Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 07 September 2015

Wartawan Asing (ATMAKUSUMAH)

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dikabarkan pernah menuduh para wartawan asing yang melakukan peliputan jurnalistik di Indonesia bertugas sebagai mata-mata bagi negeri mereka masing-masing.

Ketika membaca laporan tentang hal ini, saya teringat pada kekesalan Bob Simon, wartawan CBS News dari Amerika Serikat, ketika ditahan di Irak pada masa pemerintahan otoriter Presiden Saddam Hussein tahun 1991. Ia dituduh sebagai mata-mata yang berpura-pura melakukan kegiatan jurnalistik.

"Saya katakan kepada para petugas interogasi Irak, 'Saya bukan mata-mata. Saya wartawan. Sudah 25 tahun saya bekerja untuk CBS News'."

"Tetapi, kata para petugas interogasi itu, 'Itu bisa saja hanya pura-pura untuk berlindung'."

"Dan tanpa pikir panjang, saya langsung menjawab secara naluriah, 'Bekerja sebagai wartawan bukan pura-pura. Ini sudah menjadi kehidupan saya'."

Pers tak kenal perbatasan

Bagi para penguasa, memang tak selalu mudah memahami idealisme profesi pers sebagai penyalur informasi dan pendapat bagi publik di mana pun berada tanpa batas geografis dan batas waktu. Tujuannya hanyalah agar masyarakat seluas mungkin memperoleh pencerahan sehingga tidak berpikiran sempit dan dapat memperbaiki kehidupannya. Sementara bagi para pejabat pemerintah—di mana pun—informasi dan pendapat itu diharapkan dapat jadi pertimbangan untuk menetapkan putusan kebijakan yang lebih tepat.

Benar seperti dikatakan dalam tajuk rencana The Jakarta Post edisi 28 Agustus: "Pers tidak mengenal perbatasan. Wartawan lokal dan wartawan asing melakukan pekerjaan yang sama—yang memastikan bahwa hak untuk tahu bagi publik dipenuhi. Para wartawan itu terikat pada kode etik yang sama. Perbedaan mereka hanyalah kebangsaan masing-masing".

Wartawan profesional, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, memahami beratnya sanksi moral dalam tugas pers jika, misalnya, menyebarkan berita rekayasa untuk kepentingan pihak tertentu. Katakanlah jika wartawan itu menjadi mata-mata—yang dapat menyebabkan narasumber dan subyek beritanya, atau keluarga mereka, terancam jiwanya—sanksi bagi wartawan itu adalah melepaskan profesi pers untuk seumur hidup tanpa berpeluang untuk memperoleh pengampunan.

Kementerian Dalam Negeri rupanya semula sudah membuat surat edaran yang mewajibkan wartawan asing, termasuk awak televisi, yang meliput di Indonesia meminta izin dari pemerintah daerah. Mereka juga diwajibkan melaporkan rincian tugas peliputan itu kepada Badan Intelijen Negara.

Aturan baru itu diumumkan oleh Soedarmo—Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri—pada 26 Agustus lalu. Namun, Menteri Dalam Negeri segera membatalkan surat edaran itu esok harinya.

Akan tetapi, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 49/2010 yang jadi dasar bagi penyusunan surat edaran ini masih berlaku. Peraturan itu tentang pedoman pemantauan orang asing dan organisasi masyarakat asing di daerah, meliputi, antara lain, wartawan dan shooting film asing. Peraturan ini ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada 22 September 2010.

Selain itu, Kementerian Luar Negeri kelihatannya masih ingin mengutak-atik peraturan baru bagi para wartawan asing yang berkunjung ke negeri ini. Jadi, perjalanan keterbatasan peliputan jurnalistik bagi pers internasional di Indonesia agaknya masih cukup panjang.

Sikap para pejabat Kementerian Dalam Negeri yang ingin membatasi arus informasi dari daerah—dengan membuat peraturan yang mempersulit peliputan jurnalistik oleh pers asing—mirip dengan alam pikiran para penyusun UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Salah satu pasal UU ITE adalah menyediakan hukuman badan atau penjara maksimal 6 tahun untuk pencemaran nama baik sehingga warga kita enggan mengutarakan pendapat dan ekspresi yang kritis dalam media online.

Alam pikiran konservatif

Alam pikiran konservatif ini juga sama miripnya dengan pandangan para perancang revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang kini sudah berada di DPR untuk dibahas dan disepakati. Dibandingkan dengan KUHP yang berlaku sekarang, revisi KUHP ini mengandung lebih banyak pasal yang represif bagi kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat serta kebebasan pers. Hukuman penjara bagi pelanggaran pasal-pasal itu malahan jauh lebih berat daripada KUHP peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda hampir 100 tahun silam dan kini masih berlaku.

Padahal, sekarang sudah semakin banyak negara di dunia yang menghapus hukuman badan dari pasal-pasal yang menghambat kebebasan pers, menyatakan pendapat, dan berekspresi. Dengan kata lain, ada kecenderungan dunia untuk menghapus pasal-pasal itu dari hukum pidana walaupun masih dipertahankan dalam hukum perdata dengan sanksi hukum ganti rugi.

Malahan sejumlah negara sudah pula mempertimbangkan pemberlakuan ganti rugi proporsional yang disesuaikan dengan kemampuan terhukum, baik perseorangan maupun lembaga atau perusahaan. Tujuannya adalah agar terhukum tidak mengalami kesulitan dalam kehidupan ekonominya dan bidang usahanya tidak bangkrut.

Lebih-lebih lagi agar masyarakat tidak menjadi warga yang takut untuk mengemukakan pendapat dan berekspresi. Takut berekspresi dan takut menyatakan pendapat dapat berakibat timbulnya rasa takut untuk berkarya jurnalistik, berkarya seni, dan berkarya intelektual—termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Jika ini terjadi, tentulah akan sangat mengganggu dan bahkan sangat menghambat kemajuan suatu bangsa.

Salah satu contoh di negara lain tentang upaya memajukan reformasi hukum berlangsung di Timor Lorosa'e atau Timor Leste, yang pernah dikuasai oleh Indonesia sebagai Provinsi Timor Timur. Pada waktu masih berada dalam Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur (UNTAET), berlaku Perintah Eksekutif tentang Pencabutan Status Pidana Tindak Pencemaran Nama Baik (Executive Order on the Decriminalization of Defamation) sejak 7 September 2000.

Perintah Eksekutif UNTAET itu menyatakan, "Perbuatan yang dirumuskan dalam Bab XVI (Penghinaan) KUHP Indonesia, yang terdiri atas pasal-pasal 310 sampai 321, bersifat bukan-tindak-pidana di Timor Timur.... Orang yang merasa nama baiknya dicemarkan hanya dapat mengajukan gugatan perdata dan hanya sejauh tuntutan ganti rugi atau perbaikan-perbaikan lain yang kelak ditentukan dalam Peraturan UNTAET".

Di Timor Leste pula, ketika KUHP Indonesia masih digunakan di negeri itu, tiga pasal KUHP tentang penghinaan terhadap presiden dinyatakan tak berlaku, tiga tahun sebelum ketentuan yang sama diputuskan di Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2006. Di Indonesia, ketiga pasal itu (134, 136, dan 137) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena pasal tersebut menghambat hak kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan dan tulisan serta hak berekspresi.

ATMAKUSUMAH,

PENGAJAR LEMBAGA PERS DR SOETOMO; MANTAN KETUA DEWAN PERS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2015, di halaman 7 dengan judul "Wartawan Asing".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger