Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 13 Oktober 2015

Resolusi Hijrah di Era "Takfirisme" (FAJAR RIZA UL HAQ)

Tampaknya Pemerintah Arab Saudi masih membutuhkan waktu untuk mengungkap hasil investigasi Tragedi Mina, September lalu. Namun, kita tak bisa memberikan toleransi terhadap mengerasnya sentimen sektarianisme.  

Respons masyarakat Muslim Indonesia dalam menyikapi peristiwa terburuk sejak Tragedi Terowongan Mina 1990 itu sangat beragam, bahkan terbelah: antara kelompok yang membela kebijakan pengelolaan haji oleh Saudi dan kelompok kritis yang menuntut pertanggungjawaban negeri petrodollar tersebut.

Berdasarkan pernyataan Menteri Kesehatan Arab Saudi, jumlah korban jiwa sebanyak 769 orang dan 934 orang menderita luka. Namun, beberapa sumber memiliki catatan berbeda. Associated Press,misalnyamemercayai jumlah korban meninggal mencapai 1.100 orang. Adapun Tragedi Mina 1990 menelan korban 1.426 jiwa, sebagian besar dari Indonesia dan Malaysia.

Saat berpidato dalam Sidang Umum PBB (25/9), Presiden Iran Hassan Rouhani mendesak dilakukan investigasi terhadap kasus Mina. Menurut Rouhani, pengerahan pasukan militer Saudi ke Yaman berdampak terhadap melemahnya pengawasan pengelolaan haji sehingga mengabaikan keselamatan jemaah. Sikap politik Iran ini merupakan jawaban atas pernyataan ulama paling senior Saudi, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah, yang mengeluarkan fatwa bahwa Pemerintah Saudi tidak bisa dipersalahkan karena kejadian naas itu merupakan takdir yang tidak bisa dihindari.

Perbedaan mendasar pandangan kedua tokoh itu telah memancing polemik politis sangat tajam hingga bermunculan pelbagai spekulasi liar yang ditelan mentah-mentah sebagian besar publik di Tanah Air. Dinamika yang terjadi menggambarkan polarisasi dan kian suburnya sentimen sektarianisme di tubuh umat Islam.

Sikap keras Iran telah dieksploitasi untuk memompa sentimen anti Syiah, menyusul meningkatnya gejala takfirisme(paham yang menyesatkan kelompok berbeda) dalam beberapa tahun terakhir. Iran dituduh merencanakan aksi kekacauan yang bertujuan mendiskreditkan Saudi, di mana haji merupakan momentum strategis. Sebaliknya, Tragedi Mina beserta pembelaan teologis yang memproteksi Saudi dimanfaatkan untuk mengonsolidasikan kekuatan pendukung Wahabisme, ideologi Arab Saudi.

Etnisitas dan nasionalisme

Tak bisa dimungkiri, ketegangan-bahkan kebencian-di kedua blok kekuatan politik di Timur Tengah itu berangkat dari persaingan geopolitik dan ideologi di dunia Islam. "Jika ditelisik lebih jauh, akarnya adalah sejarah perebutan hegemoni antara bangsa Arab dan Persia yang sudah ratusan tahun," kata Jon B Alterman (Washington Post, 2011).

Islam Syiah baru menjadi agama resmi negara Persia pada masa Dinasti Safawid di awal abad ke-16. Dalam konteks ini, sebenarnya posisi Turki, Mesir, dan Indonesia sangat strategis guna memoderasi dunia Islam agar tak terjebak pada perang ideologis antara kutub Islam-Sunni Arab dan Islam-Syiah Iran. Namun, gelombang anti Syiah yang mulai mendominasi wacana politik di Timur Tengah sejak 2003 telah memberi pengaruh besar terhadap dinamika hubungan sosial kelompok-kelompok Islam di luar Arab, termasuk Indonesia.

Penelitian Fanar Haddad mengenai kebangkitan sektarianisme membantu menjelaskan adanya korelasi antara dinamika Sunni dan Syiah di Timur Tengah dengan peningkatan gejala penyesatan terhadap kelompok-kelompok berbeda di tubuh umat Islam Indonesia, terutama menguatnya wacana anti Syiah (Foreign Policy, 2013). Dengan berkaca pada kasus Irak sebelum 2003, relasi Sunni-Syiah lebih merupakan manifestasi pergulatan etnisitas dan nasionalisme ketimbang ekspresi keagamaan. Wacana politik Sunni mengidentifikasi Syiah sebagai entitas non-Arab ('ajam), bukan bagian dari bangsa Arab.

Keruntuhan rezim Saddam Husein akibat invasi militer Amerika Serikat (2003) membuka kotak pandora sektarianisme. Kegagalan pemerintahan Nouri al-Maliki membangun politik inklusif yang berporos pada kesetaraan politik antaretnis-keagamaan setelah era Saddam menyulut konflik terbuka antara kelompok Sunni dan Syiah. Beberapa laporan menyebutkan, kebijakan sektarian Maliki yang pro Syiah telah memicu kemunculan kelompok Sunni ekstrem yang bertransformasi menjadi cikal-bakal Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

Kini, diskursus sektarianisme di Timur Tengah tak lagi didefinisikan dalam terminologi dan kerangka nasionalisme  dan etnis (Arab vs Persia), tetapi dalam bungkus fanatisme keagamaan (Islam vs bukan Islam). Faktanya, persaingan ini telah lama dieksploitasi oleh pemerintahan Sunni Saudi dan pemerintahan Syiah Iran guna membangun dan mengukuhkan dominasi politik masing-masing di tingkat kawasan bahkan dunia Islam.

Haddad menemukan adanya perubahan pelabelan Syiah dari konstruksi identitas'ajam (bukan Arab) jadi rafidhah dalam wacana anti Syiah. Rafidhah berarti yang meninggalkan atau yang menolak. Secara historis, rafidhah adalah pendukung fanatik Ali sebagai penerus sah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sehingga mereka tak mengakui kepemimpinan Khalifah Abu Bakar dan Umar. Inilah kelompok ekstrem pertama dalam aliran Syiah.

Perubahan pelabelan Syiah dari 'ajam kerafidhah menandai pergeseran eksklusi atas dasar garis etnik dan kebangsaan menjadi eksklusi berdasarkan perbedaan aliran keagamaan. Adalah kelompok Salafi-Wahabi yang gencar mempertanyakan keabsahan doktrin Syiah karena dinilai menyimpang dan menolaknya menjadi bagian dari dunia Islam. Kelompok Sunni ekstrem acap kali menggunakan istilah "Syiah Rafidhah" dalam propaganda anti Syiah.

 Vali Nasr dalam The Shia Revival (2006) telah meramalkan masa depan dunia Islam banyak ditentukan oleh konflik internal umat Islam, terutama Sunni-Syiah. Nasr benar! Frekuensi syiar kebencian, kekerasan, dan konflik sektarian menunjukkan grafik mencemaskan di hampir semua negara berpenduduk Muslim. Pada situasi kini, Indonesia bisa dikatakan menikmati "kemewahan" dibandingkan negara-negara berpenduduk Muslim di dunia, meski masih dililit persoalan ekonomi dan bencana.

Bukan watak Islam

Meski begitu, kita tak bisa berpangku tangan, apalagi mengabaikan ancaman gelombang kebencian sektarian dari Timur Tengah ke pelbagai negara Muslim, terutama Indonesia yang memiliki kedekatan historis dengan Saudi sejak ratusan tahun lalu. Yang mengkhawatirkan, gejala takfirisme di ruang publik semakin meluas dan agresif.

Sangat sulit mengontrol efek destruktif gelombang sektarianisme dan takfirismeyang menunggangi globalisasi dan revolusi teknologi informasi beserta paradoks yang menyertainya (polarisasi, primordialisme, mental instan). Ini mengancam jahitan solidaritas kebangsaan kita yang bertumpu pada nilai-nilai kewargaan dan Pancasila. Tidak ada pilihan lain kecuali secara tegas kita tidak memberikan ruang kompromi terhadap kebiasaan menyesatkan orang/kelompok yang dianggap berbeda.

Oleh karena itu, sangat relevan dan mendesak apa yang menjadi seruan Muktamar Muhammadiyah, Agustus lalu, di Makassar. Organisasi ini menegaskan bahwa adanya kalangan umat Islam yang suka menghakimi, menanamkan kebencian, dan melakukan aksi kekerasan dengan tuduhan sesat dan kafir (takfiri) merupakan sikap yang berlawanan dengan watak Islam yang menekankan kasih sayang, toleransi, dan kesantunan. Ini berlaku untuk semua kelompok takfiri mana pun dan di mana pun. 

Hemat penulis, komitmen untuk meninggalkan kebiasaan menyebarkan syiar permusuhan dan menyudahi kegemaran menyesatkan pihak lain merupakan resolusi yang sangat tepat saat umat Islam memasuki tahun baru Islam 1437 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 14 Oktober ini. Kita harus melindungi masa depan dunia Islam dari gumpalan awan hitam kebencian dan guncangan konflik sektarian seperti yang dialami sepanjang tahun 1436 H. Inilah semangat hijrah yang kita perlukan hari ini.

FAJAR RIZA UL HAQ

DIREKTUR EKSEKUTIF MAARIF INSTITUTE

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Resolusi Hijrah di Era "Takfirisme"".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger