Rasa terkejut kita belum benar-benar hilang atas penetapan status tersangka bagi Sekretaris Jenderal Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Patrice Rio Capella, ketika tak lama kemudian tiba-tiba KPK mengumumkan hasil operasi tangkap tangan terhadap Sekretaris Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) di DPR Dewie Yasin Limpo. Patrice Rio Capella diduga menerima suap dari Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho yang telah menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) APBD Sumut. Adapun Dewie Yasin Limpo, politisi Hanura dan adik kandung Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, diduga menerima suap untuk "mengamankan" proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua.
Menarik, baik Patrice maupun Dewie adalah anggota DPR dari dua partai politik yang relatif baru, Nasdem, yang baru ikut Pemilu 2014 dan Hanura yang telah ikut pemilu sejak 2009. Mereka baru genap setahun menjadi anggota DPR 2014-2019. Selain itu, sebelum ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK, Patrice dan Dewie merupakan figur penting yang memegang posisi strategis di partai masing-masing, yakni Sekjen Partai Nasdem dan Sekretaris Fraksi Partai Hanura di DPR.
Parpol baru sama saja
Kasus Patrice dan Dewie memperlihatkan bahwa wabah virus korupsi tidak hanya menjangkiti partai-partai lama, tetapi juga menular ke partai-partai baru. Ironi memang. Komitmen anti korupsi dan kampanye berapi-api parpol baru dalam pemberantasan korupsi ternyata bertolak belakang dengan realitas perilaku para politisi partai itu sendiri. Dengan kata lain, komitmen anti korupsi, baik dari parpol baru maupun lama, bukanlah jaminan bagi perilaku bersih politisi parpol di parlemen-nasional dan daerah-serta juga pejabat eksekutif dari parpol di semua tingkat pemerintahan, pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Para politisi parpol semestinya belajar dari pengalaman pahit Partai Demokrat (PD) sebagai parpol relatif baru menjelang Pemilu 2009. Mungkin karena terlalu berorientasi seremoni dan pencitraan, kampanye anti korupsi PD dengan slogan "Katakan Tidak pada Korupsi" justru berubah menjadi bencana "senjata makan tuan". Saat partai berlimpah dukungan, dan bahkan kemudian berkuasa, sejumlah pejabat teras partai ini ditangkap KPK karena terlibat korupsi, mulai dari ketua umum, bendahara umum, wakil sekjen, pimpinan komisi di DPR, dan bahkan dua menteri yang menjabat posisi strategis partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono tersebut. Dampaknya sangat drastis, partai pemenang Pemilu 2009 itu merosot di urutan keempat dari 10 parpol peraih kursi DPR dalam Pemilu 2014.
Pengalaman pahit serupa menimpa Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Presiden PKS Luthfi Hassan Ishaaq akhirnya dihukum penjara karena terbukti menerima suap dari pengusaha dalam rangka memengaruhi kebijakan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Luthfi, yang juga anggota DPR 2009-2014, tidak hanya mempermalukan partainya yang begitu getol mengusung slogan "bersih dan peduli", tetapi juga membuka mata publik bahwa partai agama dengan misi dakwah pun bisa tertular virus korupsi. Tidak mengherankan jika citra publik PKS pun merosot sehingga berimplikasi pada perolehan kursi di DPR yang berkurang signifikan, dari 57 kursi pada Pemilu 2009 menjadi 40 kursi pada 2014.
DPR dan korupsi
DPR era Reformasi sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan DPR periode Orde Baru yang dikenal dengan perilaku "5D" (datang, duduk, dengar, diam, duit). Namun, citra buruk DPR hasil pemilu-pemilu demokratis sejak 1999 sudah terbentuk sejak wabah korupsi menghinggapi para wakil rakyat di Senayan. DPR disorot antara lain karena skandal suap dan korupsi yang marak di komisi-komisi "basah" dan dugaan adanya mafia anggaran yang bisa "mengatur" proyek-proyek pemerintah di Badan Anggaran DPR. Selain itu, masih cukup segar dalam memori publik kasus aliran dana haram Bank Indonesia terkait pemilihan Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI oleh Komisi IX DPR, dan sejumlah kasus suap dan korupsi lainnya. Tidak mengherankan jika citra publik parpol dan DPR masih cenderung buruk hingga saat ini. Seperti dikonfirmasi beberapa survei Tranparency International Indonesia, parpol dan DPR masih berpredikat sebagai lembaga terkorup selain institusi peradilan, seperti kejaksaan dan kepolisian.
Konsistensi KPK dalam mengungkap berbagai skandal korupsi itulah tampaknya yang mendorong kalangan parpol di DPR begitu menggebu-gebu mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Seperti diketahui, UU KPK saat ini memungkinkan KPK melakukan penyadapan, penyitaan, dan operasi tangkap tangan atas siapa saja yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, termasuk para wakil rakyat. Kewenangan KPK ini dianggap momok yang menghambat "kebebasan" para wakil rakyat yang terhormat. Dengan kata lain, UU KPK membatasi ruang gerak para politisi parpol di parlemen untuk "berkreasi" sehingga peran lembaga anti rasuah tersebut perlu dilumpuhkan.
Tidak mengherankan pula berbagai "kiat", atau tepatnya akal-akalan, diciptakan para politisi DPR untuk mengail dana haram di tengah gencarnya KPK mengusut dan menindak para koruptor. Dapat disebut, misalnya, usulan DPR tentang Program Pembangunan Daerah Pemilihan (P2DP), atau populer sebagai "dana aspirasi" sebesar Rp 20 miliar per anggota/per daerah pemilihan. Terakhir, DPR meminta agar usulan dana alokasi khusus (DAK) fisik APBN 2016 mendatang menjadi hak atau otoritas parlemen. Padahal, seperti yang berlaku selama ini, usulan DAK, termasuk alokasi dan peruntukannya, berasal dari pemerintah daerah.
Otoritas distortif
Partai-partai politik yang lahir pada era Reformasi pada mulanya adalah parpol dengan komitmen perubahan yang besar. Terlepas berbagai kekurangannya, format politik dan ketatanegaraan baru, seperti tecermin dalam UUD 1945 hasil amandemen, bagaimana pun harus diakui sebagai produk para politisi partai hasil Pemilu 1999. Bersama berbagai elemen masyarakat sipil, parpol juga berperan penting dalam proses transisi demokrasi bangsa Indonesia hingga hari ini.
Akan tetapi, komitmen perubahan itu berangsur luntur dan berhenti sebagai retorika ketika para politisi parpol di DPR semakin memperluas otoritas mereka. DPR format baru hasil amandemen konstitusi tak hanya memiliki otoritas legislasi, pengawasan, dan anggaran, tetapi juga kekuasaan menyeleksi pejabat publik serta pimpinan dan anggota komisi dan atau lembaga negara. Seperti terungkap dari kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI oleh Komisi IX DPR 1999-2004, otoritas distortif seperti inilah yang akhirnya menjadi perangkap korupsi bagi para politisi parpol di parlemen. Begitu pula, perluasan kewenangan Dewan dalam fungsi anggaran yang akhirnya dikoreksi MK pada 2014, sangat berpotensi jadi lahan korupsi, terutama bagi anggota Badan Anggaran DPR.
Komitmen parpol secara institusi tentu bukan satu-satunya variabel korupsi. Faktor komitmen personal para politisi kita juga patut dipersoalkan mengingat begitu mudahnya politisi parpol memperjualbelikan otoritas yang mereka miliki. Problemnya, sebagian dari mereka masuk parpol bukan untuk membela atau memperjuangkan suatu nilai luhur tertentu yang diyakini, tetapi lebih sebagai cara instan untuk meraih popularitas secara publik, "terhormat" secara sosial, dan "berlimpah" secara ekonomi.
Sekali lagi tampak jelas di sini urgensi reformasi parpol, bukan semata-mata dalam rangka demokratisasi internal, melainkan juga agar parpol dan para politisi memiliki komitmen ideologis yang jelas bagi perbaikan kehidupan kolektif. Terlalu mahal ongkos politik yang harus dibayar bangsa ini jika parpol dan DPR didominasi oleh para politisi pemburu rente, pencari status, dan penggila jabatan. Itu artinya, negara melalui APBN membayar mahal mereka yang ternyata hanya sibuk mengurus dirinya sendiri. Semoga para petinggi parpol lebih membuka mata hati mereka bahwa berbagai kasus korupsi yang dilakukan politisi tak hanya mempermalukan diri sendiri, keluarga, dan partai, tetapi juga sangat melukai hati rakyat.
SYAMSUDDIN HARIS
Profesor Riset LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar