Dalam satu tahun terakhir, Tiongkok enam kali menurunkan suku bunga pinjaman dan simpanan. Bagaimana kita membaca langkah ini dan apa maknanya bagi kita dan perekonomian global?
Pertama, pelonggaran moneter mengindikasikan adanya kekhawatiran Tiongkok terhadap kemungkinan masih akan berlanjutnya pelambatan ekonomi negara itu kendati di permukaan mereka mengungkapkan optimisme masih akan mampu mempertahankan pertumbuhan 6-7 persen per tahun hingga 3-5 tahun ke depan.
Kedua, penurunan suku bunga Tiongkok membuat tekanan terhadap bank sentral AS (The Fed) untuk menunda kenaikan suku bunga pada sidang FMOC pekan ini juga meningkat. Apalagi sebelumnya bank sentral Eropa (ECB) dan Jepang juga men-sinyal-kan stimulus baru (termasuk pelonggaran moneter lewat penurunan bunga) untuk mencegah perekonomian mereka meluncur ke resesi.
Ketiga, perlunya kita mewaspadai guncangan yang berpotensi terjadi dari proses rebalancing yang kini tengah berlangsung di Tiongkok dan kemungkinan dampak kebijakan penyesuaian yang akan ditempuh Tiongkok guna menghindari pelambatan ekonomi tajam (hard landing).
Statistik resmi Tiongkok menyebut ekonomi hanya sedikit melambat pada triwulan III-2015, menjadi 6,9 persen, tetapi data ini diragukan kebenarannya. Spekulasi berbagai kalangan menduga pertumbuhan riil Tiongkok saat ini hanya 3-5 persen, jauh di bawah target 7,5 persen pada 2015.
Lewat penurunan suku bunga, penyaluran kredit kepada konsumen dan dunia usaha diharapkan meningkat sehingga pelambatan lebih jauh ekonomi bisa dibendung. Namun, langkah menggenjot kredit ini memicu kekhawatiran lain, yakni membengkaknya kredit macet yang pada gilirannya bisa menuntun pada krisis finansial negara itu.
Ekonomi Tiongkok mulai melambat beberapa tahun terakhir, menyusul pertumbuhan 10 persen per tahun pada tiga dekade sebelumnya. Di satu sisi, pertumbuhan yang lebih wajar (new normal) akan lebih sehat bagi Tiongkok karena lebih berkesinambungan, mengingat faktor di balik dinamisme ekonomi Tiongkok sendiri juga melemah. Namun, kekhawatiran terbesar, pergerakan Tiongkok menuju pertumbuhan yang lebih wajar itu tak berjalan mulus.
Kekhawatiran bakal terjadinya hard landing Tiongkok memunculkan spekulasi berbagai kalangan bakal ditempuhnya langkah lebih ekstrem oleh Tiongkok untuk mencegah hard landing atau bahkan resesi ekonomi. Bukan tak mungkin devaluasi kembali ditempuh Tiongkok.
Kita tengah memasuki periode ketidakpastian baru. Selain suku bunga AS yang belum pasti, meningkatnya potensi resesi di Eropa dan Jepang serta perkembangan ekonomi Tiongkok harus kita antisipasi sejak dini guna menghindari dampak destruktif pada ekonomi Indonesia. Faktor Tiongkok tak bisa diabaikan karena pengaruh besar terhadap ekonomi global sebagai perekonomian kedua terbesar yang menyumbang 17 persen PDB dunia dan juga tujuan utama ekspor kita.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Membaca Arah Ekonomi Tiongkok".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar