Alih-alih memberantas kemiskinan, pada era Jokowi-Kalla justru terjadi peningkatan jumlah warga miskin mencapai setidaknya ratusan ribu orang akibat pelemahan rupiah, pelambatan ekonomi, dan merosotnya daya beli masyarakat. Sementara ekonomi Indonesia pada dasarnya liberal, kapitalistis, bercorak pasar bebas, nyaris seluruhnya dikuasai unsur eksternal, bukan rakyat pribumi asli Indonesia.
Persoalan yang sangat krusial sejak era Orde Baru adalah kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial serta dominasi modal yang terus-menerus membayangi keadaan bagai api dalam sekam. Rasio gini kita meningkat dari 0,4 menjadi 0,42 sehingga dapat diartikan kesenjangan ekonomi kita semakin tinggi. Dalam kaitan ini, kerusuhan Tolikara, Singkil, dan seterusnya tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi-politik dan sosial yang mencengkeram situasi-kondisi yang ada.
Belajar dari kesalahan
Kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial yang tajam itu terjadi sejak era Orde Baru. Pemerintahan Soeharto sering tampil dengan argumen bahwa yang penting ialah "memperbesar kue" untuk kemudian kelak dibagi secara adil dan merata. Argumennya, dengan memperbesar kue itu secepat mungkin, pembangunan ekonomi mengharuskan pemerintah mengikuti kebijakan untuk menyerahkan kegiatan pembangunan ekonomi sektor swasta kepada mereka yang "kompetitif" dan secara "obyektif" punya kemampuan yang andal.
Konsekuensinya, Pak Harto menjatuhkan pilihan kepada para pelaku ekonomi dari kalangan warga masyarakat keturunan Tionghoa. Sebab, merekalah yang sampai saat itu memenuhi kriteria sebagai yang "kompetitif" dan secara "obyektif" berkemampuan. Dan, seolah-olah merupakan kemestian berlakunya hukum besi dalam persaingan bebas, kebijakan "obyektif" pemerintahan Orde Baru sampai era Reformasi di bidang ekonomi telah menjerumuskan masyarakat ke dalam "Darwinisme ekonomi". Dalam pertimbangan apa pun, sama sekali tidak adil bahwa ada 3-5 persen warga negara keturunan yang menguasai 70 persen ekonomi nasional.
Harus kita akui, dengan latar belakang jiwa kewirausahaan dalam sejarah yang panjang pada era Orde Baru para taipan Tionghoa terbukti menunjukkan kemampuan luar biasa. Saham "pembangunan nasional" yang yang mereka "sumbangkan" jauh di atas proporsinya secara berlipat ganda sehingga terjadi keganjilan besar bahwa 3 persen-4 persen warga Tionghoa menguasai 70 persen ekonomi nasional (Nurcholish Madjid, 1998). Menyedihkan: warga pribumi yang jumlahnya "cuma" 90-an persen dan rata-rata masih hidup di bawah garis kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan serasa tidak diberi peluang yang sama.
Celakanya, menurut cendekiawan Nurcholish Madjid, kesuksesan Pak Harto juga telah membuatnya lengah sehingga lupa menarik pelajaran dari apa yang telah terjadi atas Bung Karno. Pak Harto mulai merasa dirinya tak tersaingi, bahkan tak tersentuh. Perasaan itu agaknya ia perluas untuk mencakup pula lingkungan keluarga dan kroni-kroninya. Secara kolektif, mereka semua merasa dapat berbuat apa saja tanpa khawatir kepada siapa pun juga.
Itulah beberapa blind spots Pak Harto yang menjerumuskannya pada pelanggaran etika dan moral negara-bangsa modern. Tak seperti Bung Karno yang jatuh dalam kehinaan, terutama alasan ideologis (dinilai terlalu dekat dengan PKI) dengan bumbu moralitas pribadi, Pak Harto jatuh dalam kehinaan terutama karena alasan moralitas, khususnya berupa berbagai penyelewengan dalam akronim KKN; korupsi, kolusi, dan nepotisme (Nurcholish Madjid, 1998).
Revolusi mental
Demikianlah, Jokowi bisa memetik hikmahnya agar tak mengulangi kesalahan rezim-rezim sebelumnya dalam kaitan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial. Hemat saya, Jokowi harus memfokuskan diri dalam gerakan "revolusi mental". Revolusi mental itu pada hakikatnya adalah seruan untuk mengubah apa yang ada di dalam diri kita.
Jokowi telah menggaungkan revolusi mental pada kampanye Pilpres 2014 ketika dia menilai bahwa reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Menurutnya, reformasi itu belum menyentuh paradigma, pola pikir, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa. Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, serta sesuai dengan cita-cita proklamasi-merdeka, adil, dan makmur-Jokowi menyatakan perlunya kita melakukan revolusi mental.
Dalam kampanyenya, Jokowi meyakini bahwa pembangunan bangsa tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini.
Oleh sebab itu, mengacu pada konsep revolusi mental, hemat penulis, sistem serta struktur ekonomi dan politik bernegara yang berlaku dan dipraktikkan sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono sampai dewasa ini harus direformasi dan dirombak total oleh pemerintahan Jokowi. Semua mesti dikembalikan ke pangkalnya: UUD 1945 yang telah diperbaiki, khususnya Pasal 33 dan Pasal 34.
Adapun yang mesti dibangun adalah keseluruhan isi Pasal 33 dan 34 UUD 1945 yang telah disempurnakan pada amendemen keempat. Hal ini tidak mudah, tetapi bisa dilakukan.
Untuk itu, meminjam gagasan sosiolog Mochtar Naim, seyogianya Presiden Jokowi menekankan skala prioritas pada beberapa hal. Pertama, membangun ekonomi kerakyatan atas asas kekeluargaan, Pasal 33 Ayat (1).
Kedua, bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, Pasal 33 Ayat (3).
Ketiga, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga ke seimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, Pasal 33 Ayat (4).
Keempat, fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara negara, Pasal 34 Ayat (1).
Kelima, negara harus terus mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, Pasal 34 Ayat (2).
Keenam, negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, Pasal 34 Ayat (3).
Dengan cara demikian, di tengah kecenderungan menguatnya neoliberalisme, Jokowi bisa membersitkan harapan di kalangan rakyat. Sebab, hanya harapan yang bisa memotivasi dan mendorong masyarakat melakukan perubahan demi terwujudnya pemerataan ekonomi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ini penting agar-mengacu humanisme transendentalnya Soedjatmoko-Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat.
HERDI SAHRASAD
PENELITI SENIOR PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN UNIVERSITAS PARAMADINA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar