Sebanyak 4.500 calon pembina nasional dari 45 kabupaten/kota telah disasarkan dengan banderol total Rp 45 miliar.
Selain tanpa berdasarkan UU, tujuan bela negara juga terlalu umum, yaitu membentuk warga negara yang setia dan siap berkorban bagi bangsa dan negara. Maka, sangatlah penting untuk membandingkan kehendak bela negara dengan pembelaan hak asasi manusia (HAM). Lagi pula, situasi politik telah berubah dan kediktatoran militer Soeharto telah berakhir.
Asal-usul bela negara di Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 mengawali peralihan dari rezim fasisme-militerisme Jepang dan warisan birokrasi kolonial Hindia Belanda ke negara pasca kolonial bernama Republik Indonesia. UUD 1945 diberlakukan dan presiden membentuk kabinet. Hukum pidana dan perdata serta lembaga penegak hukum dan kehakiman warisan kolonial pun diadopsi.
Masuk kembalinya pasukan tentara Belanda yang membonceng Sekutu pasca Perang Dunia II diiringi munculnya perlawanan berbagai kelompok di Indonesia yang berjuang mempertahankan kemerdekaan atau kedaulatan RI selama 1945-1949. Dalam situasi inilah sikap dan perilaku bela negara menjadi konkret dan tak sedikit yang gugur di medan pertempuran.
Pada awal 1960-an, Soekarno pernah menggelembungkan patriotisme dan nasionalisme dengan jargon "ganyang Malaysia" dan anti neokolonialisme. Setelah itu, giliran Jenderal Soeharto yang memerintah dan membentuk kediktatoran militer dalam negara Orde Baru. Namun, bela negara diabdikan untuk kepentingan rezim militer dan kroni-kroni bisnisnya.
Bercokolnya kepentingan itu tidak saja membentuk identitas negara yang korup, juga pelanggar HAM dan sebagian mereka terlibat dalam kejahatan perang dengan TNI dapat sorotan paling buruk. Secara politik, rezim militernya selalu memberikan kemenangan mutlak kepada Golkar setiap pemilu dan tambahan jatah TNI/Polri 100 kursi DPR. Dan, berkali-kali tanpa batasan, Soeharto menjabat presiden.
Reformasi dan HAM
Berhentinya Soeharto sebagai presiden pada 1998 juga mengakhiri rezim militernya. Reformasi politik menandai upaya membentuk negara demokratis, seperti pemisahan kekuasaan pemerintah dari parlemen dan kehakiman. Tak ada lagi supremasi militer, tetapi bergerak ke supremasi sipil. TNI pun dikembalikan pada tugas dan fungsi pertahanan.
Jika sebelumnya TNI dominan dalam politik ataupun terlibat berbagai bisnis tak kompetitif dan pemungut upeti, reformasi mendorongnya ke arah tentara profesional. TNI diharapkan tak lagi jadi pengabdi pada penguasa yang korup dan pelanggar HAM, tetapi tentara yang dapat melindungi sumber-sumber kekayaan negara dan menghormati hak-hak setiap orang.
Tak gampang TNI melepas kepentingan masa lalu yang berakar di bawah Orde Baru, tetapi tantangan sebagai tentara yang profesional juga telah menjadi bagian reformasi yang harus dijalankan. Kepentingan politik telah dilepasnya. Setelah mereka pensiun dari dinas militer, terbuka masuk partai-partai politik.
Begitu juga dalam kaitannya dengan HAM. Reformasi TNI telah mengurangi keterlibatannya atas dugaan pelanggaran HAM, kecuali beberapa insiden di Papua dan daerah lain dalam sengketa lahan. Relasi TNI dengan berbagai kelompok paramiliter, seperti "rakyat terlatih", telah sangat menyusut.
Negara RI pasca reformasi kian dituntut menunaikan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. RI telah menjadi bagian dari subyek hukum HAM internasional, tak hanya kewajibannya atas hak-hak sipil dan politik, tetapi juga hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Perdamaian sebagai upaya mengakhiri konflik telah menjadi solusi yang disambut hangat. Konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka di Aceh telah diselesaikan dengan perdamaian, konflik horizontal di Ambon juga telah disemai dengan situasi kondusif, dan Poso telah mereda sehingga dugaan kejahatan perang pun telah berlalu.
Hak atas kebebasan berserikat kian dihormati oleh negara. Tak ada lagi "wadah-wadah tunggal" yang memaksa berbagai kelompok kepentingan hanya boleh bergabung dengan satu organisasi yang dikontrol negara. Pegawai, guru, buruh, petani, nelayan, perempuan, dan pemuda bebas memilih organisasi sesuai dengan pilihannya.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengoperasikan sistem pendidikan dan kurikulum mengenai moral, etika, dan pemikiran. Meskipun masih terdapat kelemahan, tampak tak menyeret para peserta didik ke dalam kegaduhan politik. Dengan perkembangan teknologi informasi, berbagai kalangan pun dapat belajar secara lebih terbuka.
Karena itu, patriotisme dan nasionalisme-paham yang berkaitan dengan bela negara-tak bisa lagi dimonopoli hanya oleh satu lembaga dalam situasi politik yang demokratis dan akses informasi yang begitu terbuka. Problem sehari-hari akan menjadi realitas yang memupuk kebutuhan orang atas pentingnya patriotisme dan nasionalisme.
Dengan memahami kondisi negeri yang rawan bencana, tak sedikit orang jatuh simpati kepada para korban. Ketika ratusan ribu orang menjadi korban kabut asap, banyak pihak mendesak pemerintah menghentikannya dan sebagian memberikan bantuan. Ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berteriak untuk menyelamatkan sumber pangan di lautan dari para maling ikan yang merajalela, banyak dukungan mengalir. Begitu pun dengan para TKI yang terancam di negeri orang, berbagai upaya ditempuh untuk menyelamatkan mereka.
Semangat itu juga dapat diterjemahkan ke bidang-bidang lain, seperti olahraga, kesenian dan produk seni, peningkatan daya saing, serta kecerdasan dan ilmu pengetahuan. Artinya, dengan lebih menghormati HAM, bela negara tak perlu disempitkan hanya dengan gaya gegap gempita seperti paramiliter.
HENDARDI
Ketua Badan Pengurus Setara Institute
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Bela Negara dan HAM".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar