Sastrawan Taufiq Ismail tampil dengan daftar kebutuhannya. Sebelum 1930-an, lulusan sekolah menengah atas (AMS) minimal baca 25 novel, mengenal puisi, dan menulis 180 karangan dalam tiga tahun, atau lima tugas menulis dalam sebulan. Alhasil, kita mendapat pemimpin bangsa yang hebat, dengan pengetahuan luas dan kemampuan berbahasa yang prima.
Akan tetapi, "template" pendidikan berbudi-bahasa itu tidak ada lagi sekarang. Padahal, kita tetap perlu generasi unggul sekualitas Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Muhammad Yamin, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Untuk itu, pendidikan sastra dan bahasa harus diperbaiki. Tanpa berpijak pada ranah bahasa, kita akan terombang-ambing dalam gelombang globalisasi yang melenyapkan jati diri bangsa. Begitu pikiran banyak penggiat bahasa.
Jadi, Badan Bahasa punya posisi strategis dan tugas yang berat. Penyair F Rahardi mengusulkan agar posisi badan ini ditingkatkan. Syukur kalau bisa langsung di bawah Presiden. Mengapa? Karena selama di bawah menteri, badan ini tak berani menegur gubernur dan kementerian lain yang tertangkap mengabaikan pentingnya berbahasa dengan benar dan baik.
Harus hadir
Lebih penting lagi kehadiran negara memang diharapkan di berbagai lini kehidupan berbangsa. Kita tahu Presiden Joko Widodo mengoptimalkan "kehadiran" ini, tidak terkecuali dalam pembangunan bahasa dan sastra Indonesia. Sudah bertahun-tahun negara abai pada persoalan-persoalan nyata di lapangan.
Ketika ada sekelompok fundamentalis menyerbu sebuah pembacaan puisi, negara tak ada di sana. Kita ingat Teater Koma asuhan N Riantiarno dicegah pentas di sejumlah kota juga tak ada pembelaan dari Badan Bahasa. Bahkan ketika seorang pegawai laboratorium divonis penjara 8 tahun gara-gara membaca novel Pramoedya Ananta Toer, negara seolah-olah tidak tahu.
Sekarang, kegiatan bahasa dan sastra berkobar-kobar dan berkibar-kibar. Ajip Rosidi membuka pusat studi Sundanologi yang megah. Para sastrawan Sunda di Bandung berpikir pada 2055 (hanya 40 tahun lagi!) warga Jawa Barat akan lebih suka berkomunikasi dalam bahasa daerahnya. Bahasa Indonesia semakin tidak menarik bagi mereka. Hal itu mencuat dalam Seminar Internasional Indonesia-Malaysia di Universitas Padjadjaran di Jatinangor, 19 September 2015.
Untunglah produk sastra nasional juga berlimpah ruah. Pada awal September, terkumpul 120 judul buku puisi terbitan tahun ini yang berlomba untuk menjadi antologi terbaik, menyambut Hari Puisi. Belum pernah bangsa kita "panen raya" karya sastra sedemikian melimpah. Persoalannya, 99 persen karya itu terbit secara indie. Setiap orang bisa menulis dan menerbitkan buku dengan desain bagus dan dicetak terbatas secara digital di kedai fotokopi terdekat.
Akan tetapi, itulah kreativitas anak bangsa. Badan Bahasa harus mencatatnya. Perpustakaan Nasional telah berperan optimal dengan memberikan ISBN (International Standards Book Number) yang berlaku global. Itu sangat membantu memberikan legalitas, membuat setiap buku menjadi sah, resmi. Sekarang, apa peranan Badan Bahasa?
Adakah negara hadir, ikut merestui pemilihan buku terbaik itu? Seharusnya: ya! Dalam acara formal pemberian hadiah, juga hadir korps diplomatik. Kedutaan Besar Perancis, Iran, Turki, dan banyak negara lain ikut menampilkan data besar berikut puisinya. Dari Kementerian Luar Negeri pun mendukung dengan berbagai cara. Yang tidak terlihat adalah peranan Badan Bahasa.
Padahal, badan ini mestinya juga menangani penerjemahan. Banyak yang mengeluh minat baca dan menulis rendah bila dilakukan dalam bahasa Indonesia. Sementara minat menulis dalam bahasa Inggris dan membaca terjemahan bisa sangat tinggi. Sastrawan dan guru besar Sapardi Djoko Damono mengatakan remaja Indonesia bisa melahap novel Harry Potter yang tebalnya 600 halaman dalam tiga malam.
Badan Bahasa tidak boleh meninggalkan proyek besar pencerdasan bangsa melalui penerjemahan. Apalagi bulan depan Indonesia menjadi tamu kehormatan dalam Pasar Buku Internasional di Frankfurt, Jerman. Ratusan bahkan ribuan judul buku karya anak bangsa mendapat peluang masuk ke pasar dunia.
Basis komunitas
Lebih dari itu, Badan Bahasa wajib memperhatikan perkembangan komunitas dan kegiatan bahasa-sastra di berbagai pelosok Tanah Air. Ada ribuan sanggar sastra, puisi, teater bertumbuh di daerah. Salah satu contoh adalah kegiatan Komunitas Sastra Indonesia, yang dimotori oleh para penulis buruh sejak krisis moneter 1998. Sekarang komunitas itu sudah berkembang di lebih 70 kota dan beberapa kali mengadakan musyawarah nasional.
Komunitas lain adalah penggiat sastracyber yang menjamur di dunia maya. Forum Lingkar Pena yang diasuh novelis Helvy Tiana Rossa memiliki lebih dari 4.000 pendukung. Sungguh bagus bila Badan Bahasa merangkul dan mendukung kegiatan komunitas-komunitas sastra yang marak di internet. Sebaliknya, sudah wajar bila para penggiat juga mendukung pemerintah untuk memperjelas kehadiran negara.
Kita tidak menutup mata pada perusakan bahkan penghancuran praktik berbahasa dan bersastra yang muncul akibat lemahnya pendidikan di sekolah. Namun, kita juga percaya adanya daya lenting, daya juang kaum partikelir di bidang perpustakaan, penulisan, dan kegiatan sastra.
Sastra dan bahasa Indonesia termasuk anggota baru di kalangan bahasa dan sastra dunia. Bahasa dan sastra Inggris sudah dimulai sejak kisah-kisah Canterbury 1.000 tahun lalu. Novel Jepang juga sudah berkembang sejak Genji Monogatari belasan abad silam. Tetapi, sastra Indonesia baru menggeliat berkat Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, awal 1920-an, belum satu abad silam. Masih banyak kesempatan hidup dan berkembang. Kehadiran negara mungkin bisa jadi terobosan yang brilian.
EKA BUDIANTA
Penyair, Komunitas Penulis Deo Gratias, Pemenang Hadiah Nasional 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar