Ia menjadi harapan masyarakat sipil demi jaminan keberlanjutan demokrasi dan iklim kebebasan, sekaligus menjadi pertaruhan partai-partai politik yang secara alamiah haus kekuasaan.
Ia menjadi tumpuan kelompok bisnis dan pengusaha demi lingkungan ekonomi yang menjamin membesarnya keuntungan, sekaligus tumpuan kaum buruh demi perbaikan kesejahteraan dan kelompok masyarakat sipil yang mengedepankan ekonomi berkelanjutan. Tegasnya, Jokowi didukung berbagai kelompok yang secara natural kontradiktif dan punya agenda asimetris, tetapi terhimpun dalam satu solidaritas pragmatis untuk mengalahkan Prabowo Subianto.
Buah solidaritas dukungan lintas kepentingan berbuah manis ingar-bingar prosesi pelantikan, tetapi segera setelahnya diikuti dengan berbagai kepahitan. Kepahitan yang muncul dalam bentuk tekanan terhadap Presiden Jokowi untuk mengakomodasi dan mengelola hasrat politik terpendam yang mengemuka cepat seiring disahkannya kekuasaan.
Berbagai bentuk desakan kepentingan, khususnya dari PDI Perjuangan, sebagai partai pengusung utama, tecermin nyata dalam sejumlah keputusan politik strategis, terutama pembentukan kabinet dan perombakan kabinet setelahnya, serta drama penunjukan Kepala Polri yang berujung pada agenda-agenda pelemahan KPK. Desakan itu tentunya berlawanan dengan misi politik non-transaksional dan pengarusutamaan reformasi demokratis yang menjadi wacana sayap masyarakat sipil, yang dalam sejumlah hal juga menjadi keinginan Jokowi.
Jokowi juga harus menghadapi berbagai ekspresi dan mentalitas politik konservatif Orde Baru, yang tertanam kuat dalam pola pikir aktor-aktor politik dominan. Ini tampak di sejumlah isu, misalnya terbatasnya keberhasilan reformasi birokrasi yang terbuka dan efisien, tak mudahnya meluruskan sejarah politik nasional dan pengungkapan kemungkinan pelanggaran HAM masa silam, dan yang terkini pengunggulan definisi bela negara versi Kementerian Pertahanan. Semua itu menunjukkan kedangkalan capaian demokratisasi dan keterbatasan aktor reformasi dalam memengaruhi perubahan politik secara mendalam.
Presiden Jokowi secara berulang terjebak di tengah pusaran kontradiksi kepentingan. Keterjebakan yang mencerminkan kegamangan dalam menegaskan posisi politik sebagai akibat dari tidak kokohnya pijakan ideologis dan ketidakyakinannya akan dukungan politik bagi kepemimpinan yang solid. Berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya yang memiliki basis organisasi dan massa politik yang jelas, karier kepemimpinan Jokowi bukanlah sebagai aktivis politik ataupun pemimpin parpol, tetapi sebagai manajer pemerintahan yang efektif dan memiliki gaya kepemimpinan antitesis model priayi atau elitisme.
Mengelola kontradiksi
Perpaduan yang menghadirkan daya tarik elektoral dan legitimasi kerakyatan yang kuat. Bagi parpol, dukungan terhadap Jokowi dalam banyak hal cenderung pragmatis dan berbasis kalkulasi politik. Sementara bagi kekuatan non-partai, dukungan terhadap Jokowi disebabkan rekam jejak keterbukaan dan keberpihakannya pada agenda- agenda pendalaman demokratisasi. Dua kutub kontradiktif yang Jokowi berusaha menanganinya secara seimbang, ketika kontroversi politik mengemuka.
Kita tidak pernah menyaksikan Presiden Jokowi merespons dalam kesempatan pertama terhadap agenda politik yang nyata-nyata berpotensi memundurkan capaian demokrasi. Ia cenderung menunggu sampai kontroversi dan kontradiksi mencapai titik puncak, baru kemudian membuat respons yang lebih kurang berusaha memberikan kemenangan kedua pihak.
Dalam kontroversi pengangkatan Kepala Polri, misalnya, Jokowi baru melakukan konsultasi intensif dengan wakil masyarakat sipil ketika kemarahan publik sudah meninggi, dan ketika kontroversi telah menjadi titik mula upaya pelemahan KPK. Pun halnya dalam agenda-agenda kunci untuk memperkokoh reformasi demokratis (misalnya dugaan pelanggaran HAM masa lalu dan perubahan mindset non-militerisme), Jokowi terkesan menunggu arah angin reaksi publik sebelum mengambil keputusan.
Bahkan, terhadap kontradiksi yang muncul dari jajaran pemerintahan pun, Jokowi cenderung tidak langsung turun tangan dan membiarkannya menjadi kontroversi publik lebih dulu. Perseteruan Wapres Jusuf Kalla dengan Menko Maritim Rizal Ramli dan berbagai kebijakan pemerintahan yang bertolak belakang adalah deretan kontradiksi yang secara menerus menjadi warna setahun kepemimpinan Jokowi.
Menjadi pola dasar kepemimpinan Jokowi satu tahun ini adalah: membiarkan agenda dan tekanan kepentingan dari partai dan kekuatan politik konservatif mengemuka, dan selanjutnya menunggu bagaimana masyarakat sipil merespons agenda dan tekanan kepentingan politik itu. Sejauh ini Jokowi secara efektif bisa menghadapi dan menghadirkan solusi atas kontradiksi dan kontroversi yang silih berganti, yang dalam banyak kasus bersumber dari jajaran pemerintahannya. Jokowi seolah membiarkan dirinya berada dalam pusaran kontradiksi, dan justru dengan menunjukkan kemampuan mengelola kontradiksi, seolah posisi politiknya di atas kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Bagi Jokowi, tampaknya kontradiksi tidak melemahkan posisi politiknya, tetapi justru dikelola dan mungkin diciptakan sebagai arena untuk memperteguh legitimasi ke-presiden-annya.
WAWAN MAS'UDI
Dosen di Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Dalam Pusaran Kontradiksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar