan pro-kontra, perlu diacu pada doktrin pengembangan bangsa berkeadaban. Ketika cara berpikirnya adalah semua karya dan cipta sebagai hasil berbudaya, apa pun bisa dimasukkan. Akan tetapi, ketika cara berpikir dilandasi sikap futuristik, dalam artian sebagai bangsa modern dan beradab, tidak semua hasil budaya harus dimasukkan.

Dengan cara pikir pertama, rokok kretek, carok, amok (satu-satunya kosakata asli Indonesia yang masuk dalam lema kamus Webster internasional), tempe, berikut segala yang serba khas dan asli perlu dimasukkan. Dengan mindset lebih futuristik, hasil budaya itu perlu diseleksi. Oleh karena itu, pencantuman pasal rokok kretek dalam draf masuk akal memicu wacana yang berpangkal pada cara berpikir yang intinya tidak semua hasil budaya harus dilestarikan dan dikembangkan demi pengembangan satu bangsa yang modern dan beradab.

Dua pasal tambahan kretek, dari semula 98 menjadi 100 pasal, berkembang dari 95 pasal sejak disampaikan tahun 2007, mungkin hanya sisipan kecil. Namun, andaikan sisipan ini lolos di tingkat persetujuan legislatif sebelum disahkan pemerintah, apalagi ditetapkan pemerintah sebagai undang-undang, dampak ikutannya besar, termasuk bertabrakan dengan kewajiban pemerintah menurunkan jumlah perokok, terutama anak muda dan remaja.

Berbagai "kelebihan" yang disandang industri rokok kretek dibiarkan bertabrakan dengan dampak negatifnya. Selain dengan produk UU lain, juga dengan tidak sebandingnya biaya yang dikeluarkan konsumen rokok/pemerintah dengan pendapatan dari cukai tembakau. Salah satu data penelitian menyebutkan, 60 persen dari seluruh penduduk Indonesia perokok aktif dan 97 juta lainnya perokok pasif. Kontribusi cukai dari pabrik rokok sekitar Rp 70 triliun, jauh lebih kecil dari biaya pasien karena dampak rokok sebesar Rp 378,7 triliun. Penelitian itu juga menambahkan, sebagian besar perokok adalah penduduk miskin.

Sebagai urun usul, catatan ini imbauan imperatif—ajakan yang sebaiknya dilakukan. Pertama, tempatkan tinggi-tinggi unsur yang membentuk peradaban (hasil budaya), seperti kebijakan, pengetahuan, dan keindahan, sekaligus kembangkan kebudayaan demi mencapai peradaban. Kedua, tempatkan kepentingan sebagian besar masyarakat sebagai batu penjuru, dan bukan kepentingan sepihak, apalagi kepentingan politik sempit-praktis. Ketiga, coret dua pasal rokok kretek itu dari draf akhir DPR sebelum dibahas bersama pemerintah.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Urun Usul RUU Kebudayaan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger