(Bung Karno, 1956. "Indonesia Menggugat": 129)
Kalimat di atas dipetik Soekarno dari buku Natuur en Menschen in Indie karya Augusta de Wit dan disampaikan dalam pleidoinya di depan hakim kolonial.
Soekarno menegaskan, dampak buruk imperialisme bukan hanya pada ekonomi, melainkan lebih parah, yaitu pada inferioritas mental yang selalu berharap pada kolonialis. Dekadensi akal pikiran seperti itu, lanjut Soekarno, merupakan bencana batin paling besar bagi bangsa.
Pentingnya pikiran jembar dalam mengelola Indonesia merdeka sangat disadari para pendiri bangsa sehingga "mencerdaskan kehidupan bangsa" dijadikan satu tujuan negara. Bapak pendiri bangsa bahkan tak memilih, misalnya, "meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia" atau "membangun karakter" sebagai misi pembangunan manusia Indonesia di alam merdeka. Mereka kiranya paham bahwa pencerahan akal budi merupakan inti bagi pembentukan watak, kemajuan, dan marwah bangsa di kemudian hari.
Pendidikan merupakan episentrum. Oleh sebab itu, Pasal 31 UUD 1945 (sebelum amandemen) memberikan hak kepada setiap warga negara mendapatkan pengajaran dan pemerintah (wajib) menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional. Namun, setelah 70 tahun merdeka, bangsa ini sepertinya tak menjadi lebih cerdas sehingga beragam fakta menunjukkan kita sebagai bangsa belum menghampiri cita-citanya.
Rasa aman berkat perlindungan negara masih jauh panggang dari api. Perlindungan terhadap kekayaan alam dan wilayah juga jauh dari memadai. Langit, bumi, dan laut tak sepenuhnya dalam kuasa kita untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Gebrakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti makin menjelaskan begitu besar kekayaan laut dicuri dan betapa lemah sistem perlindungannya. Bukan peralatan saja yang tak memadai, jumlah dan mentalitas personel pun kurang dan lemah. Tak jarang aparaturmenjadi bagian dari konspirasi yang merongrong rasa aman dan kekayaan negara.
Jumlah orang miskin juga masih banyak. Menurut data Badan Pusat Statistik per September 2014, ada 27.727.780 orang miskin atau 10,96 persen. Meski miskin, sebagian besar rakyat Indonesia merasa bahagia dan demokratis. Indeks Kebahagiaan Indonesia 2014 di angka 68,28 pada skala 0-100, sementara Indeks Demokrasi Indonesia rata-rata nasional 73,04. Fakta ini pada satu sisi menunjukkan kebahagiaan orang Indonesia tak bergantung pada kekayaan. Namun, di sisi lain, data ini seperti membenarkan kutipan Soekarno di atas: karena terlalu lama dizalimi atau diperlakukan tak adil, akal pikiran jadi bengkok, bahkan mati rasa, sehingga tak tahu jika salah atau sengsara.
Pesona konservatisme
Pendidikan kita sejak dulu hingga kini didesain tak sungguh-sungguhmengutamakan pengembangan akal sehat sebagai basis kecerdasan dalam segala ragamnya. Perumusan tujuan/kebijakan pendidikan senantiasa terpesona oleh konservatisme, selain kepentingan politik penguasa.
Konservatisme tampak pada rumusan UUD 1945 (amandemen) Pasal 31 Ayat (3): "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa...." Juga fungsi pendidikan dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa...."
Struktur dan alur logika kedua rumusan tersebut terasa tidak "natural", bahkan terbalik, sehingga sukar dipahami sebagai dasar operasi pendidikan. Keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia, serta terbentuknya watak, merupakan efek kumulatif yang ditumbuhkan dari kecerdasan. Maka, utamanya pendidikan adalah upaya pencerdasan dalam rangka membentuk sifat dan watak terpuji dimaksud.
Masalahnya bukan karena keimanan dan ketakwaan, akhlak mulia dan watak itu tidak penting dalam pendidikan. Namun, implikasi metodologisnya sering kali berupa indoktrinasinilai-nilai dan habituasi pekerti ala behavioristik yang mereduksi penjembaran akal. Kenyataan ini diperparah ketika belakangan secara serampangan pendidikan kita lebih tertarik pada kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional, yang seolah jalan pintas mencapai kesalehan dan keparipurnaan pribadi. Alhasil, penalaran jadi lemah.
Rendahnya kemampuan menalar, selain tampak dari pilihan dan cara bangsa ini mengelola kehidupan, juga dapat dilihat dari hasil Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Hasil PISA 2012, murid Indonesia mendominasi skor tinggi (75,7) untuk kemampuan kognisi tingkat rendah (Singapura dan Korea "hanya" memperoleh skor 8,3 dan 9,1). Sementara kemampuan kognisi tingkat tinggi siswa kita jauh di bawah (0,3), Singapura dan Korea masing-masing 55,4 dan 30,9. Tes TIMSS juga menunjukkan hasil tak jauh berbeda. Dengan sampel siswa kelas VIII, ketika diuji dengan soal untuk kognisi rendah (pengetahuan), 70 persen siswa menjawab benar, sedikit di bawah rata-rata internasional (83 persen). Begitu diberikan soal untuk mengukur kognisi tingkat tinggi, hanya 45 persen siswa menjawab benar (Das Salirawati dalam Muljani A Nurhadi, 2013).
Desain Kurikulum 2013 dan ide pendidikan karakter tampaknya tak lepas dari pesona konservatisme. Kompetensi Inti dalam Kurikulum 2013 telah mengarusutamakan spiritualisme proses pembelajaran (Doni Koesoema, 8/12/2014) untuk semua mata pelajaran pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Pembelajaran diarahkan pada praksis penghayatan dan pengamalan agama dan sikap/perilaku tertentu yang sifatnya sangat terbatas.
Gejala konservatisme dan salah kaprah terhadap pencerdasan makin tampak ketika pemerintah satu kabupaten—dengan didukung pakar pendidikan dan psikologi—menghapuskan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung murid SD kelas I dan II. Alasannya, anak usia itu belum waktunya diisi kecerdasan karena bermacam pelajaran itu justru tidak menambah kecerdasannya. Sebagai penggantinya mereka diberi pelajaran imtak (iman dan takwa) Indonesia yang bertujuan mengembangkan keimanan dan ketakwaan.
Perkuat pengajaran
Seyogianya, pendidikan kita didesain untuk memperkuat pengajaran berpikir, bukan sekadar mengisi pikiran dan atau melatih pekerti. Pembelajaran yang mengisi pikiran mengasumsikan otak hanya sebagai tempat menyimpan data pengetahuan yang suatu saat dikeluarkan melalui ujian. Sementara mengajarkan berpikir menjadikan otak sebagai instrumen dan media memproses informasi untuk menemukan dan memecahkan masalah kehidupan. Pembelajaran di sekolah kita baru sukses mengisi pikiran seperti tergambar dalam hasil PISA dan TIMSS.
Mengajarkan berpikir ialah dengan melibatkan murid secara aktif berpikir. Murid tidak hanya mendengarkan pikiran guru, tetapi turut melahirkan ide-idenya. Peran guru dan dukungan lingkungan belajar yang kondusif merupakan inti pengajaran berpikir. Filosofi ini sebenarnya telah tercakup dalam definisi pendidikan di Pasal 1 Ayat (1) UU No 20/2003, yaitu: "...mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya..."
Pembenahan terkait prinsip "mencerdaskan" utamanya melalui pendekatan dan metode, bukan lewat kurikulum. Perubahan kurikulum, faktanya, tidaklah mencerdaskan. Juga tak serta-merta mengubah metode pembelajaran. Metode melekat pada pribadi guru sehingga perbaikan metode meniscayakan pengembangan kapabilitas guru.
Sayangnya, visi pemerintah dalam pengelolaan guru (dalam jabatan) dewasa ini lebih pada evaluasi, bukan intervensi. Maka bermunculan kegiatan uji kompetensi, penilaian kinerja, dan pengawasan. Alhasil, cetak biru intervensinya kedodoran.
MOHAMMAD ABDUHZEN, DIREKTUR INSTITUTE FOR EDUCATION REFORM UNIVERSITAS PARAMADINA, JAKARTA; KETUA LITBANG PB PGRI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Perihal Mencerdaskan Bangsa".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar