Barack Obama
Hubungan bilateral antara dua negara tidak terjadi dalam kehampaan regional. Oleh karena itu, makna kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat harus pula dikaitkan dengan dua perkembangan strategis yang telah terjadi di kawasan Asia Pasifik tahun ini.
Perkembangan strategis tersebut, pertama disepakatinya kerangka aturan-aturan normatif (articles of agreement) dalam pembentukan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) pada Mei 2015. Kedua, keberhasilan dalam perundingan tahap akhir untuk pembentukan kerangka kerja sama Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) pada awal Oktober 2015.
AIIB dan TPP
Sejauh yang dapat diidentifikasikan, AIIB merupakan inisiatif diplomasi Tiongkok dengan keanggotaan sejauh ini sebanyak 57 negara. Di sisi lain TPP menjadi simbol dari inisiatif diplomasi Amerika Serikat (AS) yang beranggotakan 12 negara. Dua inisiatif kelembagaan ini tinggal menunggu proses ratifikasinya di setiap negara untuk segera menjadi operasional. Dua perkembangan ini telah membawa kompleksitas dalam peta geoekonomi dan geopolitik.
AIIB, misalnya, dapat menyampaikan pesan bahwa Tiongkok memiliki kepentingan dalam penataan arsitektur baru keuangan internasional. Lembaga-lembaga keuangan multilateral, yang merupakan warisan dari kesepakatan Bretton Woods, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia, dipandang tidak lagi memadai. Institusi baru perlu diciptakan untuk memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi aspirasi power Tiongkok yang semakin menguat dalam berbagai dimensinya. Pesan lainnya, Tiongkok berusaha untuk meyakinkan komunitas internasional bahwa tindakan-tindakan liberalisasi regional tidaklah cukup. Tanpa disertai dengan fasilitas pendanaan untuk pembangunan infrastruktur, tindakan liberalisasi itu dipandang hanya akan menguntungkan pihak yang lebih kuat.
TPP juga memberikan gambaran yang mirip dengan itu. Ia menjadi bagian konkret dari rebalancing strategy AS di kawasan Asia Pasifik. Strategi "penyeimbangan kembali" itu muncul pertama kali pada pidato Barack Obama di depan parlemen Australia tahun 2011. Untaian kecil dari pidato Obama, yang dikutip di awal tulisan ini, sebenarnya bisa dibaca dalam rumusan kalimat berbeda. "Jika tidak ingin diganggu, setiap kerangka kerja sama regional di Asia Pasifik haruslah memberikan ruang pelibatan bagi AS".
Dalam konteks ini, logislah jika TPP dikonstruksikan sebagai turunan dari strategi penyeimbangan baru itu. Strategi ini juga telah menciptakan kerumitan peta geoekonomi dan geopolitik di Asia Pasifik. Seperti diketahui, di samping TPP terdapat beragam kerja sama ekonomi regional yang telah dikembangkan.
Di luar Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang dirancang mulai efektif pada awal tahun depan, terdapat juga gagasan untuk mewujudkan kerja sama ekonomi ASEAN yang diperluas di bawah payung Kemitraan Ekonomi Regional Komprehensif (RCEP). Beragam kerja sama perdagangan bebas bilateral juga muncul di kawasan ini. Mengingat pola perkembangan kerja sama regional di Asia Tenggara dan Asia Timur itu tidak memiliki karakter linear, seperti telah terjadi dalam kasus Uni Eropa, seluruh kerja sama perdagangan bebas itu memang tampak menyerupai polaspaghetti bowl, meminjam ungkapan Bhagwati, dan merumitkan tindakan pengawasannya. Pola spaghetti bowlmemang sangat memungkinkan terjadinya lalu lintas perdagangan melalui "pintu belakang".
Terlepas dari kecurigaan ini, menarik mencatat keunikan hubungan Indonesia dengan dua perkembangan strategis itu. Dalam konteks AIIB, Indonesia merupakan negara yang termasuk sangat mendukung. Indonesia telah menyetujui AoA. Di sisi lain, AS dan sekutunya, Jepang, belum menjadi bagian dari AIIB. Sedangkan dalam konteks TPP, Indonesia, seperti halnya Tiongkok, bukan merupakan negara anggota. Dari ASEAN, hanya empat negara yang terlibat, yaitu Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Brunei.
Di luar keunikan ini, layak pula mencatat dua keunikan lainnya. Pertama, muatan lingkup kerja sama dalam TPP sangat luas mencakup lingkungan hidup, hak milik intelektual, dan BUMN.
Kedua, terdapat paradoks dalam proses pembentukannya. Walau cakupan liberalisasinya sangat luas, aspek transparansi TPP dalam agenda dan proses negosiasinya sangat terbatas. Walau kesepakatan akhir sudah diumumkan, masih belum terdapat akses informasi publik yang besar untuk mengakses dokumen kesepakatan akhir dari TPP itu.
Sangat mungkin, itulah salah satu sebab mengapa muncul kecurigaan terhadap TPP. Itu juga yang menyebabkan tanggapan dari IMF tidak tampak sangat tegas. Christine Lagarde, Direktur IMF, hanya menyatakan bahwa "kami akan mengkaji seluruh rincian sebelum menawarkan suatu penilaian komprehensif termasuk efek transisional dan limpahannya, tetapi saya berharap bahwa TPP dapat memberikan jalan bagi satu generasi perdagangan yang dalam".
Tantangan bagi Indonesia
Apa yang dapat kita lihat dari dinamika kawasan Asia Pasifik ini dalam konteks persaingan AS dengan Tiongkok itu? Pertama, ASEAN tidak dirancang menjadi penjuru dalam diplomasi ekonomi setiap negara anggotanya. Tidak semua anggota ASEAN menjadi bagian dari TPP adalah fakta yang sukar dibantah untuk sampai pada kesimpulan seperti ini. Fakta itu sekaligus menyampaikan pesan bahwa ASEAN menawarkan fleksibilitas dan ruang independensi strategis yang cukup luas bagi negara anggota untuk melakukan engagement dalam berbagai kerja sama ekonomi baik bilateral maupun regional.
Kedua, fleksibilitas dalam menggunakan ruang independensi strategis ini menjadi sangat penting bagi Indonesia. Dengan tradisi politik luar negeri dan diplomasi yang bebas aktif, ruang fleksibilitas yang ditawarkan ASEAN itu akan membuat pernyataan bahwa "ASEAN sebagai penjuru politik luar negeri Indonesia" tampak menjadi tidak relevan. Yang kemudian tampak menjadi jauh lebih mendesak adalah bagaimana memberikan jawaban terhadap dua pertanyaan berikut.
Pertama, argumen apakah yang diberikan untuk menyatakan bahwa tidak menjadi anggota TPP adalah sebagai ekspresi untuk memperoleh ruang independensi strategis yang lebih besar bagi Indonesia? Demikian juga halnya, argumen apakah yang diberikan untuk menyatakan bahwa menjadi anggota AIIB pada dasarnya bertujuan untuk memperluas ruang independensi strategis Indonesia?
Untuk membuat argumen itu memiliki basis empirik, tentu saja perlu mengaitkannya dengan dua hal. Pertama, gambaran pola interaksi perdagangan khususnya ekspor Indonesia dan juga dengan besaran penanaman modal asing langsung (FDI) di Indonesia. Kedua, mengaitkannya dengan semangat kebijakan ekonomi nasional yang dicanangkan pemerintah.
Jika kita mengaitkannya dengan ekspor, harapan sebaiknya tidak digantungkan terlalu tinggi. Ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas. Terdapat tujuh negara yang berperan penting dalam menyerap ekspor komoditas Indonesia, yaitu Jepang, Tiongkok, Singapura, AS, India, Korea Selatan, dan Malaysia. Laporan IMF tentang Indonesia pada Februari 2015, menyebutkan bahwa ekspor komoditas masih mengambil porsi terbesar, yaitu lebih dari 50 persen ekspor merchandisenegeri ini.
Namun, nilai ekspor komoditas ini dalam nilai dollar telah menurun drastis, yaitu hampir sebanyak 30 persen. Penyebab penurunannya beragam. Namun, yang utama disebutkan terkait dengan penurunan harga komoditas di pasaran internasional, khususnya untuk batubara, minyak, kelapa sawit, bijih besi, dan karet. Penurunan untuk minyak dan gas juga disebutkan karena penurunan produksi dan karena terjadinya under-investment di sektor energi itu. Di sisi lain berbagai laporan juga menyebutkan bahwa harga komoditas akan tetap mengalami tekanan dalam dua hingga tiga tahun yang akan datang.
Adapun dalam investasi, laporan BKPM menyebutkan bahwa hingga triwulan pertama 2015 terdapat 10 negara berperan penting dalam FDI. Kesepuluh negara tersebut adalah, Singapura, Jepang, Korea Selatan, Inggris, AS, Malaysia, Belanda, Kepulauan Virgin Britania Raya, Hongkong, dan Tiongkok. Mengingat itikad kebijakan pemerintah Jokowi-Kalla dalam makna "kepentingan nasional" adalah mentransformasikan basis ekonomi nasional dari yang konsumtif menjadi berbasis produktif, konsekuensi logisnya adalah sangat nyata.
Fokus diplomasi ekonomi Indonesia terhadap AS sebaiknya tidak diharapkan terlalu banyak pada perdagangan, tetapi pada upaya menarik modal melalui FDI. Sasarannya adalah mempercepat proses hilirisasi industri nasional sekaligus mengharapkan transfer kemajuan teknologi dari AS. Yang tertinggal adalah persoalan simpulnya. Apakah simpul untuk mempercepat pencapaian sararan itu cukup hanya melalui mekanisme diplomasi bilateral ataukah simpul itu nantinya mengharuskan Indonesia menjadi bagian dari TPP tentu saja akan menjadi perkembangan menarik untuk dicermati di tahun-tahun yang akan datang.
MAKMUR KELIAT
Pengajar Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "RI dan Kepentingan Regional AS".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar