Deregulasi pengupahan pekerja harus dilakukan secara cermat agar kebijakan itu efektif dan efisien. Jika tidak, yang terjadi justru sebaliknya: akan menimbulkan kegaduhan baru, khususnya di bidang hubungan industrial, yang berarti kontraproduktif bagi perekonomian nasional.
Berbeda dengan isi paket kebijakan lain, yang obyeknya adalah sistem tata kelola dan sejenisnya, deregulasi pengupahan akan menyangkut manusia, khususnya kalangan buruh/pekerja yang notabene memiliki resonansi sosial yang besar. Oleh karena itu, penetapan kebijakan di bidang pengupahan harus benar-benar cermat dan sistematis. Jika tidak, alih-alih meredam kegaduhan tahunan dalam penetapan upah minimum, deregulasi pengupahan yang tidak cermat bisa jadi malah menambah persoalan baru.
Aspek keseimbangan
Ada beberapa butir penting yang patut dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menuangkan regulasi sistem pengupahan buruh. Pertama, perlu menyeimbangkan dua aspek yang kadang kala sering bertentangan, yaitu aspek kesejahteraan pekerja dan aspek kemampuan perusahaan.
Jika pemerintah hanya menitikberatkan aspek kepentingan perusahaan dan mengabaikan aspek kesejahteraan buruh, tujuan regulasi pengupahan untuk mencari jalan keluar kegaduhan setiap penetapan upah minimum tidak akan tercapai. Kegaduhan itu senantiasa akan tetap terjadi dan bahkan bisa bertambah. Pengabaian kesejahteraan buruh akan tecermin pada penetapan upah yang paling "banter" kenaikan hanya sebesar inflasi ditambah sedikit angka pertumbuhan ekonomi.
Sementara jika pemerintah tak memedulikan kemampuan perusahaan, yang terjadi adalah meningkatnya eskalasi pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tidak kuat menanggung labour cost yang di atas kewajaran dan kemampuan perusahaan. Sebenarnya, ketakmampuan perusahaan tidak disebabkan kenaikan upah buruh, tetapi terbebaninya perusahaan oleh ongkos-ongkos lain, seperti buruknya infrastruktur yang menyebabkan pengusaha harus mengeluarkan ongkos tambahan, mahalnya biaya listrik, mahalnya biaya dwelling time yang lama, atau pengeluaran biaya-biaya siluman.
Kedua, pemerintah perlu mengkaji lebih mendalam lagi instrumen yang digunakan untuk menetapkan besaran angka kebutuhan hidup layak (KHL), yaitu komponen KHL. Pada saat ini, komponen dan jenis kebutuhan untuk menghitung KHL sebanyak 60 komponen. Ke-60 komponen KHL tersebut telah ditentukan dalam Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Setelah komponen tersebut layak, baru angka upah minimum ditetapkan sebagaibaseline. Pemerintah tidak bisa serta-merta menetapkan upah minimum tahun ini sebagai acuan angka untuk penetapan upah tahun berikutnya, ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan, pemerintah berencana menentukan perubahan komponen KHL paling singkat untuk lima tahun. Jika ketentuan ini diberlakukan, sementara komponen KHL tetap yang ada seperti sekarang, yakni 60 komponen sebagaimana diatur dalam Permenakertrans No 13/2012, akan keluar angka upah minimum yang bahkan bisa lebih rendah daripada yang saat ini berlaku. Jika ini terjadi, kegaduhan penetapan upah minimum akan tetap terjadi dan ini berarti paket kebijakan tersebut tidak efektif dan efisien.
Ketiga, harus ada pengaturan struktur dan skala upah yang tegas, tidak semata-mata diserahkan kepada kebijakan internal perusahaan. Adalah suatu ketakadilan jika upah tahun ini ditetapkan sebagai acuan untuk upah tahun depan dengan ditambah inflasi dan angka pertumbuhan ekonomi, sementara pemerintah tidak menetapkan besaran upah untuk pekerja/buruh yang punya masa kerja yang lebih lama. Penetapan kebijakan struktur dan skala upah seyogianya, misalnya, dengan menambah angka atau persentase tertentu untuk setiap penambahan masa kerja.
Jelas dan tegas
Keempat, sistem pengawasan terhadap implementasi upah minimum harus diatur secara lebih sistematis, termasuk di dalamnya sistem penangguhan upah minimum. Selama ini, masalah lanjutan dari penetapan upah minimum adalah banyaknya perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan upah minimum, yang berarti perusahaan membayar upah kepada pekerja/buruh di bawah standar upah minimum. Fenomena ini menjadi lazim ketika pengawasan terhadap perusahaan yang demikian sangat lemah.
Demikian pula sistem pengajuan penangguhan pelaksanaan upah harus diperketat dan tidak hanya dijadikan komoditas oleh oknum tertentu, baik dari pihak pengusaha, serikat buruh, maupun pihak pemerintah daerah. Beberapa penetapan penangguhan pelaksanaan upah minimum telah dibatalkan oleh PTUN, seperti di Jawa Barat dan di DKI Jakarta. Hal tersebut merupakan salah satu indikasi tentang sistem penundaan pelaksanaan upah yang belum sesuai dengan yang diharapkan.
Kelima, mekanisme sanksi dalam regulasi pengupahan harus jelas dan tegas. Banyaknya pelanggaran terhadap ketentuan pengupahan minimum buruh karena sanksi yang ada dalam peraturan perundang-undangan masih bisa ditafsir: ambigu! Misalnya, penerapan sanksi pidana terhadap pengusaha, apakah harus ditempuh upaya hukum perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial ataukah tidak. Banyak pengusaha yang dilegitimasi oleh akademisi tertentu selalu berlindung di balik perselisihan hubungan industrial jika akan dikenai sanksi pidana.
Di samping sanksi pidana, perlu dipikirkan sanksi administrasi yang berupa tidak dilayaninya pengusaha terkait pelayanan publik oleh pemerintah. Sanksi ini juga dapat menjadi alternatif pemaksa bagi pengusaha yang senang melanggar ketentuan pengupahan. Jika diterapkan, sanksi administrasi akan mendidik semua pihak, baik pengusaha, pekerja, maupun pemerintah, untuk patuh dan taat asas terhadap regulasi yang ada.
Keenam, bentuk regulasi yang ideal untuk sistem pengupahan adalah dalam bentuk UU. Selama ini, belum pernah ada UU yang secara khusus mengatur pengupahan, padahal telah ada UU yang telah mengatur hal lain di bidang perburuhan, seperti UU Jamsostek yang diganti dengan UU BPJS, UU Keselamatan Kerja, dan UU Penempatan TKI di Luar Negeri.
Dengan adanya pengaturan dalam bentuk UU, keterlibatan pemangku kepentingan akan menjadi luas karena tentu akan melibatkan DPR sebagai wakil rakyat serta melibatkan pengusaha dan serikat pekerja. Di samping itu pula, muatan yang bisa diatur dalam suatu UU tentu akan lebih komprehensif jika dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
M HADI SHUBHAN
PENGAJAR DAN PEMBIMBING BIDANG HUKUM PERBURUHAN PADA PROGRAM S-3 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar