Program pemerintah yang membebaskan biaya sekolah bagi siswa sekolah negeri mulai SD hingga SMA masih saja dilanggar. Oknum petinggi sekolah bersekongkol dengan komite sekolah memungut uang dengan seribu satu alasan.
Hal ini juga terjadi di SMAN 1 Kecamatan Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Meski Dirjen Pendidikan Menengah Kemdikbud telah meniadakan kelas cerdas istimewa (C1) tahun ajaran 2015/2016, di sekolah itu tetap ada kelas C1, tetapi masa didik tetap tiga tahun.
Kelas C1 dilabelkan untuk membedakan perlakuan pada siswa. Para siswa yang masuk kelas C1 harus menjalani tes IQ dan ruang kelasnya berpendingin udara (AC). Fasilitas ini tidak diberikan cuma-cuma, tetapi dibayar melalui pungutan tertentu. Adanya kelas C1 menimbulkan diskriminasi pada anak didik dan bertentangan dengan UU Diknas.
Ada pula oknum petinggi sekolah yang memprovokasi pengurus OSIS untuk meminta biaya kepada semua orangtua siswa untuk menyelenggarakan pentas seni (pensi). Dalam sebuah rapat OSIS ia mengatakan, orangtua jangan hanya ingin anaknya dididik secara baik dan berkualitas, tetapi juga harus membantu kegiatan yang butuh biaya.
Sebenarnya kepala sekolah sudah mengarahkan pensi untuk mementaskan kreativitas siswa agar tidak membutuhkan biaya besar. Namun, karena terprovokasi, pengurus OSIS ingin mengundang bintang tamu artis. Akibatnya, biaya penyelenggaraan mencapai Rp 30 juta.
Sebagai orangtua, kami prihatin. Pensi sesungguhnya merupakan ajang kreativitas dari siswa, oleh siswa, dan untuk siswa, bukan ajang mempertontonkan kemewahan. Mohon kiranya Kemdikbud menginvestigasi hal ini.
HI LUMOINDONG, KOTA JABABEKA, CIKARANG BARU, BEKASI
Tulisan soal G30S
Saya ingin mengomentari kolom politik berjudul "CIA dan Misteri G30S" oleh Budiarto Shambazy (Kompas 10/10). Merekonstruksi peristiwa itu dengan mengacu pada sejumlah Indonesianis di AS dan makalah Cornell Paper menandakan kita sebagai bangsa seolah tidak mampu menulis sejarahnya.
Masalah ekonomi, kita undang modal asing. Masalah asap minta bantu negara lain. Apakah tentang sejarah kita juga tunduk pada persepsi negara lain?
Budiarto mengutip Dubes AS di Jakarta Howard Jones, padahal saat peristiwa itu terjadi, Dubes AS adalah Marshall Green (26 Juli 1965-26 Maret 1969).
Dalam bukunya, Green mengatakan, dia sama sekali tidak mengetahui peristiwa G30S, termasuk Pemerintah AS, sehingga dia harus mengirim kawat ke Washington setiap empat jam.
Mengenai dokumen CIA, setelah 25 tahun, dokumen itu tak dianggap rahasia lagi dan boleh dibeberkan ke publik. Dari lebih dari 19.000 halaman memo harian CIA yang sudah dibuka, tidak ada bukti CIA terlibat G30S.
NOOR JOHAN NUH, GRIYA KENCANA I BLOK E NO 6, CILEDUG, TANGERANG
Catatan Redaksi:
Peristiwa G30S mustahil ditulis oleh banyak kalangan di dalam negeri ini selama 32 tahun Orde Baru berkuasa. Dubes AS di Jakarta, Howard Jones, bertugas tujuh tahun (1958-1965) sehingga dianggap memahami situasi di Indonesia pada tahun-tahun penting itu. Ribuan analisis tentang kondisi Indonesia yang ditulis Jones saat itu sampai kini masih dimanfaatkan banyak kalangan untuk menulis karya-karya ilmiah, seperti buku, tesis, dan disertasi tentang Indonesia.
Telkom Speedy
Ayah saya, pelanggan Telkom Speedy, meminta saya untuk mengajukan permintaan pemutusan layanan internet tersebut. Tanggal 28 September 2015, Saya menelepon 147, sentral layanan pelanggan Telkom. Saya diteruskan ke bagian layanan pemutusan dan mendapat nomor pengaduan 2015-09-147-TS022.
Dijelaskan, pemutusan akan dilakukan setelah pihak Telkom menghubungi saya untuk memberi tahu jumlah tagihan bulan berjalan. Namun, tidak ada petugas yang datang menginformasikan tagihan. Yang muncul justru petugas pemasaran yang menawarkan peningkatan layanan internet dengan harga promosi dan sudah saya tolak.
Tanggal 6 atau 7 Oktober, saya menghubungi lagi 147, menanyakan kelanjutan pengaduan saya. Pihak Telkom menjawab bahwa 147 hanya meneruskan pengaduan ke Plasa Telkom terdekat dan lama proses eksekusi bukan tanggung jawab mereka.
Pekan lalu, ayah saya juga menelepon ke 147 untuk memutus layanan, dijawab pihak Telkom sudah ada pengaduan atas nama Arifin Muhammad Susanto dan akan segera diproses. Hingga surat ini ditulis (13/10) belum ada tindak lanjut.
ARIFIN MUHAMMAD SUSANTO, JALAN RAWA BAMBU, PASAR MINGGU, RT 007 RW 007 JAKARTA SELATAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar