Pada pertemuan Presiden Joko Widodo dengan para petinggi institusi penegak hukum beserta semua gubernur di Bogor, beberapa waktu lalu, berkenaan dengan rendahnya penyerapan anggaran yang dapat mengakibatkan roda pemerintahan terhambat, Presiden berpesan tiga hal.
Pertama, kebijakan jangan dikriminalisasi. Kedua, pelanggaran administrasi agar diselesaikan secara administratif. Ketiga, aparat penegak hukum agar menghormati jangka waktu penyelesaian selama 60 hari sejak tanggal rekomendasi BPK atau BPKP akibat temuan potensi penyimpangan penggunaan anggaran. Selanjutnya, Presiden akan mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) sebagai pedoman bagi instansi terkait untuk mencegah kriminalisasi kebijakan.
Langkah preventif
Sepertinya PP akan menuai banyak protes karena akan dianggap pro koruptor jika sifatnya intervensi proses penyidikan. Sesungguhnya ada banyak cara yang lebih bersifat preventif, bahkanpre-emptive, untuk mencegah potensi terjadinya korupsi. Tidak sulit mendeteksi potensi terjadinya korupsi pada saat anggaran belanja disusun, yaitu apakah terjadi mark up pengadaan barang dan jasa di atas standar biaya umum yang ditetapkan pemerintah tanpa argumen yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jika rencana anggaran mark up tersebut mendapat persetujuan Dewan, pada dasarnya APBD sudah cacat sejak awal. Biasanya proyek mark up sudah ada yang punya alias sudah diijon. Kalau sudah seperti itu, pada saat proyek dikerjakan tinggal ampasnya. Tahun berikutnya sudah bisa dipastikan akan menjadi temuan auditor BPK dan akan menjadi amunisi bagi Dewan untuk interpelasi. Namun, lagi-lagi mudah lolos di tingkat Dewan. Siklus seperti itu selalu saja berulang.
Siklus anggaran koruptif sejak dini bisa dicegah jika inspektorat daerah dilibatkan dan perencanaan anggaran dilaksanakan secara transparan, khususnya untuk mengawal APBD agar sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan pola itu, bisa diduga akan ada hambatan saat pembahasan di tingkat Dewan. Inilah titik krusial siklus perencanaan anggaran. Seperti yang kita saksikan, betapa alotnya perdebatan Pemerintah Provinsi DKI dan Dewan dalam membahas APBD 2015. Sayangnya, sangat sedikit kepala daerah yang tegar dan tak toleran terhadap upaya intervensi yang berkonotasi koruptif. Sebagian besar sangat akomodatif terhadap tekanan Dewan.
Untuk itu, kiranya PP agar mengoptimalkan peranan pengawasan inspektorat daerah di bawah supervisi BPKP dengan memanfaatkan teknologi informasi (e-supervisi). Juga agar pengawasan perencanaan sampai penggunaan anggaran di daerah dapat terpola secara nasional mengingat saat ini posisi BPKP langsung di bawah kendali Presiden. Pada kondisi tertentu dapat pula disupervisi oleh KPK.
Pada 2013, KPK bersama BPKP telah mendiagnosis potensi penyimpangan APBD di semua provinsi dan kabupaten/kota melalui program koordinasi dan supervisi (korsup) pencegahan KPK. Ketika KPK turut memantau, biasanya akan tertib dengan sendirinya secara bertahap, seperti ketika KPK menertibkan izin tambang ("Tambang dan KPK",Kompas,13/8/2014).
Jika di kemudian hari terdapat korupsi yang disidik instansi penegak hukum kejaksaan atau kepolisian dalam rangka sinkronisasi untuk mencegah tumpang tindih penanganan kasus korupsi, UU KPK mewajibkan mereka memberi tahu KPK dalam waktu 15 hari sejak dimulainya penyidikan melalui mekanisme surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).
Untuk memberi ruang bagi penyidik dan penuntut umum, KPK akan koordinasi dengan kejaksaan dan kepolisian setahun sejak SPDP diterima. Selanjutnya, apabila dipandang bermasalah, KPK akan melakukan supervisi, bahkan mengambil alih kasus, jika dianggap perlu. Jumlah SPDP yang diterima KPK sejak Januari 2013 sebanyak 3.289 kasus korupsi. Angka sesungguhnya sangat jauh dari jumlah yang seharusnya dilaporkan ke KPK.
Penanganan kasus bermasalah
Banyaknya penanganan kasus korupsi yang bermasalah karena UU memberi peluang kepada penegak hukum untuk menghentikan proses baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan tanpa melibatkan pihak independen. Padahal, ketika kasus memasuki tahap penyidikan, upaya paksa sudah dapat digunakan oleh oknum yang tak bertanggung jawab yang tentu saja sangat merugikan pencari keadilan. Perlakuan diskriminatif tak jarang dijumpai dalam penanganan kasus korupsi. Hal-hal itu yang dikeluhkan para kepala daerah kepada KPK beberapa waktu lalu.
Lembaga pengawas, seperti Kompolnas ataupun Komisi Kejaksaan, seperti tak berdaya. Jumlah pengaduan yang diterima KPK sejak Januari 2013 terhadap penanganan kasus korupsi oleh instansi penegak hukum sebanyak 545 kasus korupsi. Dari jumlah SPDP yang diterima KPK ataupun pengaduan masyarakat itu, 254 kasus korupsi telah dikoordinasikan dan 285 kasus korupsi telah disupervisi karena dianggap bermasalah. Sementara kasus korupsi yang diambil alih KPK dari instansi penegak hukum lain sebanyak dua kasus korupsi dan KPK telah melimpahkan 14 kasus korupsi ke instansi penegak hukum lain.
Sangat disadari, KPK belum optimal dalam menjalankan korsup karena terdapat kendala teknis yang tidak bisa dihindarkan. Pertama, keterbatasan tenaga senior baik dari kepolisian maupun kejaksaan sebagai akibat dari rotasi antarlembaga penegak hukum. Senioritas kepangkatan sangat memengaruhi efektivitas program korsup sebagai konsekuensi dari kultur birokrasi di lingkungan lembaga penegak hukum. Untuk itu, aktivitas korsup ke daerah selalu mengikutsertakan pejabat senior dari Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri sehingga bisa dibayangkan besarnya rombongan tim korsup setiap ke daerah.
Kedua, jarak tempuh ke daerah dan waktu yang dibutuhkan untuk aktivitas korsup tidak bisa diabaikan begitu saja. Padahal, sekali korsup paling banyak membahas lima kasus.
Dalam rangka mengefektifkan peranan korsup penindakan KPK, PP nantinya diharapkan mengatur sejumlah hal. Pertama, mewajibkan instansi penegak hukum berkoordinasi melalui mekanisme korsup elektronik (e-korsup). Kedua, mewajibkan instansi penegak hukum memberi sanksi kepada oknum yang mengabaikan kewajiban memberi tahu KPK melalui SPDP. Ketiga, lebih mengefektifkan peranan lembaga pengawas, seperti Kompolnas dan Komisi Kejaksaan.
Sebenarnya mencegah kriminalisasi pada tahap penyidikan boleh dibilang sudah terlambat. Apalagi jika sudah ada upaya paksa yang menimbulkan kerugian bagi pencari keadilan. Pencegahan kriminalisasi pada tataran penindakan akan sangat efektif jika dilakukan sejak dimulainya proses penyelidikan melalui mekanisme korsup penyelidikan elektronik agar terjadi cross checkkelayakan apakah sebuah kasus korupsi dapat ditingkatkan ke fase penyidikan. Fase penyelidikan adalah fase paling sulit mencari bukti kuat dan tak terbantahkan, tetapi manfaatnya sangat positif bagi pencari keadilan agar tak mudah dikriminalisasi.
Kriminalisasi kebijakan hanya bisa diminimalkan dengan memberdayakan lembaga yang memiliki mandat melakukan fungsi pengawasan, koordinasi, dan supervisi dengan memanfaatkan teknologi informasi.
ADNAN PANDU PRAJA
Komisioner KPK
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "PP Anti Kriminalisasi Kebijakan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar