Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 28 September 2015

Membangun Bangsa Berperadaban (TOTOK AMIN SOEFIJANTO)

Pengalaman setiap bangsa berbeda. Ada yang tanpa susah payah, banyak yang berdarah-darah. Semua itu memengaruhi cara sebuah bangsa membangun dirinya. Republik Indonesia yang baru saja merayakan 70 tahun kemerdekaannya, tak terkecuali, telah menjalani masa sulit dan penuh konflik.

Bangsa dengan beragam suku yang menyebar di banyak pulau besar-kecil ini memang secara alamiah memiliki potensi untuk berbeda sikap dari satu kelompok ke kelompok lain. Bahkan antara desa yang berbatasan bisa mengalami perbedaan yang tajam.

Dari berbagai pengalaman yang pernah terjadi di bangsa-bangsa lain, kita sepatutnya belajar tentang cara membangun dari perbedaan tersebut. Tidak salah kalau Pasi Sahlberg, penulis buku The Finnish Lesson, menyarankan para elite bangsa kita untuk mempelajari sejarah sendiri dengan lebih baik.

Pemahaman sejarah

Pendidikan dimulai dari memahami sejarah masing-masing.Finlandia memang contoh sukses sistem pendidikan di dunia, tetapi tidak serta-merta sistem itu dapat diterapkan di negara lain, termasuk Indonesia. Bukan karena mereka merekrut guru yang sudah S-2 dan ada dalam peringkat 10 terbaik di tingkat S-1. Bukan pula karena guru mereka diberi gaji dan fasilitas yang sangat baik setara dengan profesi bankir dan pengacara.

Bukan pula karena guru mereka dididik di lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang menekankan keahlian riset, penerapan teori ke praktik, dan secara profesional mendalami teori kurikulum, psikologi, sosiologi, pengetahuan didaktik dan pedagogik, pendidikan anak berkebutuhan khusus, pemahaman tentang anak didik secara mendalam (Getahun Yacob Abraham, 2012). Semua itu memang penting, tetapi semua itu dikuasai dalam konteks "tidak melupakan sejarah" bangsa Finlandia.

Persoalannya, cara bangsa kita memahami sejarah terlalu dangkal. Kita melihat sejarah seperti membuka lembaran lontar dengan aksara Sanskerta. Kita mungkin dapat membacanya, tetapi tidak paham isinya, apalagi esensinya. Sikap ini menurun dari satu generasi ke berikutnya, dalam bentuk pelajaran, dalam bentuk hafalan tahun dan nama tempat atau orang. Sebagai contoh, kita semua paham, Perang Diponegoro terjadi 1825-1830. Tahukah kita bagaimana kisah heroik dan dramatis seputar perang yang paling populer di Indonesia tersebut?

Seharusnya kita sebagai bangsa dapat menarik banyak nilai yang bagus dari perang tersebut, sama seperti bangsa Amerika menarik pelajaran dari Perang Gettysburg dalam Civil War tahun 1865, misalnya. Perang saudara yang tadinya diperkirakan singkat dan sekadar gertak sambal itu berlarut, brutal, berdarah, dan menyeret ekonomi nasional ke titik terendah. Salah satu pelajaran penting dari perang yang menelan 500.000 korban jiwa itu adalah kebebasan itu sangat berharga. Oleh sebab itu, kebebasan menjadi nilai penting buat bangsa Amerika sehingga mereka dengan kerelaan yang sangat besar akan berusaha mempertahankan dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam membangun tatanan hukum positifnya.

Konsep kebebasan mungkin terlalu mewah untuk dipahami. Konsep menghormati lampu merah mungkin lebih mudah dimengerti. Seperti cerita tentang seorang pejabat Indonesia yang pada suatu dini hari mendarat di sebuah negara Skandinavia. Sesaat menjelang masuk ke pelataran hotel, taksi berhenti dengan takzim menghormati lampu merah. Tinggal beberapa langkah saja dan dini hari yang dingin itu sangat kecil kemungkinan ada kendaraan lain. Sang pejabat dengan agak kesal menyarankan untuk menerobos saja lampu merah tersebut. Apa jawaban si sopir taksi? Dia jawab, "Kalau saya menerobos lampu merah itu, berarti saya membuang begitu saja nilai-nilai yang diajarkan sejak ratusan tahun yang lalu".

Presiden pertama RI Soekarno dengan segala kekurangan dan kelebihannya sebagai pemimpin bangsa selalu mengingatkan kita agar tidak melupakan sejarah. Akan lebih heroik lagi kalau rakyat mampu menghayati petuah sang "Putra Fajar" dengan menumbuhkan nilai-nilai baik dari nenek moyang kita dahulu dan memendam nilai-nilai buruk yang pernah ada. Tidak mungkin sebuah bangsa berisi nilai-nilai baik saja. Ada yang buruk juga, seperti disinyalir Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia itu munafik dan percaya takhayul.

Koentjoroningrat menunjukkan nilai baik masyarakat Indonesia dalam hal gotong royong, tahan menderita untuk mencapai kebahagiaan di akhirnya, dan menghormati orang yang lebih tua. Tidakkah kita mampu menumbuhkan peradaban bangsa yang berangkat dari nilai-nilai baik itu? Rasanya memang sudah kadung parah, tetapi kita harus tetap optimistis.

Sekarang, sebagian masyarakat kita masih menerobos lampu merah di persimpangan, tidak bisa antre dengan baik, dan tidak menghormati waktu. Suka atau tidak, kita mesti memperbaiki "kerusakan" peradaban tersebut dengan pendidikan. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mencanangkan akan menerapkan revolusi mental dalam pembangunan nasional, bukan hanya jargon kampanye. Dalam Pra-Musrenbangnas, April 2015, revolusi mental dilaksanakan melalui internalisasi "nilai-nilai esensial", seperti etos kemajuan, etika kerja, motivasi berprestasi, disiplin, taat hukum dan aturan, berpandangan optimistis, produktif-inovatif, adaptif, kerja sama dan gotong royong, serta berorientasi pada kebajikan publik dan kemaslahatan umum. Penanaman nilai-nilai ini dilakukan tidak hanya ke perorangan, tetapi juga keluarga, institusi sosial, masyarakat, dan lembaga negara.

Upaya kita membangun karakter sebenarnya sudah dimulai sejak balita, seperti PAUD dan TK. Setidaknya ada tiga kementerian yang terlibat dalam "proyek" raksasa merombak cara berpikir rakyat secara kolosal ini: Kemdikbud, Kemenag, dan Kemristekdikti. Peningkatan mutu layanan pendidikan di SD, SMP, dan SMA, termasuk madrasah, dilakukan seiring dengan program wajib belajar 12 tahun dengan fokus ke akses dan mutu.

Keterlibatan orangtua yang lebih aktif sangat penting. Menurut riset terbaru, proses kimia tiga tahun pertama di bagian otak adalah yang terpenting, yaitu aksis fungsi hypothalamic-pituitary-adrenal. Di sinilah sebenarnya persiapan si anak menyerap kompetensi baru dan nilai-nilai dasar pembentukan karakter.Paul Tough (dalam buku How Children Succeed, 2012) berspekulasi, karakter anak terbentuk mulai dari usia tersebut sehingga orangtua atau orang dewasa di sekitar anak harus menjaga benar jangan sampai si anak mengalami trauma fisik dan mental di saat pertumbuhan tersebut.

Belajar dari kegagalan

Selain aspek proteksi, si anak juga harus mendapatkan kasih sayang yang cukup, tidak berlebihan. Eksperimen terhadap tikus menunjukkan bahwa ibu yang terus menjilat dan melindungi si anak justru membuat si anak tidak memiliki karakter dan daya juang yang kuat. Justru ibu yang sesekali saja menjilat anaknya, terutama di saat paling stres, yang akan membentuk anak memiliki karakter kuat. Penting bagi setiap anak untuk menghadapi dan belajar dari kegagalan.

Kegagalan ada di sekitar kita. Anak-anak kita sebenarnya terbiasa dengan kegagalan. Hal itu baik dari sisi pembelajaran. Mereka berpengalaman dengan kekecewaan saat gagal meraih sesuatu. Peran guru atau dosen dalam situasi ini sangat besar, terutama dalam melatih si anak didik dalam mengambil sikap positif, optimistis, dan belajar dari hikmah pengalaman tersebut. Inilah yang sering disebut banyak pakar pendidikan dunia: bahwa sejarah setiap bangsa menjadi sumber rujukan untuk konsep pendidikan yang terbaik.

Indonesia berbeda dari negara lain dalam memandang sejarah. Ada yang bilang, kita cenderung "mengubur" masa lalu yang menyakitkan. Ingat pepatah Jawa: mikul dhuwur, mendhem jero(menjunjung tinggi hal-hal yang baik, memendam dalam-dalam hal-hal buruk, terutama menyangkut seorang tokoh bangsa). Padahal, masa lalu yang buruk itu dapat menjadi pelajaran berharga agar tidak diulangi.

Sejarah baik atau buruk yang dinarasi ulang dengan sistematis dan ilmiah akan menghasilkan pencerahan bagi generasi muda. Bung Karno malah mengatakan, jangan sekali-kali kita melupakan sejarah ("jas merah"). Dari dua saran tersebut—satu enggan, yang lain antusias—kita dapat mengambil jalan tengah. Kita dapat membangun peradaban bangsa menjadi besar melalui pendidikan anak usia dini, keterlibatan orangtua, dan "membaca" sejarah dengan ilmiah dan obyektif. Lebih menarik lagi, kita sudah mencanangkan revolusi mental sebagai napas utama pembangunan nasional.

Semua pihak (semestinya) sudah siap. Anggaran sudah tersedia. Ibarat perahu layar, angin sudah bertiup, layar sudah terkembang; pantang kita mengurungkan niat. Kalaupun ada kegagalan, kita dapat belajar darinya untuk menjadi bangsa yang berkepribadian kuat. Indonesia yang belajar dari sejarahnya akan menjadi kekuatan dunia yang berperadaban.

TOTOK AMIN SOEFIJANTO, DEPUTI REKTOR BIDANG AKADEMIK, RISET, DAN KEMAHASISWAAN UNIVERSITAS PARAMADINA, JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Membangun Bangsa Berperadaban".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger