Pertama, saat terjadi lonjakan harga (booming) minyak di tahun 1970-an. Lalu saat booming kayu di tahun 1980-an, dan kemudian saat booming mineral dan batubara (minerba) di awal 2000 hingga saat ini. Namun demikian, menurut dia, Indonesia masih memiliki kesempatan untuk memperbaikinya karena cadangan sumber daya alam masih ada.
Persoalannya, dalam menimbang masa depan, pengelola Republik condong hanya menghitung aset ekonomi. Sementara daya dukung lingkungan dan aspek manusianya tidak menjadi pertimbangan. Padahal, pulau-pulau yang menjadi selubung hidup Republik ada dalam kondisi krisis akibat perusakan yang dilegalkan. Sementara dari aspek manusianya, Indonesia punya kesempatan untuk memanfaatkan bonus demografi. Namun, untuk bisa memanfaatkannya, perlu ada program ekstra di luar program-program yang sudah direncanakan. Target pendidikan 12 tahun saja tak akan memadai.
Perusakan kepulauan
Apa yang terjadi pada pulau-pulau dan perairannya selama ini tak pernah kita periksa. Cerita tentang skala pulau terbenam di bawah imajinasi politik tentang yurisdiksi provinsi, kabupaten, otonomi daerah, desentralisasi fiskal, UU Desa, dan lainnya. Padahal, wilayah daratan dan perairan kepulauan Indonesia dalam satu setengah generasi ini telah mengalami kerusakan kronis, dengan eskalasi kecepatan dan luasan kerusakan fantastis.
Hasil pemeriksaan para peneliti Sekolah Demokrasi Ekonomi terhadap 200 pulau di perairan Indonesia 2007-2015 menyimpulkan, sistem ekologis pulau mengalami penghancuran dahsyat, ditandai di antaranya oleh hancurnya sistem air, meningkatnya jumlah DAS kritis dan superkritis, perusakan hutan, pembongkaran tutupan dan lapisan atas tanah di kepulauan yang berlangsung cepat dan tanpa pandang bulu.
Penghancuran ini berlangsung secara sistematis di bawah naungan hukum dan kendali pengelola negara. Tak ada pulau yang terlalu kecil untuk tidak dibongkar dan terlalu besar untuk bisa mengalami kerusakan parah pada sistem-sistem ekologisnya. Skala ruang perusakan sebanding dengan nilai uang maksimum yang potensial dihasilkan. Krisis ekologis ini melahirkan konflik sosial dan migrasi paksa dari kampung-kampung yang kian intensif terjadi.
Perusakan pulau-pulau dan perairannya dipicu "perampasan" lahan (land grabbing) yang berlangsung demikian cepat, berada di luar kontrol instrumen pengelolaan rencana tata ruang dan wilayah dan lepas dari penegakan hukum. Membesarnya jumlah orang super kaya di dunia dan kemajuan dalam finansialisasi aset telah mendorong penimbunan persediaan (stockpiling) petak-petak lahan skala raksasa untuk perluasan "kota" dan lanskap operasionalnya, seperti medan pertambangan, perluasan perkebunan atau pembalakan hutan, medan pembuangan limbah industri, dan lainnya. Tak heran Jakarta dan Bali di 2013 menduduki peringkat pertama dan ketiga di antara 88 hotspot pasar lahan global.
Perusakan pulau-pulau terus berlanjut hingga di era pemerintahan Jokowi. Sejak akhir 1960-an, pengurus publik di bawah rezim Orde Baru dan rezim politik sesudahnya secara sistematis memperlakukan daratan dan perairan pulau pertama-tama sebagai ruang ekonomik.
Kodifikasi keadaan keberlanjutan fungsi-fungsi fisiologis hutan, aliran dan genangan air, tanah, terumbu karang, dan infrastruktur ekologis lainnya, yang menjadi syarat regenerasi sistem-sistem kehidupan di setiap pulau, digantikan sebuah peta atau kartografi yang didominasi oleh sistem dan praktik tutur yang berpusat pada kandungan bahan alami dan proyeksinya pada petak-petak daratan dan perairan kepulauan, dan pemodelan ekonomika spasial, semacam Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di zaman SBY. Ironisnya, kesatuan sosial- ekologis dan wilayah-wilayah kelola rakyat ditempatkan sebagai kategori "sementara", yang setiap saat bisa dibongkar, dipindahkan atau diabaikan keselamatannya.
Pengelolaan pulau-pulau hanya ditujukan untuk melayani pertumbuhan ekonomi tanpa ada sangkut-pautnya dengan syarat-syarat kesejahteraan dan keselamatan warganya. Dalam hal ini ada dua persoalan mendasar yang tak banyak dibicarakan orang. Pertama, rezim pengurusan, pengalokasian, dan pengendalian penggunaan ruang yang dikelola oleh pengurus Republik hanya berlaku untuk ruang-ruang yang tersisa dari lahan cadangan industri eksploitatif yang vital. Sementara pengelolaan ruang dominan menjadi faktor pendorong pendalaman krisis.
Kedua, sampai dengan saat ini, tidak ada mekanisme umpan balik antarkantor-kantor pengurus negara pada berbagai tingkat otoritas, yang memungkinkan tindakan koreksi tuntas terhadap perusakan atau perluasan kerusakan. Yang terjadi, di saat kita sibuk menyiapkan reduksi risiko bencana alam yang kian kacau sebaran ruang waktunya, pelaksanaan pengurusan publik justru menjadi mekanisme eskalasi risiko bencana dari pertumbuhan investasi yang dipuja-puji.
Bonus demografi
Visi Presiden Jokowi untuk memperbaiki fondasi ekonomi dalam praktiknya tak beranjak jauh dari pemerintahan sebelumnya. MP3EI merayap diam- diam, demikian juga dengan peningkatan kapasitas manusianya tak beranjak dari target yang rendah. Belum tampak adanya upaya serius untuk memanfaatkan bonus demografi.
Bonus demografi akan terjadi antara 2010 dan 2030, ketika penduduk usia produktif merupakan proporsi terbanyak. Setidaknya perlu dua langkah untuk bisa memanfaatkan bonus demografi, yaitu pendidikan dan pengembangan inovasi lewat intensifikasi penelitian. Tanpa itu, bonus demografi yang hanya terjadi sekali akan berlalu sia-sia.
Untuk memperbaiki fondasi ekonomi, Jokowi mencanangkan 16 komitmen ekonomi dalam Nawacita. Salah satunya peningkatan kualitas SDM dengan pendidikan 12 tahun. Pertanyaannya, apakah kita mampu menjalankan 15 komitmen ekonomi dengan pendidikan hanya sampai 12 tahun? Bagaimana mungkin kita menargetkan pendidikan hanya sampai 12 tahun, sementara fakta menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara penduduk yang pendidikannya kurang maju dengan kemampuan berinovasi.
Tak mungkin kita bisa meraih manfaat bonus demografi hanya dengan mengandalkan program pendidikan yang sudah direncanakan. Perlu ada program ekstra mengingat kondisi faktual SDM kita. Sampai Sensus 2010, hampir 70 persen penduduk berpendidikan SMP ke bawah. Yang berpendidikan SLTA tidak sampai 30 persen. Artinya, masih banyak yang perlu diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan sampai setingkat SMA.
Selain kualitas SDM yang rendah, komitmen pemerintah dalam mendorong kemampuan penduduk untuk berinovasi juga rendah. Terlihat dari nilai investasi Indonesia di bidang penelitian yang hanya 0,08 persen dari PDB. Sementara Korea investasinya hampir 4 persen.
Pada akhirnya yang bisa dilakukan Indonesia dalam kondisi sekarang adalah memperkuat kelemahan modal manusia dengan bertumpu pada peningkatan keterampilan dan kemampuan penduduk pada umumnya.
Salah satu upayanya adalah memperluas pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja terampil melalui program diploma dan S-1 serta secara selektif mengembangkan pendidikan tinggi ke atas, khususnya S-3, untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang mendukung industri domestik.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Menimbang Masa Depan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar